B~EKAS Sekditjen Bea Cukai, Kusmayadi, 57 tahun, yang kini berbaring sakit~ di Klinik THT Menteng, seakan mendapat bingkisan akhir tahun. Sebuah hadiah datang dari Pengadilan Tinggi Jakarta, berupa penurunan hukumannya yang semula 6 tahun menjadi 2 tahun penjara, pertengahan Desember lalu. Semula, yang duduk di kursi terdakwa dalam kasus korupsi di Bea Cukai itu adalah Bendaharawan Ditjen Bea Cukai, Kamarijoen. Selama dalam pemeriksaan perkara korupsi sejumlah Rp 3,1 milyar itu, Kamarijoen selalu menyebut nama-nama bekas atasannya, yaitu Kusmayadi (Sekditjen l979- 1983), Soeharnomo, dan Abdul Masis sebagai orang yang ikut bertanggung jawab atas lenyapnya uang negara itu. Kamarijoen sendiri kemudian diganjar hukuman 14 tahun penjara karena kejahatan itu. Di tingkat kasasi, hukuman itu turun jadi 10 tahun. Belakangan Kusmayadi, sebagai atasan langsung Kamarijoen, menyusul bekas anak buahnya, diadili dengan tuduhan tidak mengontrol pengeluaran keuangan tahun 1979 sampai 1981. Ia konon selalu menyetujui berbagai pengeluaran yang disodorkan Kamarijoen. Di antaranya dalam bentuk giro bilyet, transfer rekening, dan hasil penjualan blanko PPUD. Akibatnya, dana Rp 1 milyar lebih mengalir ke tangan Kamarijoen. Di persidangan, Kusmayadi mengaku lalai -- karena kesibukan kerja -- hingga menyetujui saja berbagai pengeluaran itu. Tim pembelanya, yang diketuai Gani Djemat, malah menganggap Kusmayadi dikibuli bawahannya itu. Tapi dalih lalai -- kendati tak menerima imbalan apa pun -- ditangkis Nyonya Syaefulina, Ketua Majelis Hakim yang mengadili Kusmayadi. "Bagaimanapun juga, penyelewengan itu tak lepas dari tanggung Jawab Kusmayadi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya," kata Nyonya Syaefulina y~ang di tengah persidangan memerintahkan staf ahli Menteri Keuangan it~ditahan, kendati diprotes tim pembelanya Sebab itu, Syaefulina memvonis Kusmayadi 6 tahun penjara dan denda Rp 15 juta. "Ia t~erbukti turut serta korupsi," kata Syaefulina. Ternyata, peradilan banding tidak sependapat. Majelis Hakim Tinggi yang dipimpir Bambang Soemedhy, 15 Desember lalu menganggap unsur sengajanya tidak terbukti. Kusmayadi hanya dianggap melakukan kelalaian, sehingga dimanfaatkan bawahannya. Majelis hakim tinggi juga berpendapa~t bahwa Kusmayadi tidak menikmati hasil korupsi itu. Hal ini, di antaranya, yan~g dianggap meringankan hukuman. Demikian pula lamanya masa pengabdian sebagai pejabat tinggi -- terakhir berpangkat IV E Pemecatan sementara yang sudah dijatuhkan dianggap hakim banding sudah merupakan hukuman tersendiri bagi Kusmayadi. Sebab itu, peradilan banding mengkorting hukumannya menjadi dua tahun, dan denda tetap Rp 15 juta. Atas putusan itu, Kusmayadi, yan~g sudah ditahan enam bulan dan dirawat sejak 21 Desember lalu karena sakit pada telinga dan tekanan darah tinggi, tidak banyak komentar. "Semuanya saya kembalikan pada Yan~g Mahakuasa," kata Kusmayadi, yang kini rajin membaca~ buku-buku agama. Selembar sajadah dan seuntai tasbih putih tampak di kamar tempat ia dirawat. Kendati begitu, Kusmayadi, ayah delapan orang anak, tetap membantah dituduh korupsi. Penyelewengan itu, katanya, diketahuinya setelah Kamarijoen diperiksa pengadilan. "Rupanya kebijaksanaan saya waktu itu telah disalahgunakan," kata lelaki yang pernah menyandan~g pangkat kapten (AL) ini. Menurut sumber TEMPO sebenarn~aa vonis Kusmayadi itu bisa saja berupa lepas dari tuntutan hukum alias onstlag. Tapi peradilan banding agaknya masih memilih ia tetap diganjar dua tahun. "Agar pejabat lain yan~g benar-benar korupsi tak bisa berlindun~g dengan dalih lalai," ujar sumber itu. Jaksa M. Manoi, yang sebelumnya menuntut hukuman 10 tahun penjara, mengatakan belum bisa menentukan sikapnya akan kasasi at~au tidak. "Saya belum menerima vonis Pengadilan Tinggi itu," katanya. Tapi seorang pejabat penting di Kejaksaan Agung malah menuduh vonis hakim banding itu dipengaruhi instansi lain di luar pengadilan. "Kalau hakim fair seharusnya vonis tidak seringan itu,~" katanya. Happy Sulistyadi, Tri Budianto Soekarno (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini