Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, merespons ide Presiden Prabowo Subianto soal memaafkan koruptor asal mengembalikan hasil curiannya. Menurut Yusril, hal tersebut bisa dilaksanakan dengan pemberian amnesti dan abolisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Presiden Prabowo memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun, termasuk tindak pidana korupsi," kata Yusril Ihza Mahendra. Kendati demikian, sesuai amanat konstitusi, Presiden akan meminta pertimbangan DPR sebelum memberikan amnesti dan abolisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yusril juga mengatakan, setelah mengembalikan uang hasil rasuah itu, pelaku korupsi di dunia usaha misalnya bisa meneruskan usahanya dengan cara yang benar. Dengan demikian, usahanya tidak tutup atau bangkrut.
Menurut Yusril, rencana Prabowo maafkan koruptor untuk memberikan amnesti atau pengampunan terhadap koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsi ke negara tidak melanggar undang-undang. “Ada yang mengatakan itu bertentangan dengan undang-undang, tapi saya mengatakan begini, harus baca undang-undang lain,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memang tertuang bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan sifat pidana dari perbuatan korupsi itu sendiri. Namun di lain sisi, kata Yusril, ada peraturan yang bersumber dari undang-undang yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Dasar 1945. “Yaitu presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi,” kata dia.
Mengenal Amnesti dan Abolisi
Dilansir dari laman ekobudiono.lawyer, amnesti adalah pengampunan berupa penghapusan hukuman yang diberikan oleh presiden terhadap seseorang ataupun sekelompok orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Akan tetapi, tidak semua tindak pidana berhak mendapatkan Amnesti, terutama jika tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana kejahatan internasional atau melanggar HAM.
Dalam memberikan amnesti, presiden harus mendasar pada pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Dasar hukum amnesti selain tercantum dalam Pasal 14 ayat (2), tercantum pula pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Konsekuensi dari dikabulkannya amnesti bagi terpidana yaitu penghapusan segala akibat hukum pidana bagi terpidana.
Amnesti bisa diberikan oleh presiden kepada terpidana tanpa adanya suatu permohonan dan tidak ada ketentuan khusus. Namun, dalam praktiknya, sekretaris negara akan mengusulkan daftar nama terpidana yang harus diberikan amnesti. Setelah ditinjau, usulan tersebut akan dikirim ke DPR untuk ditanggapi. Berdasarkan pertimbangan DPR, apabila presiden patut memberikan amnesti, Presiden kemudian akan mengeluarkan perintah eksekutif mengenai amnesti.
Sementara itu, abolisi adalah penghapusan hukuman terhadap suatu proses hukum atau proses peradilan yang sedang berlangsung. Abolisi umumnya diberikan kepada Terpidana perseorangan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, presiden memberikan abolisi berdasarkan pertimbangan DPR. Dasar hukum abolisi serupa dengan amnesti, yakni tercantum dalam Pasal 14 ayat (2), selain itu tercantum pula pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954.
Berbeda dengan amnesti yang tidak memerlukan syarat khusus, abolisi memiliki tiga syarat pengajuan. Pertama, terpidana belum menyerahkan diri kepada pihak berwajib atau sudah menyerahkan diri kepada pihak berwajib. Kedua, terpidana sedang menjalani atau telah menyelesaikan pembinaan. Ketiga, terpidana sedang di dalam penahanan selama proses pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan.
Ervana Trikarinaputri, Naufal Ridhwan Aly, dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Sejumlah Pernyataan Prabowo Mengundang Polemik, Soal Apa Saja?