BERPERKARA memang memakan waktu lama dan butuh kesabaran. Apalagi kalau nilai perkaranya miliaran rupiah. Itu sekarang yang dialami Kaptin Adisumarta. Setelah tujuh tahun ia berperkara, baru keluar keputusan kasasi Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan Kaptin atas tanah Markas Besar PMI. Tapi kegembiraannya itu tak lama karena disusul surat Ketua MA yang menunda eksekusi keputusan kasasi itu. Alasannya, PMI mengajukan permohonan PK (peninjauan kembali). Merasa dirugikan, Kaptin lalu menggugat Ketua MA di PTUN Jakarta. Dalam gugatan itu Kaptin menyebut bahwa kepentingannya dirugikan ketua MA. Sebab, alasan penundaan eksekusi tak termasuk luar biasa, bahkan terkesan klise. Ia merujuk ke Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa permohonan PK tidak menunda eksekusi. Dengan kata lain, kata Kaptin, diperlukan alasan yang sangat kuat dan luar biasa untuk melakukan penundaan. Bagi Kaptin, penundaan tersebut begitu telak. Sebab, keputusan kasasi yang menyatakan ia berhak atas ganti rugi Rp 7,4 miliar dari PMI baru diterimanya Maret 1993, padahal keputusan itu dikeluarkan setahun sebelumnya. Dan ketika Kaptin mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan, justru keluar surat penundaan eksekusi dari Ketua MA tanggal 2 April 1993. Berhasilkah Kaptin di PTUN? Sekali lagi ia harus kecewa. Gugatannya itu hanya sampai di Ketua PTUN dan tak sempat disidangkan. Memang, sesuai dengan peraturan, setiap berkas perkara yang masuk harus diperiksa dulu oleh ketua pengadilan. ''Setelah diteliti, ternyata PTUN tak berwenang memeriksa gugatan Kaptin,'' kata Benyamin Mangkoedilaga, Ketua PTUN Jakarta, pekan lalu. Menurut Benyamin, Ketua MA tidak sewenang-wenang seperti dituduhkan Kaptin. ''Ketua MA memang berwenang mengeluarkan surat penundaan itu,'' ujarnya. Dan lagi, kata Benyamin, surat penundaan eksekusi yang dikeluarkan dalam kaitan pemeriksaan perkara seperti itu bukan termasuk jenis keputusan pejabat yang bisa diperiksa oleh PTUN. Benyamin kemudian mengeluarkan penetapan yang menolak gugatan Kaptin. Bila tidak puas, Kaptin bisa mengajukan perlawanan, dan sebuah majelis hakim beranggotakan tiga orang akan memeriksa keabsahan penetapan ketua pengadilan. Tapi bila majelis itu berpendapat sama, berarti Kaptin harus out. Pekan ini perlawanan Kaptin atas penetapan ketua PTUN baru didaftarkan. Entah mana nanti yang lebih dahulu keluar, keputusan PK perkara Kaptin di MA ataukah keputusan oleh majelis hakim di PTUN. Namun, Kaptin bersikukuh bahwa surat penundaan eksekusi itu tidak pada tempatnya. ''Surat ketua MA itu jelas- jelas mengurangi kebebasan hakim bawahan, sebab ketua pengadilan lalu tak bisa mengabulkan eksekusi dari pihak yang menang. Dan lagi surat penundaan itu dibuat tanpa mendengar pihak yang menang perkara,'' kata Kaptin. Soal kemenangan yang tertunda akibat surat Ketua MA memang tak cuma menimpa Kaptin Adisumarta. Pada bulan yang sama dengan keluarnya surat penundaan eksekusi tanah PMI, juga keluar surat penundaan eksekusi atas keputusan sengketa tanah Yayasan Waqfiyah Nahdlatul Ulama (NU). Padahal, keputusan itu oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan sebagai keputusan serta-merta (uitvoerbaar bij voorrad). Artinya, keputusan itu bisa langsung dieksekusi meski pihak yang kalah perkara mengajukan banding. ''Apa gunanya keputusan disebut bersifat serta-merta kalau kemudian eksekusinya bisa ditunda?'' kata Hazfan Taher, kuasa hukum pihak yang dimenangkan pengadilan. Seringnya muncul ''surat sakti'' Ketua MA yang menunda eksekusi pernah dibicarakan di DPR dalam acara konsultasi DPR- MA. Ketua MA Purwoto Gandasubrata saat itu menjawab bahwa persentase penundaan eksekusi yang dikabulkan MA sangat kecil dibandingkan permintaan yang ada. Purwoto mengulangi jawaban itu kepada TEMPO pekan lalu. ''Ada banyak sekali permintaan penundaan eksekusi. Namun, 99 persen kita tolak karena tak ada alasan yang kuat. Mungkin dari sekitar 17.000 permintaan penundaan, hanya 25 yang dikabulkan,'' kata Purwoto. Yang dimaksud Purwoto, alasan kuat adalah bila alasan itu berpotensi membatalkan keputusan hakim sebelumnya, misalnya dalil bukti palsu atau sumpah palsu. Ketua MA ini menolak pendapat bahwa penundaan eksekusi itu bertentangan dengan asas kepastian hukum dan konsep peradilan yang cepat dan murah. ''Justru ini demi kepastian hukum. Kalau setelah dieksekusi ternyata salah, bagaimana? Jadi, tidak asal cepat tapi tidak tepat,'' katanya. Tentang tanah PMI, ia menyebutkan ada lima perkara di pengadilan yang menyangkut tanah itu, dan belum semua diputus. Pihak yang berperkara semuanya yakin punya hak atas tanah itu. Ada yang memakai bukti girik, ada yang punya bukti akta notaris dan penetapan waris, tapi hanya PMI yang punya bukti sertifikat tanah. Karena itu, Purwoto menginginkan eksekusi ditunda sampai semua perkara yang menyangkut tanah itu selesai diputus. Soal gugatan Kaptin di PTUN, Purwoto mengingatkan bahwa penundaan eksekusi yang dibuatnya termasuk keputusan yudikatif, bukan keputusan administratif yang bisa diperiksa di PTUN. ''Kalau semua keputusan hakim bisa di-PTUN-kan, wah, repot,'' katanya. Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini