MASIH ingat skandal Watergate? Skandal yang terungkap akhir tahun 1973 itu menjungkalkan Richard E. Nixon dari kursi Presiden Amerika Serikat. Waktu itu dua wartawan Washington Post, Carl Bernstein dan Bob Woodward, menelusuri tertangkapnya staf Partai Republik di kantor Partai Demokrat. Lewat bantuan sumber yang disebut deep throat, akhirnya terbukti strategi kotor Partai Republik menyongsong pemilihan umum. Kini, 20 tahun setelah skandal Watergate, deep throat tetap jadi rahasia. Banyak orang ingin tahu siapa yang dimaksud dengan deep throat, tapi Bernstein dan Woodward tetap teguh menyembunyikan jati dirinya. Hak melindungi sumber berita itu, yang di Indonesia disebut hak tolak, diatur dalam UU Pokok Pers, Pasal 15, Ayat 6. Hanya saja, pada ayat 7 disebutkan bahwa ketentuan tentang hak tolak akan disahkan oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers. Adapun Dewan Pers baru pada sidangnya yang ke-38 di Probolinggo, dua pekan lalu, mengusulkan agar peraturan pemerintah segera dikeluarkan. Kabarnya, rancangannya sudah ada. ''Sekarang masih dibahas. Insya Allah dalam dua bulan ini sudah selesai,'' kata Menteri Penerangan Harmoko. Dalam UU Pokok Pers itu, disebutkan bahwa wartawan Indonesia memiliki hak tolak karena kewajiban menyimpan nama, jabatan, alamat, atau identitas sumber berita. Jaminan itu penting karena tak semua sumber berita bersedia disebut jati dirinya, apalagi yang bisa mengganggu keamanan dan keselamatannya. Adanya hak tolak akan membuat sumber bebas mengungkapkan informasi apa pun agar pers mampu berperan sebagai alat kontrol. Singkatnya, yang penting adalah apanya, bukan siapanya. Mengapa Dewan Pers baru sekarang mendesak agar peraturan pemerintah itu segera dikeluarkan? Konon, antara lain, ada kasus-kasus menyangkut hak tolak yang belakangan ini tergolong ''serius''. Kasus pertama terjadi Maret 1993, ketika Bintang Film Onky Alexander, yang sedang dinyatakan buron oleh polisi, diwawancarai wartawan Majalah TEMPO dan Forum. Pihak kepolisian menilai, mestinya wartawan bersangkutan memberi tahu di mana Onky berada sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam membantu tugas polisi. Memang tak sempat timbul masalah. Wartawan tidak dimintai keterangan oleh polisi, dan tak lama kemudian Onky datang sendiri menghubungi polisi. Kasus kedua sempat berbuntut panjang. Juli lalu, koran Memorandum di Jawa Timur memuat berita tentang calon Gubernur Jawa Timur yang menyetor duit Rp 200 juta kepada tiap fraksi untuk memuluskan pencalonan. Berita itu lalu dikembangkan koran lain. Pangdam Brawijaya, Mayjen Haris Sudarno, memanggil sepuluh wartawan yang memuat berita itu untuk dimintai keterangan. Kesepuluh wartawan itu ditanyai macam-macam, dari apa alasan menulis berita itu sampai siapa sumber beritanya. Beberapa wartawan yang dimintai keterangan akhirnya menyerah. Kasus itu membingungkan, apakah bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak tolak atau tidak. Menteri Harmoko sendiri menyebutkan, kasus itu tak bisa disebut sebagai pelanggaran hak tolak. ''Itu dalam rangka interaksi positif antara pers, pemerintah, dan masyarakat,'' katanya. Masalahnya, tanpa aturan main yang jelas, interaksi jadi sedikit rancu. Kalangan pers, misalnya, menilai kasus di Jawa Timur itu sebagai intervensi atas pekerjaan wartawan. ''Kasus itu tak bisa dibiarkan berulang lagi. Selama hanya dalam bentuk UU, masih sangat mungkin timbul persepsi pihak masing-masing,'' kata Albert Hasibuan, S.H., Pemimpin Umum Suara Pembaruan. Menurut Albert, kasus itu sempat jadi pembicaraan dalam hearing di DPR, dan menggelinding terus hingga ke Sidang Dewan Pers lalu. Dengan adanya peraturan tentang hak tolak, Albert yakin, pers akan lebih lugas dalam menyajikan pemberitaan yang benar. Sumber berita tak perlu khawatir menyampaikan informasi hanya karena alasan keamanan dan keselamatan, sementara wartawan bisa menjamin kerahasiaan sumber. Agar jaminan itu lebih kuat, Albert berharap, perlu ada peraturan tentang sanksi atas pelanggaran hak tolak. ''Jadi, kalau ada pihak yang tidak mematuhi hak tolak, bisa dituntut,'' kata Albert. Memang ada kekhawatiran bahwa hak tolak bisa digunakan berlebihan oleh wartawan. Misalnya, seorang wartawan ''mengarang'' suatu berita dan bertahan tak menyebut sumber berita dengan dalih melindunginya. Padahal, sumbernya itu sendiri tak ada, dan namanya ''karangan''. Bagi Albert, kekhawatiran itu bisa diatasi lewat jalan pengadilan. Pihak yang dirugikan bisa saja meminta pengadilan mengusut kebenaran suatu berita. Sidang Dewan Pers di Probolinggo juga menilai, tanggung jawab pers perlu pula ditegaskan lewat pengaturan tentang hak jawab, yang mewajibkan pers memuat bantahan atas suatu berita. Sama seperti hak tolak, selama ini, tak ada pengaturan hak jawab yang jelas. Sebuah koran bisa saja tak memuat bantahan seseorang yang dirugikan oleh koran tersebut. Atau sebutlah seorang sumber dirugikan oleh berita sepanjang lima kolom yang dimuat di halaman depan, tapi hanya disediakan satu kolom di halaman belakang untuk membantah berita itu. Singkatnya, hak jawab masih bergantung pada iktikad baik dan kejujuran media masing-masing. Liston P. Siregar dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini