INI pemandangan yang jarang ditemukan di rumah sakit: seorang bocah dirawat dengan tangan diborgol ke ranjang. Dialah salah seorang korban luka tembak akibat penggerebekan Padepokan Haur Koneng, Dusun Gunung Seureuh, Kamis dua pekan lalu. Tak diketahui mengapa tangan bocah itu, yang dirawat bersama lima saudaranya (dua wanita dan tiga pria dewasa) di Rumah Sakit Majalengka, sampai perlu digari. Dari dua anggota polisi yang silih berganti bertugas menjaga keenam pasien korban peluru itu, tak seorang pun mau memberikan keterangan. Sekalipun suasana Dusun Gunung Seureuh sekitar 50 kilometer dari Majalengka telah kembali seperti sediakala, hingga pekan ini masih banyak kecaman dilakukan terhadap penanganan kasus Haur Koneng, yang lima hari setelah penggerebekan dinyatakan sebagai aliran sesat itu. Bekas Wakil Gubernur Jawa Barat, Abung Kusman, seperti dikutip harian Merdeka, menyayangkan aparat yang bertindak terlalu cepat, tanpa pendekatan lebih dahulu. ''Tindakan main gerebek itu seperti menghadapi perampok saja,'' kata Ketua Majelis Ulama Indonesia, K.H. Hasan Basri. Sebetulnya, ujar Hasan Basri lagi, aparat keamanan tak perlu menangani aliran sempalan ini dengan senjata, tapi cukup dengan mengadakan dialog. ''Dialog itu, misalnya, bisa dilakukan dengan mengirimkan ajengan yang menjadi panutan. Lewat jalur ini, insya Allah mereka patuh,'' ujarnya. Padepokan Haur Koneng digerebek setelah pemimpin kelompok itu, Abdul Manan, memilih melawan petugas ketimbang menyerahkan pengikutnya yang dituduh membunuh Kapolsek Lemah Sugih, Serka Sri Ayom. Akibatnya, empat rumah penduduk habis terbakar, empat orang tewas (termasuk Abdul Manan), dan sepuluh orang pengikut Haur Koneng ditahan. Tentang pelarangan aliran Haur Koneng, menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Soegeng S. Marsigit, ajaran ini menyimpang dari Islam dan ternyata meresahkan masyarakat. Keresahan yang ditimbulkan, antara lain, disebutkan bahwa anak- anak yang menjadi pengikut Haur Koneng diajar untuk hanya mematuhi sang guru, yaitu Abdul Manan, dan tidak perlu taat kepada orang tua mereka. Selain itu, jemaah Haur Koneng juga dicekoki ajaran yang mengatakan Pancasila tidak sesuai dengan Islam. ''Alasan-alasan ini cukup untuk melarang ajaran Abdul Manan,'' kata Soegeng. Salah satu penyebab munculnya aliran sempalan, kata Hasan Basri, adalah terisolasinya mereka dari sentuhan juru dakwah. Aliran sempalan akan makin subur bila kalangan pengikutnya miskin dan tak berpendidikan. ''Pada kondisi demikian mereka terlena oleh janji yang diberikan orang,'' kata Hasan Basri. Dalam kasus Haur Koneng, janji tersebut diucapkan oleh Abdul Manan, yang mengobral kebahagiaan dan ketenteraman lewat mantra-mantra. Sementara itu, ABRI melihat kasus ini semata-mata sebagai perkara kriminal. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, Rabu pekan lalu, menjelaskan bahwa jemaah Haur Koneng memukul kepala desa dan membunuh petugas. ''Atas kesalahan itu, mereka akan dituntut di pengadilan,'' kata Feisal. Tentang penggunaan senjata dalam menangani kasus ini, Pangdam Siliwangi, Mayor Jenderal Muzani Syukur, mengatakan bahwa itu karena pengikut Haur Koneng sudah bertindak brutal terhadap petugas. ''Daripada kita malah dibacok, bagaimana lagi?'' katanya. Iwan Q.H., Dwi Setyo Irawanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini