Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menunggu Nunun Bicara

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERLAHAN tapi pasti, misteri perjalanan cek pelawat ke anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat makin terkuak. Sang pengantar cek, Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo, mengaku sekadar menjalankan perintah Nunun Nurbaetie Daradjatun.

Perintah diberikan langsung kepada Arie di ruang kerja Nunun, Jalan Riau 17, Menteng, Jakarta Pusat, pada 7 Juni 2004, atau sehari menjelang terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. ”Saya ingin Pak Arie membantu saya menyampaikan tanda terima kasih kepada anggota Dewan,” kata Nunun seperti ditirukan kembali oleh Arie saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Nunun, 59 tahun, menjadi saksi kunci dalam kasus yang telah menjerat empat anggota Dewan periode 1999-2004 itu. Nunun dikenal sebagai pengusaha sukses yang memiliki jaringan pergaulan luas.

Saat peristiwa pemberian cek tersebut, Arie adalah rekan kerja Nunun di PT Wahana Esa Sejati, perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit. Di perusahaan ini, Arie duduk sebagai direktur utama dan istri mantan Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Adang Dara­djatun itu sebagai presiden komisaris.

Perkenalan Nunun dan Arie terjadi pada 2000. Kala itu, Nunun mewawancarai Arie dalam rangka mengajaknya bergabung ke perusahaannya, PT Wahana Esa Sejati. Setahun sebelumnya, anak Nunun, Adri Ahmad Drajad, bersama Yane Yunarni—sepupu Nunun—menemui Arie. Mereka membujuk Arie agar mau pindah ke PT Wahana. Ketika itu, Arie masih bekerja di salah satu perusahaan PT Astra yang bergerak di bidang sawit. Di Wahana, Adri dan Yane tercatat sebagai pemegang saham.

Keahlian Arie dalam mengelola bisnis kelapa sawit membuat Nunun menjadikan pria kelahiran Yogyakarta, 2 Juli 1952, itu sebagai tangan kanannya. Pada 2003, Arie dipercaya sebagai direktur utama dan diberi saham 10 persen atau Rp 400 juta di PT Wahana.

Wahana Esa Sejati merupakan salah satu anak perusaha­an yang dimiliki Nunun di bawah bendera Grup Wahana. Nunun menekuni bisnis sejak lulus dari Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia, Jakarta, pada 1980-an. Awalnya, bisnis ibu tiga putra dan satu putri ini—Adri Ahmad Drajad, Tuza Junius, Ratna Farida, dan Mochamad Azara—bergerak di bidang telekomunikasi. Dia misalnya menjadi rekanan PT Telkom untuk membangun fasilitas telekomunikasi Telkom Divisi Regional II.

Pada 1988, Nunun melebarkan sayap bisnisnya. Dia mulai merambah sektor agrobisnis dan perusahaan media. Dengan modal awal Rp 80 miliar, dia mendirikan PT Wahana Esa Sambadha, kini menjadi PT Wesco, holding company Grup Wahana.

Selain dikenal lincah berbisnis, Nunun dikenal mudah berbaur dengan para wanita papan atas negeri ini. Kepada penyi­dik Komisi Pemberantasan Korupsi, Sumarni, anggota staf Nunun di PT Wahana Esa, menyebut beberapa kenalan bosnya, antara lain Miranda Goeltom, Tatie Fauzi Bowo, dan Siti Hardijanti Rukmana. ”Itu sepengetahuan saya berdasarkan data kolega,” kata Sumarni seperti ditirukan sumber Tempo di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Miranda tak menampik kenal Nunun. ”Kami sering berkumpul dan mengadakan acara bersama,” katanya saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis pekan lalu.

Miranda berkisah, perkenalannya dengan Nunun terjadi melalui pertemanan anak-anak mereka, yang sama-sama bersekolah di San Francisco, Amerika Serikat. ”Kalau me­ngunjungi anak saya di sana, saya mengundang teman-teman anak saya juga,” kata Miranda. Salah satu teman dekat anaknya adalah anak Nunun.

Nunun juga pernah berkunjung ke ruang kerja Miranda di Bank Indonesia. Saat itu, Nunun juga membawa cucunya. ”Saya ingat betul karena cucunya lari-lari di kantor saya,” ujar Miranda.

Menurut Arie, pada Agustus 2004, Miranda, yang saat itu menjabat Ketua Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (Gabsi), sempat menawari Nunun jadi sekretaris Gabsi. Tapi, ujar Arie, Nunun menolak dan justru menyodorkan dirinya. Kamis pekan lalu, seharusnya Nunun bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun dia tak hadir dengan alasan sakit.

Nunun rupanya benar-benar menutup diri kepada war­tawan. Surat permintaan wawancara yang diajukan Tempo tak dijawabnya. ”Ibu tak mau diwawancarai,” kata kuasa hukum Nunun, Partahi Sihombing.

Didatangi di kediamannya, Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, Adang dan Nunun tak ada di rumah. ”Sudah pergi,” ujar petugas keamanan yang mengaku bernama Darman. Tapi, di saat yang sama, hari itu, melalui se­kretaris pribadinya, Nunun mengirim surat keterangan dokter ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. ”Tidak bisa bersaksi karena sakit,” kata Nani Indrawati, ketua majelis hakim dengan terdakwa Dudhie Makmun Murod.

Kesaksian Nunun di pengadilan memang tinggal menunggu waktu. Adang Daradjatun sendiri, saat kampanye anggo­ta legislatif tahun lalu, berjanji tak akan menghalangi peng­usutan kasus yang diduga melibatkan istrinya itu. ”Ini negara hukum, jadi silakan diproses dengan hukum,” kata Adang.

Erwin Dariyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus