Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font size=2 color=#FF0000>Suap</font><Br >Transaksi Sial di Pinggir Kali

Seorang hakim dan pengacara tertangkap sedang melakukan transaksi suap dalam penanganan kasus tanah. Pengacaranya berkukuh itu duit pembelian tanah.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelakuan istri dan anak laki laki Adner Sirait membuat belasan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi geram. Di tengah penggeledahan rumah Adner di kompleks Billy Moon, Jakarta Timur, ibu anak itu bersatu padu berjibaku menghadapi KPK yang menemukan tas hitam berisi duit di ruang kerja Adner. Setelah saling rebut beberapa saat, pertarungan itu akhirnya dimenangi KPK. Rabu dinihari pekan lalu, setelah KPK ”merebut” tas itu, duit puluhan juta tersebut akhirnya disita.

Adner, lewat pamannya, Domu Sitorus, menegaskan duit itu tak ada hu­bungannya dengan perkara yang tengah melilitnya. ”Itu uang belanja,” kata Domu. Sebaliknya, penyidik mengaku punya alasan melakukan penyitaan. ”Asal usul duit itu tak jelas,” kata seorang penyidik KPK kepada Tempo. Dari penggeledahan di rumah dua lantai itu, penyidik juga mengangkut segepok dokumen. Dua jam sebelumnya, kantor Adner di rumah toko Cempaka Mas, Jakarta Pusat, juga digeledah. ­Di sana­ penyidik menyita tiga dus do­kumen.

Penggeledahan dilakukan berkait­an dengan ditetapkannya Adner sebagai tersangka kasus dugaan penyuap­an kepada Ibrahim, hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta. Selasa pekan lalu, keduanya ditangkap setelah Adner tertangkap tangan me­nyerahkan duit Rp 300 juta kepada Ibrahim di Jalan Mardani, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Terdiri atas pe­cahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu, duit disimpan di dua amplop cokelat dibungkus kantong plastik hitam. Telepon seluler dan mobil keduanya juga disita.

Menurut Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto, penyuapan itu terkait dengan kasus sengketa tanah yang dita­ngani Ibrahim. Dari penelusuran Tempo, kasus yang dimaksud adalah perkara sengketa sertifikat hak pakai tanah seluas 7.554 meter persegi di Jalan Kamal Raya, Cengkareng, Jakarta Barat, yang diajukan Kantor Pertanahan Jakarta Barat mewakili Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melawan PT Sabar Ganda. Kasus ini masuk Pengadilan Tata Usaha Negara pada 18 Februari lalu. Di tingkat pertama, PT Sabar menang. Adner adalah pengacara PT Sabar. ”Suap itu dimaksudkan supaya Adner memenangi kasus itu,” kata Bibit.

Kongkalikong itu diendus KPK sepekan sebelum penangkapan. Menurut juru bicara Komisi, Johan Budi S.P., mulanya KPK mendapat laporan akan terjadi penyerahan uang dari Adner kepada Ibrahim. Pengintaian berlanjut hingga hari penangkapan. Sekitar pukul 09.00, Adner menemui Ibrahim di kantornya. Setengah jam kemudian, keduanya keluar dari kantor. Ibrahim menunggang Kijang Innova hitam. Mengekor di belakangnya Adner dengan Honda Jazz perak.

Saat itu, diam diam, dua mobil penyidik KPK membuntuti mereka. Tiba di Jalan Mardani Raya, mobil Ibrahim dan Adner berhenti. Keduanya turun. Di tempat itu, Adner memberikan duit Rp 300 juta. Seusai transaksi, keduanya meninggalkan tempat. Saat itulah mobil keduanya dihadang mobil KPK. Namun hanya Ibrahim yang dapat dibekuk. Adner meloloskan diri dengan mobilnya. Ia baru dibekuk petugas di jalan sekitar Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Keduanya langsung digelandang ke kantor KPK di bilangan Kuningan. Setelah diperiksa, mereka ditetapkan sebagai tersangka. Ibrahim dijerat dengan pasal korupsi menerima suap dan Adner dijerat dengan pasal penyuap. Ancaman hukuman maksimal untuk tindakan yang dilakukan Adner 15 tahun penjara.

Saat kembali diperiksa, Selasa itu, penyakit ginjal Ibrahim kumat. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Mitra Internasional Jatinegara, Jakarta Timur, untuk cuci darah. Dua kali dalam sepekan, pria 53 tahun itu mengaku harus cuci darah. Rabu pekan lalu, enam penyidik KPK mendatanginya di Rumah Sakit Mitra. Mereka bermaksud memeriksa Ibrahim. ”Tapi hanya sepuluh menit karena dia sakit,” kata pengacara Ibrahim, Junimart Girsang. Rabu sore pekan lalu, Ibrahim dipindahkan ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati.

Berbeda dengan Ibrahim, pemeriksaan Adner berjalan lancar. Rabu pekan lalu, ia ditahan di Blok II Rumah Tahanan Cipinang. Tak hanya itu, ia juga dibawa saat dilakukan penggeledahan kantor dan rumahnya.

Menurut Junimart, Ibrahim tak pernah menerima suap dari Adner. Duit Rp 300 juta itu, kata Junimart, merupa­kan uang Ibrahim untuk membeli tanah di Johar Baru, Jakarta Pusat. ”Penghasilannya banyak, ia punya tambak udang,” katanya. Dari laporan kekaya­annya ke KPK per Desember 2008, Ibrahim tercatat memiliki dua tambak udang windu di Kalimantan Timur yang luasnya 95 hektare. Ia juga memiliki sejumlah tanah di Jakarta Timur dan Samarinda. Total kekayaannya tercatat sekitar Rp 1,67 miliar.

Kepada wartawan, Tony Pasaribu,­ pengacara Adner, mengatakan klien­nya saat hari penangkapan tak pernah ke kantor Ibrahim. Saat itu, kata Tony, ­Adner sedang mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Setelah sidang, Tony menuturkan, ­Adner ditelepon seseorang untuk pergi ke tempat parkir pengadilan. Ternyata, kata Tony, di sana sudah ada KPK dan Ibrahim. Hap, Adner pun ditangkap.

Mahkamah Agung sendiri langsung memberhentikan Ibrahim begitu hakim kelahiran Maros, Sulawesi Selatan, itu ditetapkan sebagai tersangka. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Rabu pekan lalu, juga mengganti tiga anggota majelis hakim yang menangani perkara PT Sabar. Ibrahim digantikan Suhardoto. Adapun Adner terancam dipecat dan dicabut izin advokatnya oleh Perhimpunan Advokasi Indonesia (Pe­radi). ”Itu sanksi paling berat,” kata Ketua Peradi Denny Kailimang.

l l l

LAHAN 10 hektare di Jalan Kamal Raya, Cengkareng, Jakarta Barat, itu hanya ditumbuhi rumput liar setinggi satu meter. Sekelilingnya dipagari kawat besi setinggi satu meter. Di depan lahan itu, berjejer kios penjual tanaman hias. Di sebelah kiri ada Kebun Bibit Pemerintah Provinsi DKI. Di seberang lahan tampak berdiri gagah Mal Taman Palem. Di setiap sudut lahan terpacak plang besi putih bertulisan ”Lahan ini milik PT Sabar Ganda”. Di satu plang lagi tertulis dasar hukum kepemilikan lahan itu.

Inilah lahan yang disengketakan Pemerintah Provinsi DKI dengan PT Sabar sejak Mei 2008. Sengketa mulai terjadi ketika Pemerintah Provinsi melakukan inventarisasi aset, awal 2008. Lahan itu ternyata diklaim milik PT Sabar dan telah dipagari tembok setinggi dua meter. Pemerintah DKI membongkar tembok itu. PT Sabar tak menyerah. Mereka kembali membuat tembok. Persoalan semakin runyam karena seorang warga di wilayah itu, H Tinggul, juga mengklaim memiliki bukti atas tanah 2,3 hektare di lahan sengketa tersebut.

Setelah delapan kali temboknya dibongkar, PT Sabar, Mei 2008, meng­ajukan gugatan kepemilikan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. ”PT Sabar punya akta jual beli seluas 9,3 hektare,” kata Fransisca Ramona, pengacara Sabar saat itu. PT Sabar mengklaim punya hak guna usaha tanah itu. Tak hanya Pemerintah Provinsi DKI, H Tinggul juga turut digugat. Pemerintah DKI tak mundur dan menggugat balik PT Sabar ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Di tengah jalan, ditunjuklah ­Adner Sirait untuk menangani kelanjutan kasus itu.

Menurut Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Sri Rahayu, PT Sabar berstatus penyerobot la­han. Hak guna usahanya dinilai bukan di lokasi itu. Pemerintah DKI mengklaim mengantongi Sertifikat Hak Pakai Nomor 120 dan 121 atas tanah 7.554 meter persegi. Pemerintah DKI juga mengklaim punya bukti kepemilikan lahan 10 hektare itu. ”Itu lahan untuk kebun bibit,” katanya.

Pada November 2009, pengadilan memutus tiga perkara itu. Semuanya dimenangi PT Sabar. Berbekal kemenangan ini, PT Sabar beranggapan surat tanah yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI gugur. PT Sabar lalu menggugat ke PTUN untuk membatalkan dua sertifikat nomor 120 dan 121 milik Pemerintah Provinsi. Tujuannya, lahan 10 hektare itu semuanya bisa dimiliki.

Di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim yang diketuai Bertha Sitohang memenangkan PT Sabar. Surat hak pakai itu dibatalkan. Pemerintah DKI melalui Kantor Pertanahan Jakarta Barat kembali banding. Dalam proses inilah muncul kasus suap itu.

Pengacara PT Sabar, Parlin Sitorus, mengaku tak mengetahui kasus sengketa lahan itu. ”Ini dipegang Adner,” katanya. Ketika Tempo mendatangi kantor PT Sabar di Jalan Mangga Dua, Tanjung Duren, Jakarta Barat, petugas keamanan di kantor itu, Hutarouk, langsung menghalau. ”Dilarang masuk, lagi rapat,” katanya.

Dari akta pendirian perusahaan, PT Sabar berdiri pada Juni 1980 dan dimi­liki keluarga Sitorus. Darianus Lungguk Sitorus tercatat memegang 28 persen saham perusahaan ini. Nama D.L. Sitorus mencuat setelah dia dianggap menyerobot 80 hektare hutan negara di Sumatera Utara dan kemudian divonis delapan tahun penjara. Kasus transaksi pinggir kali ini tampaknya memang tak hanya melibatkan Ibrahim atau Adner.

Anton Aprianto, Sutarto, Dianing Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus