Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUPA berat, vertigo, dan migrain. Inilah tiga penyakit yang menjadi alasan Nunun Nurbaetie tidak hadir dalam persidangan Dudhie Makmun Murod, Kamis pekan lalu, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Keterangan dari dokter Andreas Harry yang berpraktek di Rumah Sakit Gading Pluit itu dibacakan Nani Indrawati, ketua majelis hakim, di muka sidang. ”Hakim tidak begitu saja percaya,” kata Nani. Lalu dia menegaskan sikap hakim: Senin pekan ini Nunun dipanggil kembali untuk hadir di persidangan. ”Saksi (Nunun) wajib hadir,” kata Nani.
Kepada Tempo, Andreas Harry membenarkan bahwa Nunun pasiennya sejak tiga setengah tahun lalu. Tapi Andreas menolak menerangkan penyakit yang diderita perempuan 59 tahun itu. ”Silakan tanya keluarganya,” ujarnya. Kepada Tempo, seorang teman Nunun, yang minta tak disebutkan namanya, membenarkan sakit Nunun itu. Menurut dia, satu setengah tahun lalu Nunun terkena stroke ringan. ”Sejak itu, dia jadi pelupa.”
Nunun Nurbaetie adalah istri mantan Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun. Ibu empat anak ini disebut sebut berperan penting dalam pemilihan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada Juni 2004. Dari dialah diduga tersebar ratusan lembar cek pelawat senilai Rp 50 juta per lembar kepada anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memenangkan Miranda.
Cek pelawat itu sampai ke anggota Dewan melalui Ahmad Hakim Safari M.J. alias Arie Malangjudo, bekas Direktur Utama PT Wahana Esa Sejati, perusahaan perkebunan sawit Nunun.
SEPULUH tahun silam, Arie Malangjudo, 57 tahun, pegawai di PT Astra Agro Lestari, ”dibajak” Nunun, yang ingin berbisnis perkebunan kelapa sawit. Arie langsung didudukkan sebagai Direktur PT Wahana Esa Sejati. ”Itu mula saya kenal Bu Nunun,” tutur Arie saat bersaksi di persidangan Dudhie, Senin pekan lalu.
Awal Juni 2004, demikian pengakuan Arie, Nunun memanggil dan mengenalkan Arie dengan seorang anggota Dewan tanpa menyebutkan namanya. ”Dia berjas, rambut klimis,” tutur Arie. Nunun meminta Arie membantunya menyampaikan ”tanda terima kasih” kepada anggota Dewan. ”Bapak ini akan menghubungi Pak Arie,” ujar Nunun sambil menunjuk tamunya itu.
Seusai Nunun berbicara, kata Arie, giliran lelaki klimis ini berucap. ”Kita sudah atur, nanti ada kode merah, kuning, hijau, putih pada kantong itu,” tutur si tamu sambil menunjuk tas kertas berjumlah empat di kanan meja Nunun. Hingga pertemuan usai, Arie mengaku tetap tak tahu siapa teman bosnya itu. ”Saya baru tahu dia Hamka Yandhu waktu kasus ini meledak,” paparnya.
Sehari setelah perkenalan dengan Hamka itu, ujar Arie, ia menerima telepon dari pria yang menyatakan akan mengambil ”titipan berkode merah”. Dia lantas menyampaikan pesan itu kepada Nunun dan selanjutnya seorang pegawai Nunun mengantarkan empat tas kertas bertanda merah, kuning, hijau, dan putih ke ruangannya. Tas tas itu berisi sejumlah amplop putih. Arie lantas meluncur ke restoran Bebek Bali, Senayan, tempat ia berjanji bertemu dengan pria itu. Belakangan diketahui pria ini adalah Dudhie Makmun Murod.
Dari restoran, perjalanannya berlanjut ke Hotel Atlet Century Park, Senayan, untuk menemui penelepon dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. ”Saya serahkan tas yang bertanda hijau di kafe lobi atas,” papar Arie.
Setelah itu, ia balik ke kantor. Di perjalanan, telepon selulernya berdering. Peneleponnya mengaku bernama Hamka Yandhu dan Udju Djuhaeri. Yang terakhir ini adalah anggota Fraksi TNI/Polri. ”Mereka mau datang ke kantor untuk mengambil yang ’kuning’ dan ’putih’,” kata Arie.
Tugasnya menyampaikan ”titipan Nunun” tuntas dalam sehari. ”Hari itu 8 Juni (2004),” tutur Arie. Pada hari itu di Dewan Perwakilan Rakyat, lewat pemungutan suara, Miranda terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Kepada majelis hakim, Arie mengaku awalnya ia sama sekali tak tahu isi tas kertas itu, sampai kemudian Udju memberitahukan bahwa isinya cek pelawat.
Di persidangan pekan lalu itu, hakim bertanya kepada Arie, apakah benar keempat lelaki yang mengambil ”titipan Nunun” itu adalah Dudhie, Endin A.J. Soefihara, Hamka, dan Udju—yang saat itu juga dihadirkan di persidangan. ”Betul, Bu Hakim,” jawabnya yakin.
Tapi jawaban Arie dibantah Dudhie dan ketiga sejawatnya. Keempat terdakwa korupsi cek pelawat itu kompak menjawab tidak yakin Arie tersebut adalah Arie yang mereka temui hampir enam tahun silam. ”Arie yang saya temui lebih kurus,” kata Hamka. ”Arie yang saya temui lebih muda,” ujar Udju. Adapun jawaban Endin, ”Saya kira Arie yang saya temui tidak seperti ini.”
Hamka juga membantah pertemuan dengan Nunun dan Arie di kantor Nunun di Jalan Riau 17, Jakarta Pusat, pada 7 Juni. Dia mengaku tak pernah mengarahkan cara pemberian ”tanda terima kasih” itu. Menurut Hamka, dia datang ke kantor Nunun hanya satu kali, yakni setelah pemungutan suara. ”Saya diajak almarhum Azhar Muchlis bertemu Arie,” katanya.
Para terdakwa boleh saja memungkiri sosok Arie. Tapi, menurut jaksa Andi Suharlis, Arie tetap sosok penting yang memberikan petunjuk dari mana cek pelawat berasal. ”Kesaksian Arie mengkonfirmasi peran Nunun,” kata Andi.
Nunun telah dimintai keterangan oleh penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada November 2009. Menurut pengacaranya, Partahi Sihombing, Nunun membantah telah membagi bagikan cek pelawat kepada anggota Dewan melalui Arie Malangjudo. ”Itu cuma keterangan Arie sepihak yang harus dibuktikan,” ujar Partahi.
Di kalangan sosialita Jakarta, kedekatan Nunun Daradjatun dan Miranda Goeltom bukanlah rahasia lagi. Ketika bersaksi Kamis pekan lalu, Miranda mengaku mengenal Nunun. ”Dia sosialita, istri pejabat Polri, dan putrinya, sama seperti anak saya, bersekolah di San Francisco,” papar Miranda. Miranda membantah telah menyebarkan cek pelawat melalui Nunun kepada anggota Dewan.
Memang belum jelas benar benang merah antara Nunun dan Miranda dalam perkara korupsi ini. Sumber di Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku sulit menemukan jejak Miranda dalam kasus cek pelawat itu. Satu satunya petunjuk adalah pada 2004 hanya ada satu agenda pemilihan pejabat publik di Dewan Perwakilan Rakyat, yakni pemilihan petinggi Bank Indonesia. Maka yang bisa menjelaskan peran Miranda, ”Ya, Nunun,” ujar sumber itu.
Hasil penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan cek pelawat itu diterbitkan oleh Bank Internasional Indonesia atas permintaan Bank Artha Graha. Adapun Bank Artha Graha membeli cek atas permintaan nasabahnya, PT First Mujur Plantation and Industry.
Hal ini dibenarkan Krisna Pribadi, Kepala Seksi Traveller’s Cheque BII, saat bersaksi Senin pekan lalu. Menurut dia, pada 8 Juni 2004 ada permintaan Bank Artha Graha membeli traveller’s cheque senilai Rp 24 miliar. Hari itu juga Krisna mengantarkan 480 pucuk cek pelawat senilai Rp 50 juta per lembar, yang diterima Tutur, cash officer Bank Artha Graha.
Krisna lantas menerima dua dokumen dari Tutur, yakni tanda terima yang diteken Tutur dan dokumen purchase of agreement traveller’s cheque yang diteken atas nama PT First Mujur tanpa nama seseorang. Menurut Krisna, tanpa nama itu tidak menyalahi aturan banknya. ”Tertera nama perusahaan sudah cukup,” ucapnya.
Hakim lantas mengecek ke Tutur soal siapa dari PT First Mujur yang meneken dokumen pembelian. Tapi Tutur mengaku tak tahu karena tidak melihat siapa yang meneken dokumen itu. Tutur hanya menjelaskan, pada 8 Juni 2004 pagi hari, ada staf PT First Mujur yang datang kepadanya dan akan mentransfer Rp 24 miliar dari Bank Artha Graha ke BII.
Kemudian, sekitar pukul 11.00, datang staf BII mengantarkan 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar. Cek berikut dokumen pembelian lantas dikirimkan ke PT First Mujur, yang berada satu gedung dengan Bank Artha Graha.
Menurut sumber Tempo, cek senilai Rp 24 miliar itu atas permintaan seseorang bernama Ferry, pengusaha yang menjual perkebunan sawitnya kepada PT First Mujur. Dia meminta pembayarannya dengan cek pelawat. Sayangnya, Ferry tidak bisa dimintai konfirmasi. ”Dia disebutkan telah meninggal pada 2007,” kata sumber Tempo ini.
Anehnya, cek atas permintaan Ferry itu sama dengan cek yang dibagikan Nunun kepada anggota Dewan. ”Sebagian besar cek itu sudah dicairkan. Karena itu, bisa terlacak,” ujar sumber yang sangat meminta identitasnya dirahasiakan ini.
Soal pencairan itu dibenarkan Krisna. Dari 480 cek yang dibeli Bank Artha Graha atas permintaan PT First Mujur, ujarnya, sebanyak 478 sudah dicairkan.
Pertanyaan yang mengemuka kemudian memang: bagaimana cek pelawat ”Ferry” bisa sama dengan cek pelawat yang diterima anggota Dewan. Kepada Tempo, seorang jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi hanya tersenyum saat ditanya soal ini. ”Kunci jawabannya ada di Nunun,” ujarnya.
Jadi, satu satunya harapan kini, Nunun segera ”sembuh” dari penyakit lupa beratnya, bersaksi di persidangan, dan bercerita yang sebenarnya perihal cek cek itu.
Anne L. Handayani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo