Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan tahun menjadi peneliti, nama Wilson Walery Wenas tetaplah nama yang asing bagi kebanyakan orang Indonesia. Di telinga anak-anak muda, dia tenggelam di antara na-ma-nama populer seperti si ratu Indonesian Idols Joy Tobing, atau Tia serta Sutha, pemenang Akademi Fantasi Indosiar (AFI) tahap kedua dan ketiga.
Padahal, di mata komunitas peneliti teknologi energi surya, yang bisa mengubah energi matahari menjadi energi listrik, Wilson adalah empu sel surya. Namanya dikenal dunia sejak sepuluh tahun lalu. Ia populer ketika dalam disertasi doktornya Wilson berhasil mengembangkan sel surya jenis a-Si (amorf silikon) dan menghasilkan rekor efisiensi tertinggi di dunia, 12,9 persen. Hasil penelitian ini dianggap terbaik sehingga mendapat penghargaan dari Tokyo Engineering Institute of Technology dan uang 500 ribu yen.
Tapi itu kejayaan Wilson di luar negeri sono. Di sini, Wilson tetaplah seorang dosen biasa. Wajahnya jauh dari publikasi, kilatan lampu blitz, serta kamera televisi. Bahkan, ketika awal bulan lalu ia menyabet Herman Johannes Award, sebuah ajang paling anyar bagi para peneliti yang diadakan oleh Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada, namanya juga tak banyak muncul di media massa.
Padahal, dia baru saja membuat temuan yang bisa mengubah peta perlistrikan di Indonesia. Temuannya adalah sekeping kaca berukuran 10 x 10 sentimeter. Meski bentuknya lebih mirip kaca buram biasa, temuannya ini bisa kembali menjadi rekor dunia. Inilah kaca yang bisa mengubah sinar matahari menjadi listrik dengan kemampuan 20 persen lebih banyak ketimbang sel surya (solar cell) konvensional. Harganya pun jauh lebih miring dibandingkan dengan sel surya impor yang kini ada di Indonesia.
"Inilah masa depan listrik Indonesia," kata Direktur Pusat Pengembangan Pendidikan Ilmu-Ilmu Sains Dasar ITB kepada Tempo. Ia menghitung, pada tahun 2020 nanti, ketika energi minyak makin langka dan mahal, energi surya bakal menjadi alternatif pilihan. Dan energi ini bisa dijual lebih murah separuhnya dari harga energi yang berasal dari minyak dan gas.
Tapi perjuangan Wilson mengembangkan sel surya bukanlah perjuangan mudah. Sepuluh tahun ia berkutat di bidang ini, tapi pemerintah?boro-boro investor?tak pernah melirik. Tak ada yang serius berpikir bahwa energi dari sel surya adalah energi andalan masa depan. Padahal, negeri beribu pulau ini adalah negeri yang bertabur sinar matahari. Karena letaknya di garis Khatulistiwa, persis di tengah lingkar bola bumi, matahari menyinari Indonesia selama 2.000 jam per tahun. Intensitas sinar juga tinggi, rata-rata 4,5 kWh (kilowatt jam) per meter persegi per hari. Ironisnya, menurut data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kapasitas terpasang listrik tenaga surya di Indonesia kurang dari satu persen dari total listrik yang ada.
Data itulah yang membikin Wilson gulana. Ia bertekad energi cuma-cuma pemberian Tuhan itu harus dimanfaatkan. Dan setelah sepuluh tahun meneliti teknologi sel ajaib itu, kini dia bisa menemukan cara mendongkrak kemampuan menyerap energi matahari sekaligus membikin murah sel surya. Idenya adalah dengan membuat lapisan sel surya bergerigi, bukannya lapisan mulus seperti kebanyakan sel surya buatan luar negeri.
Lapisan gerigi yang terbuat dari seng oksida (zinc-oxide) digunakan untuk mengurung sinar matahari. Logikanya, permukaan yang tak rata akan membuat sinar matahari terpantul berulang-ulang. Dengan cara itu, sinar matahari yang tertahan akan lebih banyak ketimbang menggunakan sel surya konvensional yang rata serta mulus. Itu pula yang mendongkrak produksi listrik menjadi 20 persen lebih tinggi.
Inilah lompatan dalam sejarah teknologi sel surya. Wilson menuturkan, teknologi menjaring listrik dari matahari ini sebenarnya sudah ada sejak 1970. Saat itu, bahan yang digunakan adalah kristal silikon (x-Si). Karena lapisan ini memiliki lapisan hingga ratusan mikron (satu mikron setara dengan sepersejuta meter), harganya jadi mahal.
Satu dekade kemudian, lahirlah sel surya generasi kedua yang menggunakan material lapisan tipis. Tebalnya cuma satu mikron. Tapi, meski harganya lebih murah dibandingkan dengan generasi pertama, materi ini? karena mengandung CuInSe2 (CIS) dan amorf-silikon (a-Si)?kurang tokcer untuk menghasilkan energi listrik yang besar.
Panel surya yang murah sekaligus menghasilkan listrik yang besar inilah PR (pekerjaan rumah) yang ingin diselesaikan Wilson sejak dia meraih gelar doktor pada 1994 di Tokyo Institute of Technology, Jepang. PR ini terjawab ketika dia berhasil mengembangkan material baru berupa lapisan tipis seng oksida (ZnO) dengan permukaan yang bergerigi. Ketika cahaya mentari mengenai seng oksida gerigi, sinarnya akan dipantulkan ke mana-mana sesuai dengan arah bidang gerigi itu. Ada sinar yang terpantul lagi ke udara, namun lebih banyak lagi sinar yang akhirnya memantul lagi ke permukaan gerigi yang lain.
Bila dalam sepetak kaca ukuran 10 x 10 sentimeter ada jutaan gerigi, bisa dibayangkan ada berapa juta bidang yang terpapar sinar matahari. Untuk mengurung sinar matahari, cara ini terbukti jelas lebih efektif ketimbang sel surya konvensional yang me-makai permukaan mulus. Bidang datar yang mulus akan membuat sinar matahari lebih banyak memantul dan terbuang percuma.
Keunggulan seng bergerigi itu kemudian dipadukan dengan lapisan amorf-silikon. Ini adalah lapisan yang ampuh untuk mengubah sinar matahari menjadi setrum listrik. Teknisnya, kaca bergerigi itu disimpan di dua sisi, mengapit lapisan amorf silikon (a-Si). Persis seperti sandwich. "Kemampuan menghasilkan listriknya bisa meningkat 20-30 persen," ujar peraih berbagai penghargaan itu, antara lain Material Research Society (MRS) Award 1999?sebuah penghargaan dari ilmuwan dunia dalam inovasi suatu bahan?dan Hitachi Research Fellowship Award tahun 2001
Wilson butuh waktu lama untuk membuat sel bergerigi ini. Dia memanfaatkan reaksi cepat antara air dan diethyl zinc dalam sebuah peralatan khusus ciptaannya sendiri yang dia sebut photo-metalorganic chemical vapor deposition (photo MOCVD). "Enam bulan saya mencoba terus agar permukaan kaca itu bergerigi," ujar Wilson, "Ternyata tidak sia-sia."
Kini, dosen ITB itu sedang mengupayakan realisasi pengembangan industri sel surya dalam negeri dengan kapasitas 2,5 megawatt per tahun atau setara dengan memproduksi 50 ribu panel per hari. "Sudah ada beberapa pemerintah kota dan kabupaten di Bandung yang tertarik, khususnya dari kawasan Indonesia timur," ujar salah satu pengajar Tim Olimpiade Fisika Indonesia ini.
Kalau pengembangan ini disetujui investor, masyarakat Indonesia di berbagai pelosok negeri bisa menikmati hidup dengan listrik. "Harga panelnya juga bisa lebih murah, bisa sampai US$ 1,7. Ini jauh lebih murah ketimbang harga sel surya impor yang kini ada di pasar dalam negeri, yakni US$ 4.
Meski temuan Wilson tergolong luar biasa, tetap saja tak ada yang tertarik mengembangkan teknologi ini secara komersial. Kondisi itu sangat berbeda dengan ketika dia masih merampungkan disertasinya di Jepang. Ketika dia membeberkan teori baru dari sel surya, Nihon Kogyo Shimbun, koran setempat, langsung menyambar dan memuatnya di edisi 12 April 1991. Sehari kemudian, laboratoriumnya ramai didatangi para industriwan Jepang.
Bahkan kini beberapa di antara mereka?yaitu Fuji Electric dan Showa Sel?telah menerapkan temuan yang dipatenkan atas nama nyong Manado kelahiran Desa Suwaan, Kecamatan Airmadidi Tonsea, itu. Sebuah cerita klise tentang negeri kita yang lebih suka melirik karya orang luar ketimbang menghargai karya bangsanya sendiri.
Burhan Sholihin/Rana Akbari Fitriawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo