PARA deposan, kendati telah menyimpan uangnya di bank-bank terkenal, agaknya tidak perlu terburu-buru merasa keamanan uangnya terjamin. Buktinya, seorang pengusaha Surabaya, Hendro Juwono, 50 tahun, sampai kini tak bisa memperoleh kembali depositonya senilai US$ 500.000 berikut bunganya di American Express (Amex) Bank, yang tanpa diketahuinya dibobolkan mafia bank setahun lalu. Padahal, pihak Mabes Polri telah menggulung pelaku-pelaku pembobolan Amex tersebut dan menyatakan Hendro "bersih" dari kemungkinan terlibat komplotan itu. Tapi, "sampai saat ini belum sesen pun uang saya kembali," ujar Hendro. Keterangan itu dlberikannya di hadapan majelis hakim yang diketuai Justin Sirait di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sabtu pekan lalu, ketika didengar sebagai saksi dalam perkara terdakwa pelaku pembobolan itu, Harry Tranggono dan Andry Iryanto. Menurut Hendro, sudah dua kali ia meminta pihak Amex agar segera mencairkan uangnya itu. Tapi pihak Amex Jakarta selalu menolaknya dengan alasan perkara pembobolan bank itu belum selesai. "Mereka selalu berdalih begitu, saya sampai kesal," ujar Hendro. Deposito milik Hendro dijarah komplotan Harry Tranggono dngan cara yang cukup lihai. Hanya dengan memalsukan tanda tangan Hendro, mercka berhasil mentransfer uang deposito US$ 400.000 -- dari US$ 500.000 depositonya -- atau sekitar Rp 650 juta, dari kantor pusat Amex di Swiss ke Bank Bumi Daya (BBD) Sarinah, 25 Agustus 1987. Pada hari kejadian ini, Hendro Juwono sendiri berada di Hong Kong. Menurut Jaksa Soerjadi, yang mengajukan Harry dan Andry ke pengadilan, skenario pembobolan itu bisa lancar lantaran kerja sama mereka dengan Gunawan Handoyo, Subianto Santoso, serta Tjepi Nurdjaman ketiganya akan diadili secara terpisah. Subianto Santoso termasuk berperan penting dalam komplotan itu. Sebab, dari bekas karyawan kontrak Amex Jakarta -- antara Desember 1986 dan Juni 1987 -- begitu dakwaan Jaksa, diperoleh dokumen pembukaan rekening Hendro di Amex Jakarta. Sementara itu, Tjepi Nurdjaman, yang ketika itu menjadi kepala BBD Sarinah, memudahkan Gunawan Handoyo membuka rekening atas nama Hendro Juwono, di bank tersebut, untuk menampung hasil transfer tidak sah itu. Siapa sebenarnya otak pembobolan, tingal menunggu pembuktian di persidangan. Tapi yang menjadi persoalan, hingga perkara itu disidangkan saksi korban, Hendro Juwono, sama sekali tak bisa mencairkan uangnya di Amex itu -- termasuk sisa dana setelah dibobol komplotan tersebut. Padahal, hanya enam hari setelah depositonya kebobolan, Hendro telah mengajukan permohonan agar depositonya berikut bunga segera dicairkan. Tapi general manager Amex Jakarta waktu itu, Patrick J. Wye, menyatakan Amex Pusat di Jenewa, Swiss, yang bertanggung jawab atas persoalan itu. "Di sini hanya kantor administrasi, membantu Swiss," katanya. Upaya Hendro meminta kedua kalinya juga gagal, dengan penolakan yang sama. Bahkan dua kali somasi Hendro, lewat pengacaranya dari kantor Albert Hasibuan, juga tak mempan. Pada somasi ketiga, Januari lalu, pihak Amex menjawab: akan segera menyelesaikan masalah itu bila penyelidikan di Swiss dan di sini telah selesai. Tapi setelah penyidikan polisi selesai, urusan itu tak kunjung dilayani Amex. Padahal, Mabes Polri telah mengeluarkan surat keterangan bahwa Hendro tak terlibat kasus pembobolan tersebut. Di persidangan, Amex tampaknya tetap bersikukuh dengan sikap itu. Saksi Jenny Tabuluyan menyatakan, Amex Swiss yang bertanggung jawab atas penggantian uang Hendro. Sebab, penempatan dana dan pembukaan rekening Hendro, kata karyawati Amex Jakarta itu, menggunakan formulir Amex Jenewa -- sedangkan di Jakarta hanya fotokopinya. "Itu sesuai dengan permintaan nasabah dari semula," ujar Jenny. Selain itu. ketika mafia bank mentransfer deposito Hendro, kata Jenny, Amex Jenewa-lah yang menyetujui pencairan uangnya. Karena itu, Amex Jakarta tak bertanggung jawab. Apalagi, "Secara hukum, Amex Jakarta bukanlah bagian dari Amex Jenewa," katanya. Tentu saja jawaban itu tak memuaskan banyak orang yang ingin tahu kejelasan deposito itu. "Itu 'kan cuma dalih saja," kata Jaksa Soerjadi. Pengacara Harry Tranggono, Kho Gin Tjan, juga meragukan alasan itu. "Kenyataannya sudah jelas, kok, ada hubungan antara Amex Jakarta dan Swiss," ujar Kho Gin Tjan. Hendro Juwono pun tak kalah gusarnya mendengar kesaksian itu. Hendro membenarkan, dokumen rekeningnya menggunakan surat berkop Amex Swiss. "Tapi 'kan menghimpun dananya di Amex Jakarta, yang merupakan cabang penuh. Bagaimana mereka bisa bilang tidak bertanggung jawab?" kata pengusaha obat-obatan PT Henson Makmur Surabaya itu. Sebab itu, kini Hendro terpaksa menggugat Amex Jakarta dan Swiss secara perdata. Apa sebenarnya dasar dan pertimbangan Amex menolak permintaan pencairan deposito Hendro memang belum jelas. Atau jangan-jangan sikap itu sekadar dalih mengulur-ulur tanggung jawab? Baik Jenny Tabuluyan maupun Betty, selepas sidang, mengelak menjelaskan soal itu. "No coment," ucap Jenny. Sebuah sumber TEMPO menganggap sikap Amex Jakarta itu hanya upaya untuk cuci tangan. Padahal, kata sumber di kalangan perbankan itu, biasanya bila sebuah bank kebobolan -- tanpa kesalahan nasabahnya -- secara otomatis bank itu akan menutup rekening yang bolong itu. Dananya, katanya, diambilkan dari semacam dana penghapus, yang memang sudah disiapkan untuk hal seperti itu. Tapi dalam kasus Hendro, jangankan menutup kebobolan itu, menyatakan bertanggung jawab saja Amex Jakarta enggan. "Bagaimana kepentingan nasabah bisa terlindungi ?" tambah sumber di atas. Menurut Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooy, jika si nasabah tidak terlibat pembobolan atas rekeningnya, tentu saja bank tersebut yang harus bertanggung jawab. "Tak ada alasan untuk mempersulit permintaan pencairan deposito nasabah. Ini menyangkut bonafiditas bank agar kepercayaan masyarakat tetap tinggi," kata Adrianus Mooy kepada Budiono Darsono dari TEMPO. Happy S. dan Muchsin Lubis (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini