SUATU hari Bina Agustini Tyasputri melihat sarang lebah di sudut dapur rumahnya. Selang beberapa hari, ketika menonton televisi yang menyiarkan ada sarang burung yang berlubang -- dan lubangnya itu ternyata berguna untuk menyelamatkan diri -- Bina pun teringat pada sarang lebah tadi. Ia kemudian mengamati, kok bentuk sarang itu terdiri atas segi enam sama sisi. Kenapa tidak segi empat, segi tiga, segi tujuh, atau lingkaran? Pasti ada apa-apanya. Apa-apanya itu ia teliti selama 5 bulan dan hasil penelitiannya dikirimkan untuk Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) yang diadakan Departemen P dan K setiap tahun. Judulnya, Mengapa Sarang Lebah Berbangun Segi Enam. Karyanya menjadi finalis. Selasa pekan lalu, di depan juri LPIR, dengan tangkas Bina menjawab bahwa berdasarkan penelitiannya bentuk segi enam mempunyai keistimewaan dibanding bangun yang lain. Yakni mampu menyimpan madu lebih banyak, kukuh, kompak, hemat bahan baku dan cukup luas untuk perkembangan calon lebah. Karya ini ditulis dengan bahasa yang lancar. Penjelasannya tentang lebah, bagaimana perkembangan dan pembiakannya, cukup rinci. Sarang lebah berbentuk segi enam beraturan itu juga dikaitkannya dengan pelajaran matematika. Gadis usia 15 tahun ini juga meneliti ke peternakan lebah. Toh Bina tak bisa menjawab ketika juri bertanya kenapa segi enam itu tak dikaitkan dengan melekul lilin yang juga berbentuk segi enam yang dikeluarkan lebah itu. "Ya, pelajaran kami tak sampai di sana. Cuma sebatas itulah yang saya ketahui," katanya polos. Hasil LPIR diumumkan Senin lalu. Bina cukup puas walau cuma juara kedua. Juara pertama adalah Oka Karyanto, 19 tahun, pelajar SMA III Semarang, dengan karyanya Pengaruh Plasmolisis dan Penambahan Zat Mordan pada Decolorizer terhadap Pengecatan Granula Metakromatik Bakteri Gram-Positif. "Setahun penuh saya mempersiapkan penelitian ini," kata Oka. Setiap hari ia berkutat 3 sampai 4 jam di laboratorium. Tahun lalu, Oka juga merebut gelar juara I lomba karya ilmiah yang diadakan LIPI-TVRI. Waktu itu ia meneliti peragian tempe yang menghemat waktu 10 jam jika kedelai direbus lebih dulu. Penelitian Oka tentang plasmolisis banyak mengacu pada literatur asing. Walau bahasanya tak selancar karya Bina, penelitian Oka ini dipuji para juri sebagai karya yangn dengan skripsi program S1. "Saya kira, banyak mahasiswa belum tentu bisa membuat seperti ini," kata Dr. Mien A. Rifai, ketua dewan juri LPIR tahun ini menggantikan Prof. Andi Hakim Nasoetion yang sedang ke Amerika Serikat. LPIR kali ini dinilai lebih maju dari tahun lalu. "Dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas, memang mengalami peningkatan," ujar Rifai. Banyak penelitian yang disertai penyebaran angket. "Pertanyaan dalam angket cukup baik dan relevansinya dengan obyek penelitian ada," ini kata Kartono Mohamad, salah seorang juri. Titik berat penilaian diutamakan pada keaslian karya. Setelah itu, tingkat kabaruannya, kreativitas, inovasi, aplikasi, pengetahuan, teknik penyajian, dan kelengkapan. Tahun ini LPIR diikuti 1.226 peserta. Tahun lalu pesertanya 678 orang. Setelah melalui seleksi tahap awal, yang dipanggil ke Jakarta sebagai finalis tercatat 24 orang. Adalah Apriyanto, pelajar SMA Negeri III Padang, Sum-Bar, yang membuat penelitian tentang uang. Ia menelitinya dari sudut peredaran, tapi tak ada kaitannya dengan bisnis. Peredaran yang dimaksud dari tangan ke tangan. Ini, katanya, membuat uang itu bisa menjadi perantara penyakit menular. Dengan karya berjudul Uang Benda Berharga Pembawa dan Penyebar Penyakit yang Berbahaya, Apriyanto menemukan kuman-kuman yang bisa masuk ke uang itu. Yakni yang tergolong kuman-kuman Staphylococous dan Bacillus yang menularkan penyakit kulit, peradangan, dan bahkan keracunan makanan. Bagi Yanto, uang tidak saja mendatangkan manfaat, tapi juga mudarat. Semakin kumuh uang kertas itu, semakin banyak kuman yang hinggap. Pada uang loam, kecenderungan dihinggapi kuman jenis ini sangat kecil. "Karena itu, saya menyarankan kepada Perum Peruri agar bahan baku untuk membuat uang itu tidak dari kertas, tapi lebih banyak uang logam," katanya di depan juri. Dari mana Yanto mendapatkan hasil penelitian seperti itu? Ia mondar-mandir di pasar daging dan pasar ikan Padang. Ia melihat sendiri bagaimana pedagangpedagang wanita di sana menaruh uang di balik kutangnya. Tak lama setelah itu. pedagang tadi menggaruk-garuk bagian untuk meletakkan uangnya itu. "Apakah Saudara melihat sendiri dan mengintip, ya?" tanya juri. "Saya tidak mengintip, saya melihatnya sendiri," kata Yanto. Menurut dr. Kartono Mohamad, sikap kritis dan tanggap Yanto pada lingkungan ini sangat positif. Dan karya ini tergolong orisinil, tapi karena lemah dalam hal penelitian bagaimana dan seberapa besar kuman-kuman itu melekat pada uang -- karya ini tidak menang. Jika ada yang dirisaukan dari LPIR yang sudah menginjak tahun ke-12 ini, pemenangnya selalu didominasi oleh kelompok eksakta -- kimia/geologi, biologi, pertanian, fisika/ mesin/elektro, dan matematika. Sementara itu, bidang sosial kesehatan/psikologi, kesusastraan, sejarah/kebudayaan, ekologi/antarbidang, pendidikan, ekonomi, manajemen, dan sosiologi -- selalu tersisih. Bahkan pada tingkat-tingkat awal. Kenapa? Menurut Dr. Benny Suprapto, Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan, masalah sosial itu berat. "Problem yang dipandang dari sudut yang berbeda bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Sebaliknya, bidang eksakta sudah ada aturan main tersendiri," katanya. Sedang Mien A. Rifai menyebutkan bidang sosial itu sangat kompleks dan batasannya susah. "Tapi memang tak ada yang kuat. Kalau ada, kita menangkan," kata Rifai. Di samping itu, lomba karya ilmiah yang diselenggarakan LIPI-TVRI tahun ini menurun pesertanya. Peminat hanya 306 dan 18 masuk final. "Tapi secara keseluruhan mutunya meningkat," kata Ketua LIPI Doddy Tisna Amidjaya. Pemenangnya baru diumumkan Kamis pekan ini. Yusroni Henridewanto dan Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini