Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyangkal Dua Konfirmasi

Pemeriksaan internal kasus suap jaksa sudah selesai. Ada kekhawatiran dibelokkan ke prosedural.

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAUS putih, celana hitam, dan topi biru donker, Aan Hadi Gunanto tiba di Kejaksaan Nege-ri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. ”Kasir” mantan Direktur Utama PT Jamsostek, Achmad Dju-naidi, itu datang untuk merekonstruksi -keterangannya tentang pemberi-an uang Rp 550 juta kepada tiga jaksa di pengadilan negeri itu.

Menurut ketua tim pemeriksa, Robinson Sihite, keterangan Aan tepat seperti- pengakuannya. Rekonstruksi 15 menit itu memang hanya mencocokkan sketsa ruangan dan tempat uang itu diserahkan. Tak banyak yang berubah dari tempat itu, sejak Aan memberikan uang sampai enam bulan kemudian. ”Yang berbeda, tadinya jendela sekarang sudah jadi pintu,” kata Panji Prasetyo, pengacara Aan.

Kecocokan keterangan Aan tak lantas membu-at jaksa yang dituding menerima duit Achmad Djunai-di ”menyerah”. Cecep Sunarto dan Burdju Roni Sihombing tetap pada pendirian semula: mere-ka tak mengenal Aan. Begitu juga ketika Cecep, Burdju, M. Idris (Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta), Heru Chae-ruddin dan Pantono (Kejaksaan Agung), dikonfrontasi- dengan Aan di Kejaksaan Agung, dua pekan sebelumnya.

Aan tak heran mereka menyangkal. Pengusaha iklan itu mengingat saat-saat ia datang pertama kali ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, November 2005. Waktu itu ia menemui Kenti, staf pidana umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, yang dikenalnya di Universitas Bhayangkara. Dari Kenti, dia menjalin kontak pertama dengan Cecep.

Di depan Aan, Kenti menghubungi Cecep: ”Saya punya teman yang butuh bantuan.” Dia pun meminta Aan berbicara langsung dengan Cecep, lewat bantuan speaker phone. ”Ada duitnya, nggak?”- kata Cecep, setelah mendengar ”permintaan” Aan agar sidang Achmad Djunaidi dipercepat.

Waktu itu Aan sempat bercanda, ”Uangnya mau dolar atau rupiah?” Menurut Panji, ketika diperiksa Jaksa Agung Muda Pengawasan, Kenti me-ngaku hanya memberi tahu Aan bahwa- jaksa yang pegang kasus Jamsostek adalah Cecep.

Esoknya, Aan menemui Djunaidi di ru-ang tahanan Kejaksaan Agung. Ia menyampaikan permintaan jaksa. Djunaidi menyanggupi Rp 100 juta, dengan permintaan sidang kasusnya dipercepat.

Juga agar jaksa mau membaca dokumen-dokumen yang berhubungan de-ngan- kasus yang menurutnya perdata- ini. Termasuk penjelasan soal empat u-tang jangka menengah (medium term no-te—MTN) senilai Rp 311 miliar dari PT Dahana, PT Sapta Pranajaya, PT Sur-ya Indo Pradana, dan PT Volgren—ka-sus- yang membuatnya diganjar delapan- tahun penjara dan denda Rp 66,625 mi-liar-.

Menurut Achmad Djunaidi, tak ada niat menyuap. Kalau ada, kata Djunaidi, tentu akan diperhitungkan di depan untung-ruginya, dan semuanya dicatat. ”Saya nggak ada catatan karena tak ada niat menyuap itu,” kata pria kelahiran 12 Juni 1943 ini.

Keesokan harinya Aan datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, membawa Rp 100 juta dalam pecahan Rp 100 ribu, yang dibungkus kertas cokelat. Uang diberikan kepada Cecep, yang segera masuk ke ruangan Ketua Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Sila Pulungan. Cecep pun memperkenalkan Aan kepada Sila.

Di ruangan itu Aan melihat bungkusan- co-kelat yang tadi dibawanya berada di a-tas meja tamu. Sila berujar pada Cecep, ”Bawa dulu itu.” Kepada Aan, Sila me-nga-takan, ”Saya bantu, deh. Tapi kamu mes-ti main cantik, ya. Kalau ketahuan, saya akan bilang saya tak kenal kamu.”

Usai percakapan singkat itu, Aan bertemu Cecep dan Burdju. ”Apa kata Pak Sila?” tanya Cecep. Aan pun mengulang pesan Sila. Kata Cecep, ”Memang seharusnya begitu.” Bersamaan dengan penyerahan uang itu, Aan juga menyerahkan dokumen dari Djunaidi.

Sila membantah keterangan ini. ”Itu versi Aan saja,” katanya ketika dikonfirmasi, Rabu pekan lalu. ”Pertemuan itu tidak pernah ada.” Namun, ia tak berani menga-takan keterangan Aan bohong. Menurut dia, ”Bisa saja uangnya hanya sampai di Aan. Namun dia takut dimarahi Djunaidi, akhirnya menuduh.”

Dua hari setelah pertemu-an itu, Aan kembali ke kejaksaan setelah ditelepon Cecep. Kepada Aan, Cecep mengatakan sidang akan cepat dilaksanakan. ”Ta-pi kita harus pilih hakim yang enak, nih,” kata Cecep. ”Siapa?” Aan bertanya. ”Ada-lah.” Untuk itu perlu dana. Ketika ditanya berapa besarnya, Cecep cuma mengambil selembar kertas, lantas menuliskan angka 250.

Keesokan harinya Aan datang me-ngantar uang itu. Cecep yang menerima. Juga ada Burdju. ”Kita aja yang nganter,” kata Cecep. ”Pengadilan nggak mau terima kalau lo yang nganter.” Aan pun pamit. Dua hari kemudian Cecep menelepon, ”Kita sudah dapat hakimnya, Herman Allositandi.”

Aan mengaku tak tahu apakah uang i-tu memang diberikan kepada Herman, a-tau kepada orang lain di Pengadilan Ne-ge-ri Jakarta Selatan. Yang pasti, Her-man- memang menjadi ketua majelis ha-kim- kasus ini, sebelum akhirnya diganti se-telah ditangkap Tim Pemberantasan Tin-dak Pidana Korupsi, pada 9 Januari la-lu.

Dia diduga terlibat pemerasan yang di-lakukan panitera Pengadil-an Negeri Ja-karta Selatan, Jimmy Luma-nau, -ter-ha-dap Kepala Analisis Unit Ma-najemen- Ri-siko Jamsostek, Walter Silanging, se-be-sar Rp 10 juta. Pengacara Herman Allo-sitandi, Alamsyah Hanafiah, ketika di-konfirmasi Tempo, membantah tudi-ng-an itu.

Menurut dia, soal ini pernah ditanya-kan kepada kliennya, Kamis pekan lalu. ”Itu fitnah. Tidak pernah itu,” katanya, mengutip pernyataan Herman. Alamsyah juga mengingatkan, yang berhak menentukan seorang hakim menangani suatu kasus bukan hakim itu sendiri,- me-lainkan ketua pengadilan negeri.

Sepekan setelah penyerahan uang Rp 250 juta, Cecep menelepon Aan, meminta bi-aya operasional. Ketika ditanya untuk apa, Cecep bilang, ”Kamu tahulah, kertas saja beli, kan?” Adapun jumlahnya, kata Cecep, ”Sama dengan jumlah kema-rin.”

Aan pun membawa Rp 200 juta. Begitu uang akan diberikan, Cecep marah karena jumlahnya tak sesuai dengan per-mintaan. ”Kamu ngomong sama Burdju, deh,” katanya, ”Dia mau terima atau tidak.”

Aan pergi ke kantor Burdju, yang cuma bertetangga ruangan. Saat itulah ada SMS masuk, dari Cecep. Isinya begini: ”Dia mau nahan yang 50. Pasti alasannya buat komisi orang di rumah. Jangan terima kalau tak lengkap.”

Aan kaget dan mempertanyakan ke Bur-dju. Aan pun pulang. Di tengah ja-lan-, tiba-tiba Cecep menelepon dan min-ta- maaf soal SMS salah kirim itu. Uang itu pun diserahkan ke Burdju keesokan ha-rinya.

Cecep membantah tegas cerita Aan. ”Ketemu saja tidak pernah, apalagi menerima uang,” katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. ”Terserah dia mau berbicara apa, orang kan punya hak untuk mengeluarkan pernyataan,” ia menambahkan. Burdju juga menyangkal. ”Saya kembali tegaskan, saya membantah semua pernyataan Aan,” katanya.

Panji Prasetyo, pengacara Aan, meng-akui kliennya memang tidak memiliki kuitansi penerimaan uang dari Cecep dan Burdju. Tapi, kata Panji, ada dua hal yang bisa menjadi petunjuk kuat bahwa uang itu benar diterima mereka.

Djunaidi, kata Panji, pernah mengkonfirmasi soal uang Rp 550 juta itu kepada Cecep dan Burdju sampai dua kali. Pertama, ketika Cecep datang ke ruang tahanan Kejaksaan Agung, menyampaikan surat panggilan sidang kepada bekas Direktur Investasi PT Jamsostek, Andy Rachman.

Saat itu Djunaidi menanyakan apakah- titipan dari Aan sudah diterima. Cecep menjawab, ”Sudah.” Kedua, saat sidang ketiga Djunaidi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika itu Djunaidi di-kawal petugas pengamanan dari PT Jamsostek.

Dalam kesempatan bertemu Cecep dan Burdju, Djunaidi kembali mena-nyakan apakah sudah menerima kiriman dari Aan. ”Sudah,” kata Cecep. Dalam konfirmasi yang kedua ini, ada saksi yang mendengarnya, yaitu pengawal Djuna-idi. Soal tak adanya bukti, Aan hanya berujar pendek, ”Mungkin ini karena profesionalisme mereka.”

Menurut Prasetyo, itu sudah bisa menjadi permulaan untuk mengusut kasus ini. Tentu saja jika kejaksaan serius. Panji mengungkapkan, dalam pemeriksaan Jaksa Agung Muda Pengawasan, Cecep dan Burdju sempat dicecar soal berkas perkara dan surat dakwaan yang tak disampaikan secara langsung kepada Djunaidi. Itu dinilai melanggar prosedur internal kejaksaan. ”Saya khawatir kasus ini dibelokkan,” kata Panji.

Robinson Sihite menyatakan, pemerik-sa-an internal kasus ini sudah selesai. Da-ri rekonstruksi Selasa pekan lalu, pe-me-rik-saan dianggap cukup dan berhenti sam-pai ke kepala seksi pidana khusus. Pe-meriksaan tidak menjangkau Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Tim pemeriksa, kata Sihite, menya-ta-kan- sudah memiliki petunjuk-petunjuk- ter-hadap kasus ini. ”Sudah selesai. Ting-gal- membuat resume dan disampaikan ke-pada Jaksa Agung,” katanya.

Komisi Kejaksaan juga masih me-nung-gu pemeriksaan Jaksa Agung Muda Bi-dang Pengawasan atas kasus yang men-cuat akibat ”nyanyian sumbang” Dju-naidi usai divonis delapan tahun pen-jara, 27 April lalu. ”Tapi kami terus- me-man-tau,” kata Ketua Komisi Kejaksaan, A-mir Hasan Ketaren. Dia berharap ka-sus- ini ditindak sesuai dengan ketentu-an-, agar pemeriksaan internal tak di-li-hat sebagai cara untuk melindungi sesama korps.

Abdul Manan, Dian Yuliastuti, Evy Flamboyan, Badriah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus