Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mission Impossible III Skenario: J.J. Abrams, Aklex Kurtzman, Robnerto Orci Pemain: Tom Cruise, Phillip Seymour Hoffman, Ving Rhames, Maggie Q. Produksi: Paramount Pictures
SEBUAH kamar gelap. Sang istri dibekap. Sebuah pistol di ujung pelipis. Seorang psikopat menghitung, dengan tenang dan nada yang menekan, 1 hingga 10. Sang suami di depannya mencoba membujuk dengan segala daya agar pistol tidak meledak. Angka 10. Pistol meledak. Dor! Layar gelap.
Lalu musik Mission Impossible yang kita kenal itu memompa jantung....
J.J. Abrams, yang kita kenal menggebrak dunia televisi melalui serial Alias, memulai film Mission Impossible III ini persis seperti ketegangan Alias episode 1. Agen rahasia Sidney Bristow (Jennifer Gardner) di dalam sebuah ruang gelap, diikat, dibekap, dan disiksa untuk sebuah informasi.
Syahdan, agen rahasia IMF (Impossible Mission Force) Ethan Hunt sudah enggan turun ke lapangan dan memi-lih mendidik beberapa calon agen raha-sia, karena ”saya ingin merasakan hi-dup normal seperti orang lain”.
Kerinduan ”hidup normal” seperti yang sering didengungkan tokoh Sidney Bristow dalam Alias menjadi sebuah ”tema” baru dalam sekuel Mission Impossible, karena MI-1 (arahan Brian de Palma) dan MI-2 (arah-an John Woo) semuanya asyik masyuk dengan tema pengkhia-natan antarspionase dan sibuk dengan adegan mega-slow-motion John Woo.
J.J. Abrams mencoba mengembalikan seorang agen rahasia seperti Hunt sebagai lelaki yang merindukan kehidupan rumah tangga yang ”biasa saja”. Karena itu film ini dimulai dengan pesta pertunangan Ethan Hunt dengan si jelita Julia (Michelle Monagan), pesta dansa yang mesra, akrab, dan penuh suasana guyub. Oh ya, tentu saja kepada Julia dan kawan-kawannya (yang sebagian adalah para pemain Alias), Ethan mengaku bekerja di Departemen Transportasi. Ingat Sidney Bristow yang mengaku bekerja di Bank Dauphine?
Ketenangan domestik t-erusik. Anak didik Hunt diculik dan disiksa oleh Owen Davian (Phillip Se-y-mour Hoffman), seorang dealer senjata yang jarang terlihat di muka umum dan dikenal sebagai psikopat berdarah dingin. Hunt ”terpaksa” turun gunung. Dia ter-bang mencoba menye-lamatkan anak didiknya, yang toh akhirnya te-was karena di kepalanya sudah tertanam bom.
Maka misi muskil berikutnya adalah menculik sang psikopat. Hunt bersama timnya bergerak cepat menciptakan sebuah topeng lateks hanya dalam hitungan detik, sembari toh masih bisa membicarakan ”apakah orang seperti kita bisa berumah tangga”. Topeng lateks selesai, Ethan Hunt berubah menjadi Davian, dan saat itulah dia mengumumkan ”ngomong-ngomong, saya sudah kawin dengan Julia dua hari yang lalu”.
J.J. Abrams memang memiliki urat humor yang pahit. Dia tetap menyelipkan ironi di dalam rentetan adegan besar—semua adegan laga yang berbahaya, loncatan Ethan Hunt dari gedung ke gedung, diperankan sendiri oleh Tom Cruise—dan adegan tragis. Dan mau tak mau sukar untuk tidak membandingkan film MI-3 dengan Alias (terutama season pertama).
Jika Sidney Bristow dikejar dendam terhadap Alvin Sloane dan SD 6 karena mereka telah membunuh tunangannya, maka Ethan Hunt mempunyai urgensi mengejar Davian karena istrinya yang baru saja dikawininya selama dua hari itu diculik dan disiksa.
”Jika istri saya mati, saya juga pasti mati. Jadi kalian tak perlu menolong sa-ya,” kata Ethan ketika timnya ingin ikut membantu Ethan sa-at akan bertemu dengan sang psi-kopat yang menculik istri-nya.
Pengkhianatan di dalam tubuh MI-3, yang selama film dengan mudah diarahkan pada bos John Brassel (Laurence Fish-burne)—suatu ciri khas film spionase, karena karakter alamiah pekerjaan agen rahasia yang tidak boleh saling mempercayai dengan mudah—tentu saja harus terjadi seperti pada MI-1, MI-2 dan juga serial televisi di tahun 1970-an. ”S-iapa yang mengkhianati Ethan Hunt” akan terja-wab di akhir film, se-perti halnya film spion-ase klasik, tapi toh Abrams tetap mampu melahirkan daya kejut.
Akting para pemain tentu saja di atas rata-rata. Tom Cruise adalah Tom Cruise, semua filmnya harus berpusar pada diri-nya. Tapi itu tidak penting, karena film ini berhasil menyajikan sesuatu yang sudah menjadi fitrahnya: a fun ride.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo