TEPUK tangan berulang-ulang, ditingkahi dengan gelak tawa, ikut
menghangatkan suasana di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta yang dingin ber-AC. Selasa malam, pekan lalu, empat buah
kata sambutan, tiga buah hadiah kenang-kenangan, dan beberapa
karangan bunga mengantar acara ke puncaknya: serah terima
jabatan ketua dewan pengurus Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), dari
Adnan Buyung Nasution, S.H., 49 tahun, kepada Todung Mulya
Lubis, S.H., L.L.M., 34 tahun.
Naiknya "putra mahkota" - seperti kata sebagian orang - Mulya
Lubis sudah banyak diduga sebelumnya.- Dua tahun lalu, ketika
Buyung mengundurkan diri dari jabatan direktur LBH Jakarta,
sarjana hukum lulusan UI ini ditunjuk sebagai penggantinya,
bersama dengan Abdul Rachman Saleh, sementara Buyung Nasution
sendiri sudah lama mengisyatatkan "tampilnya generasi muda untuk
meneruskan cita-cita LBH".
Akan hal pengunduran diri Buyung Nasution dari jabatannya kali
ini, yang tertulis pada suratnya kepada dewan penyantun YLBHI,
20 Juli l983, adalah karena "ingin melanjutkan studi di Negeri
Belanda." Kepada TEMPO, seusai acara serah terima itu, Buyung
menegaskan, "Tidak ada 'pejabat sementara', karena seseorang
yang berstatus seperti itu cenderung menunda masalah, menunggu
sampai pemimpin yang absen itu kembali."
Maka, dewan penyantun YLBHI terpaksa mengadakan sidang untuk
menentukan pengganti Buyung. Dari sidang pada 19 dan 31 Agustus
1983, yang dihadiri 17 dari 26 anggota dewan penyantun, pada
mulanya, terdapat 6 orang calon: Nani Razak, Suardi Tasrif,
Lukman Wiriadinata, Harjono Tjitrosoebono, Yap Thiam Hien, dan
T. Mulya Lubis. Setelah melalui perdebatan yang seru, tinggallah
dua calon saja: Yap Thiam Hien dan Mulya Lubis.
Pada waktu itu, menurut Adnan Buyung Nasution, 3 anggota dewan
penyantun - Victor Sibarani, Minang Warman, dan Soekardjo
Hariadi - tidak dicalonkan karena mereka yang datang setelah
pencalonan ditutup tidak dapat dipertimbangkan lagi. Sementara
itu, suasana makin menghangat: Yap Thiam Hien menarlk
pencalonannya "Lebih suka kalau Mulya saja yang duduk," katanya.
Karena tinggal Mulya yang dicalonkan, maka pilihannya: setuju
atau tidak. Akhirnya, melalui pengumpulan suara, Mulya terpilih
sebagai ketua dewan pengurus YLBHI yang baru: 9 setuju lawan 8
suara tidak setuju.
Sudah banyak yang dialami LBH sejak lembaga tersebut mulai
beroperasi dari sebuah rumah kontrakan di Jalan Ketapang, sampai
kemudian berkantor di sebuah gedung megah di Jalan Diponegoro.
Omongan tak enak muncul,"LBH komersial dan berpolitik," yang
kemudian diikuti mundurnya 9 dari 10 pembela umumnya di tahun
1980. Namun, yang pasti, "saya akan meneruskan program yang
sudah digariskan Bang Buyung," kata Mulya kepada TEMPO. Yaitu
apa yang disebut "bantuan hukum struktural".
Walaupun masih banyak suara sumbang tentang bantuan asing (Ford
Foundation, Novib, Asia Foundation, Asia Partnership) kepada
LBH, bagi Mulya, "tak pantas untuk ditolak, selama bantuan
tersebut untuk kebersamaan dan sama sekali tak terikat."
Untuk itulah, kata Mochtar Lubis, ketua dewan penyantun, kepada
TEMPO, masing-masing boleh punya penilalan terhadap Mulya Lubis.
Memang Mulya masih muda, katanya, "tetapi melihat manusia dari
jiwanya, bukan dari umurnya." Dan Tuty Hutagalung, salah seorang
pembela umum senior di LBH, merasakan perlunya figur seperti
Mulya. "Kalau ada dia, sreg rasanya," ujar Tuty.
Mulya menamatkan sarjananya di FH-UI, 1974, kemudian melanjutkan
pendidikan di Texas, AS, dan meraih Master of Law di Universitas
California, 1979. Selain sebagai pemberi bantuan hukum, Mulya
juga dosen Hukum Dagang di FH-UI, penulis puisi, dan aktivis
kampus semasa mahasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini