POLA jalan pintas bukan hanya corak baru dari wajah sebuah kota besar, tapi juga merasuki perangai manusia -- yang serba tergegas. Sikut sana injak sini seakan halal adanya, dan malangnya ia kemudian linglung sendiri. Lalu: dirinya dihabisi. Dan selama ini yang santer dikabarkan punya semangat bunuh diri adalah orang Jepang. Tapi ternyata orang Amerika Serikat juga punya rekor dalam menghabisi nyawanya sendiri. Contoh kasus: Kurt Cobain, pemimpin grup musik keras Nirvana, mengakhiri perjalanan kariernya secara tragis. Dengan pistolnya sendiri, ia membolongi kepalanya. Kurt tidak sendiri. Dua tahun silam sedikitnya 30.000 orang telah mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama. Bunuh diri merupakan peringkat kedelapan dalam sederet penyebab kematian paling umum di negeri yang masih getol bergaya jadi polisi dunia itu. Jika dirinci menurut kelompok usia, di kalangan remaja bunuh diri menempati urutan ketiga. Ini selangkah di bawah kecelakaan dan pembunuhan. Menurut data statistik, senjata api paling sering dipakai, sekitar 61%. Sisanya, ada yang gantung diri, minum racun, atau menggunakan gas beracun. Apa kiranya faktor pemicu sampai orang bertindak bunuh diri? Pertanyaan ini belum kunjung ketemu jawabannya yang jitu meskipun berbagai studi di bidang ilmu perilaku sudah dilakukan. "Karena kita tak pernah bisa bicara dengan korban. Yang dapat kita lakukan hanya menghubung-hubungkan data satu dan lainnya," kata Dr. George Murphy, ahli kesehatan jiwa dari Washington University, di St. Louis. Selama ini yang beken dianggap sebagai penyebab utama bunuh diri adalah faktor stres. Ternyata dugaan itu keliru -- seperti tampak dari hasil riset yang dilakukan National Institute of Mental Health (NIMH) di AS. Sebab, kalau stres yang dituding sebagai biang keroknya, kan boleh dibilang tak ada orang yang luput dari impitan hidup. Toh mereka tak lantas bunuh diri. Dari kenyataan ini, Dr. Peter Muehrer, peneliti senior di NIHM, menyebutkan, hampir semua korban bunuh diri memiliki kelainan mental yang dapat dideteksi sejak awal. "Kebanyakan bahkan punya lebih dari satu gangguan mental," katanya kepada Sudirman Said dari TEMPO. Korban biasanya mengalamai depresi berat yang tak berkesudahan. Ingar-bingar belantara kesibukan di kota-kota besar disebut sebagai faktor penting yang menyebabkan tingginya angka bunuh diri. Banyak keluarga yang berantakan lantaran para orang tua lebih getol mengejar karier daripada memperhatikan anak- anaknya. "Di kalangan orang dewasa, depresi, minuman keras, narkotik, dan perceraian merupakan penyebab tertinggi kasus bunuh diri," kata Muehrer. Jalan pintas ke akhirat kian mulus dengan bebasnya senjata api di rumah-rumah. Adegan film atau televisi yang melukiskan orang bunuh diri juga menyumbang suburnya tindakan nekat itu, atau tindakan mencoba mengulanginya. Mereka yang menempati urutan pertama dalam kasus bunuh diri adalah yang berusia 75 sampai 84 tahun. Dari 100.000 orang, 25 di antaranya mengakhiri hidup dengan cara tragis itu. Di negeri maju, makin tinggi mutu kesehatan, kian panjang usia orang. Hanya saja, panjang umur tak otomatis berarti bahagia. "Makin panjang usia seseorang, ia cenderung terisolasi dan melemah. Ini menyulitkan upaya penyelamatan pada saat-saat kritis," kata Dr. Yeates Conwell, ahli kesehatan jiwa di Universitas Rochester. Apalagi di kota-kota besar banyak orang tua yang tergusur ke rumah-rumah jompo. Di kalangan muda (15 sampai 24 tahun), angka bunuh diri bahkan lebih tinggi, yakni 26 di antara 100.000 orang. Dan dalam dua dasawarsa terakhir, angka itu melonjak empat kali lipat. Gampang mempersingkat hidup ini, kabarnya, lantaran mereka melihatnya secara hitam putih: dapat semua, atau tidak sama sekali. Sedikit gagal, ya, fatal. Seakan mereka mengamalkan pemeo kuno: lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup berputih mata. Kini para ahli juga mengaitkan ihwal bunuh diri dengan struktur kimia tubuh si korban. Perangai destruktif biasanya disebabkan oleh rendahnya kadar cairan tubuh -- disebut serotonin. Begitulah penelitian dari 22 autopsi korban bunuh diri. "Rendahnya kadar serotonin dalam otak dan tubuh korban berkaitan dengan perilaku menyimpang seperti bunuh diri," kata Dr. Grederick Goodwin, Kepala NIMH. Untuk sementara, kesimpulan ini mengandung harapan dalam upaya pencegahan bunuh diri. Beredarnya obat semacam Prozac dan Zoloft -- yang mengatrol kadar serotonin dalam tubuh -- diharapkan bakal mengurangi semangat mati konyol itu. Namun, bersamaan dengan munculnya optimisme, Goodwin juga mengingatkan agar pengobatannya hati-hati. Orang yang dilanda depresi biasanya linglung mengakhiri hidupnya. Dan untuk bunuh diri perlu tenaga. "Pemberian obat ini akan menimbulkan energi, dan bisa berbahaya. Jadi, dokter harus selalu mengawasinya," katanya. Dengan kata lain, sampai hari ini para ahli masih meraba-raba mengapa seseorang pendek akal menunggu jemputan malaikat maut. "Penanganannya mesti melibatkan banyak pihak," kata Dokter Muehrer. Itu sebabnya, berbagai program pencegahan dilakukan dengan kerja sama antara pemerintah, lembaga sosial, dan lembaga keagamaan.Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini