Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tanggung jawab hukum korporasi

Perbuatan melawan hukum tak dapat dipertanggungjawabkan kepada para pengurus badan hukum yang bersangkutan. kini muncul teori "fungsional korporasi", yakni pengurus dapat dituntut pertanggung- jawaban atas perbuatan melawan hukum

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERING orang bertanya tentang pertanggungjawaban hukum korporasi atau badan hukum (legal person). Apakah terhadap badan hukum dapat dipikulkan pertanggungjawaban hukum? Jika bisa, kepada siapa itu dipikulkan? Pendapat doktrin lama beranjak dari hipotesa organik yang mengajarkan, suatu korporasi yang berbentuk badan hukum diibaratkan sebagai makhluk "yang tidak memiliki raga kesadaran dan jiwa untuk ditendang" (no body, conscience and soul to be kicked). Oleh karena itu, perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum yang dilakukan korporasi tak dapat dipertanggungjawabkan kepada para pengurus badan hukum yang bersangkutan. Berdasarkan ajaran ini, civil liability (pertanggungjawaban perdata) apalagi pertanggungjawaban pidana (crime liability) atas perbuatan yang dilakukan pengurus untuk dan atas nama korporasi tak dapat dipikulkan kepada anggota pengurus (direksi dan komisaris). Belakangan, sesudah Perang Dunia Kedua, muncul aliran baru yang dikenal dengan ajaran "fungsional korporasi". Menurut ajaran ini, kepada pengurus (direksi dan komisaris) dapat dituntut pertanggungjawaban hukum atas perbuatan melawan hukum yang terjadi. Tak hanya civil liabilities, tapi juga crime liabilities. Sejak saat itu, hampir di semua negara dikembangkan dan dipraktekkan penerapan corporate crime liability. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus untuk dan atas nama korporasi dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya kepada pengurus secara kolektif, meliputi semua direksi dan komisaris. Jika sistem kepengurusannya berbentuk board of director, ditimpakan kepada semuanya. Kalau berbentuk dual system, ditimpakan kepada semua direktur dan komisaris. Malah ajaran fungsional memperluas pertanggungjawaban pidana dimaksud yang disebut vicarious crime liability. Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang petugas atau pejabatnya untuk dan atas nama korporasi dipikulkan kepada pengurus secara kolektif. Patokannya, perbuatan dilakukan berdasarkan penugasan untuk, atas nama, dan kepentingan keuntungan korporasi. Di Indonesia, corporate crime liability berdasarkan ajaran fungsional telah diperkenalkan sebagai hukum positif dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 (UU Pasar Modal). Menurut pasal 9, bagi tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum perseroan, perserikatan, atau yayasan dalam kegiatan Pasar Modal, pertanggungjawaban pidananya dipikulkan terhadap semua anggota pengurus, yakni orang-orang yang secara nyata dan formal bertindak sebagai pengurus. Begitu juga bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang karena hubungan jabatan dengan korporasi, yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi, dipikulkan pertanggungjawabannya kepada para anggota pengurus. Demikian masalah tinjauan normatif corporate liability dalam hukum positif yang diatur dalam tindak pidana pasar modal. Kalau begitu, sejak 1952, kehidupan hukum di Indonesia sudah mengenal ajaran fungsional dalam bentuk corporate crime liability. Bagaimana halnya penerapan corporate crime liability dalam tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971? Dapat dipedomani teori fungsional? Meski Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1952 merupakan lex specialis, pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam pasal 9 undang-undang itu dapat dijadikan sebagai acuan "standar hukum" (law standard). Ketentuan dimaksud dapat diangkat sebagai patokan nilai harmonisasi yang bersifat normatif untuk semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh atau untuk dan atas nama korporasi. Sifat normatifnya tak hanya terbatas untuk tindak pidana pasar modal. Lahirnya aliran fungsional dalam perkembangan hukum tak hanya ditujukan bagi tindak pidana pasar modal, tapi meliputi semua jenis tindak pidana yang dilakukan korporasi. Doktrin hukum corporate crime liability telah diterima sebagai "aturan umum" (general rule). Cuma diakui, perkembangannya dalam praktek penegakan hukum di Indonesia masih tersendat dan masih sering diperdebatkan. Seolah-olah kita masih tertidur dan mempertahankan ajaran organik. Hal itu dapat diamati dari berbagai peristiwa. Ambil salah satu contoh kasus Ray Man. Ia didakwa, dan dituntut (in absentia di Jakarta, 1993), melakukan tindak pidana korupsi atas pengambilan kredit sebesar Rp 3,4 miliar dari BRI, dengan kolateral sertifikat palsu. Dalam kasus ini tak ditegakkan prinsip corporate crime liability. Tak seorang pun pengurus BRI yang diajukan sebagai terdakwa dalam peristiwa kolusi dimaksud. Padahal, semestinya, meski kolusi itu terjadi antara Ray Man dan loan committee atau dengan salah seorang pejabat bank, pertanggungjawaban pidana korporasinya harus meliputi semua anggota pengurus. Kenapa pihak kejaksaan tidak menegakkan prinsip corporate crime liability dalam kasus tersebut? Barangkali Kejaksaan Agung masih berpegang pada paham organik korporasi, sehingga "no body, conscience and soul to be kicked?" Kalau tak percaya, lihat saja pada kasus Bank Perkembangan Asia yang menggelapkan uang deposan sebesar Rp 67 miliar. Yang diajukan sebagai terdakwa hanya Lee Dermawan sebagai direktur utama. Anggota pengurus lain, istri, ibu, dan adiknya, seolah-olah lepas dari jangkauan hukum. Begitu juga dalam kasus Bapindo. Yang dijadikan tersangka hanya Eddy Tansil. Jika diterapkan prinsip corporate crime liability, istrinya yang berfungsi sebagai direktur keuangan serta semua anggota pengurus yang lain harus diperiksa sebagai tersangka. Sebaliknya, di pihak Bapindo sendiri, semua anggota pengurus yang menjabat pada saat kasus tersebut terjadi harus diperiksa dan dituntut sebagai tersangka dan terdakwa. Penerapan prinsip corporate crime liability sangat besar pengaruhnya mendorong pembinaan pengawasan dan kehati-hatian. Akan tetapi, karena selama ini yang dijadikan tumbal paling-paling pejabat rendah, para pengurus tak peduli atas segala bentuk manipulasi, baik yang dilakukan bawahan (loan committee) maupun yang dilakukan anggota pengurus yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus