Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi Pro Pembatasan Remisi untuk Koruptor menilai Mahkamah Konstitusi harus menolak pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995. Sekretaris Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani mengatakan permohonan tersebut melonggarkan syarat pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"MK harus menolak pengujian UU yang melonggarkan syarat pemberian remisi napi korupsi," ujar Julius dalam siaran persnya, Rabu, 1 November 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah terpidana kasus korupsi mengajukan pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Permohonan diajukan untuk uji materi pasal 14 ayat 1 mengenai hak narapidana mendapatkan pengurangan masa tahanan atau remisi. Pihak pemohon dalam pengujian UU tersebut antara lain Suryadharma Ali, Otto Cornelis Kaligis, Irman Gusman, Barnabas Suebu, dan Waryono Karno.
Dalam surat permohonan Nomor 54 PUU XV Tahun 2017, pihak pemohon meminta MK menguji UU tersebut karena dalam pasal tertera remisi merupakan hak seluruh narapidana. Karenanya jika tidak ada remisi, maka merupakan bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM.
Julius menilai permohonan tersebut hanya siasat untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman yang sedang dijalani terpidana. Sebab, kata dia, argumentasi dari pemohon ini prematur. "Selain itu pemohon adalah napi korupsi yang tidak memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh ketentuan UU," kata dia.
Julius mengatakan salah satu yang tak dapat dipenuhi dari pengujian UU tersebut adalah kejahatan korupsi sebagai alasan pemberat dalam pertimbangan pemberian remisi atau pembebasan bersyarat. Selain itu, beberapa putusan MK menyebutkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. "Jadi pengetatan remisi bagi narapidana korupsi bukan merupakan pelanggaran HAM," ujarnya.
Selain itu, Julius mengatakan pengetatan remisi adalah kebijakan hukum pemerintah. Menurut dia, MA melalui dua putusannya menilai pengetatan remisi napi korupsi bukan merupakan pelanggaran HAM pula. "Melainkan konsekuensi logis dari nilai kejahatan korupsi yang memiliki dampak luar biasa," kata dia.
Julius pun meminta MK harus mendengar masukan dan pandangan pengujian UU tersebut. Dia mengatakan Tim Advokasi Pro Pemberantasan Korupsi tak ingin hal tersebut langsung dikabulkan oleh MK. "Kami minta MK mendengar pandangan dan pendapat Tim Advokasi Pro-Pembatasan Remisi Untuk Koruptor dan menolak seluruh permohonan tersebut," ujarnya.