Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 240 narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, mendapat remisi Idul Fitri 1445 Hijriah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalapas Sukamiskin Wachid Widodo menyebut jumlah narapidana di tempatnya bertugas sebanyak 381 orang. Dari jumlah itu, hanya 240 orang yang memenuhi persyaratan untuk mendapat remisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yang mendapatkan remisi pada hari ini seluruhnya berjumlah 240 orang, yang paling kecil 15 hari dan yang paling besar remisi dua bulan,” kata Wachid di Bandung, Rabu, 10 April 2024.
Para penerima remisi ini mulai dari mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, mantan Ketua DPRD Jabar Irfan Suryanagara, mantan Kepala Korlantas Polri Djoko Susilo, dan mantan Bupati Cirebon Sunjaya.
Wachid menjelaskan remisi itu diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Untuk mendapatkan remisi, para tahanan harus berkelakuan baik dan sudah memasuki masa mendapatkan remisi.
“Jadi kami untuk pengusulan remisi berdasarkan aturan ataupun ketentuan terkait dengan remisi. Sehingga kami tidak membedakan siapapun warga binaan yang memenuhi persyaratan kami usulkan untuk remisi,” katanya.
ICW Sebut Remisi Diobral
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi pemberian remisi terhadap para narapidana, khususnya terhadap para koruptor.
“Memang setelah (penerapan) UU Pemasyarakatan, pemberian remisi itu terlihat diobral oleh pemerintah,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Tempo, Senin, 8 April 2024.
Menurut dia, pencabutan PP 99 Tahun 2012 oleh Mahkamah Agung berdampak pada kemudahan para koruptor mendapatkan remisi. “Dalam PP 99 Tahun 2012 itu disebutkan jika terpidana korupsi ingin mendapatkan remisi maka mereka harus berstatus sebagai justice colaborator,” katanya.
ICW mendorong pemerintah merevisi dan mengembalikan pengaturan memperketat remisi bagi terpidana korupsi. Mengingat, kata Kurnia, masalahnya berada pada UU Pemasyarakatan. “Harusnya Dirjen PAS (Kemenkum HAM) meminta tanggapan terhadap aparat penegak hukum,” ujarnya.
ANTARA