DI sebuah koran lokal di Kota Palembang baru-baru ini dimuat iklan pendek. Sepintas isinya biasa saja, "BU. Dijual Kijang tahun 2000, harga damai. Hubungi 081278xxxx...". Yang membuat iklan ini menarik, pemasangnya ternyata Kantor LBH Palembang. Seperti kantor-kantor LBH lainnya di bawah YLBHI, dapur LBH Palembang sekarang memang sedang BU alias butuh uang. Pengurusnya mesti menjual Kijang, kendaraan operasionalnya, untuk membayar gaji, pesangon, dan biaya kegiatan sehari-hari.
Bukan cuma itu. Para pengacara di LBH Palembang tak jarang merogoh kocek sendiri untuk membiayai perkara kliennya. "Kami terpaksa bantingan (saweran) untuk mendampingi buruh atau petani," ujar Hefriadi, anggota Divisi Buruh LBH Palembang.
Kiat yang ditempuh LBH Medan lain lagi. Buat menutupi biaya operasional yang setiap bulannya mencapai Rp 30 juta, pengacaranya terpaksa memungut biaya ala kadarnya dari klien perkara perdata. Duitnya dipakai untuk membela klien lain yang miskin. Cara ini masih diberi toleransi karena kondisi YLBHI sekarang kembang-kempis. "Prinsipnya, LBH tidak diperbolehkan mengkomersialkan penanganan perkara," ujar Riswan Lapagu, Ketua Bidang Internal YLBHI.
Sebuah kesepakatan antara pengurus YLBHI dan kantor-kantor LBH memang telah dipatok dua pekan silam. Karena YLBHI sudah tidak sanggup lagi menggelontorkan duit, tiap kantor LBH dibebaskan untuk membuat program sekaligus memikirkan biayanya. Merancang program tentu gampang. Tapi mencari dananya? Ini cukup berat bagi pengurus LBH di daerah. "Apa enggak pecah ndase (kepalanya)," ujar Dedi Prihambudi, Direktur LBH Surabaya.
Karena itulah kantor LBH menempuh cara masing-masing untuk menggali dana. Mereka juga masih mengharapkan dipenuhinya janji alumni LBH dan YLBHI yang akan mengucurkan dana Rp 5 juta per bulan untuk setiap kantor LBH. "Bisa dibayangkan, uang segitu itu untuk apa," kata Dedi. Ia memastikan, dana yang berasal dari pendiri YLBHI, Adnan Buyung Nasution dan Ali Sadikin, itu hanya cukup untuk membayar listrik, air, telepon, dan sebagian gaji karyawannya.
Kesulitan yang dialami kantor-kantor LBH itu memunculkan sikap kritis. Dedi mempertanyakan keberadaan yayasan yang tidak mampu lagi menebarkan duit buat kantor-kantor LBH di bawahnya. Bagi dia, YLBHI telah gagal menjalankan fungsinya. Jika demikian, "Apakah yayasan layak dipertahankan?" tanyanya. Kegundahan semacam ini akan terus bergentayangan selama paceklik yang menimpa YLBHI belum pergi.
EK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini