HARI masih pagi. Kelengangan membekap Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang berdiri lesu di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Lantainya masih basah sehabis diusap kain pel. Tapi sepagi itu, sekitar pukul 9.00, Rabu pekan lalu, Suyono sudah duduk di kursi kerjanya. Sebagai resepsionis, lelaki 49 tahun ini mulai sibuk melayani para penelepon. Tingkah dan raut mukanya biasa saja. Ia cukup pandai menyembunyikan emosi menghadapi kenyataan pahit: segera meninggalkan kantor yang dicintainya.
Tak bisa mengelak dari pemangkasan pegawai, lelaki yang sudah 28 tahun bekerja di LBH Jakarta itu akan berpamitan dengan rekan-rekan sekantornya bulan Mei mendatang. Dia cukup terharu karena pengabdiannya masih dihargai dengan uang pesangon Rp 40 juta. Menjadi saksi masa kejayaan dan sekaligus surutnya LBH, Suyono sejatinya amat berat berpisah dengan kantornya. "Sebenarnya saya ingin bekerja sampai LBH ini benar-benar berakhir," ujarnya.
Hanya, Suyono tak punya pilihan lain. Kantor LBH Jakarta, yang didirikan 32 tahun silam, sekarang memang sedang megap-megap. Sudah beberapa bulan, ia menerima uang transpor dan makan Rp 16 ribu per hari dan gaji yang pas-pasan untuk hidup sehari-hari. Apalagi dia mesti mengeluarkan ongkos tak sedikit untuk pulang-pergi ke rumahnya di Bekasi, sekitar 30 kilometer dari kantornya.
Suyono tidak sendirian. Enam dari 13 pegawai LBH juga segera menghadapi pensiun dini. Jumlah pengacara pun harus dipangkas dari 13 menjadi 9 orang. Seperti para pegawai, pengacara juga hanya menerima gaji separuh sejak Maret lalu. Padahal gaji mereka selama ini tak besar. Untuk pegawai paling rendah hingga direktur, hanya Rp 900 ribu sampai Rp 2,5 juta. Agar bisa berhemat, beberapa pengacara LBH Jakarta membawa bekal makanan dari rumah. Ada juga yang datang ke kantor dengan naik sepeda. "Saya prihatin sekali mengetahui hal ini," ujar Wagiyo, bekas pekerja Hotel Shangri-La, salah satu klien mereka.
Bernaung di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta semakin terbenam justru ketika era reformasi datang. Pun 13 kantor LBH lainnya di seluruh Indonesia. Bahkan sejumlah kantor LBH di daerah sudah memberlakukan pemotongan gaji bagi karyawannya sejak November lalu. Akhir tahun lalu pun mereka tidak bisa menikmati tunjangan Lebaran dan Natal.
Semua itu gara-gara mampetnya kucuran duit dari para donatur. Sejak tiga tahun lalu, konsorsium donatur dari Eropa—beranggotakan lembaga semacam Novip yang berpusat di Den Haag, SIDA, dan Triple Eleven di Swedia—tidak lagi bersedia membantu YLBHI. Padahal bantuan merekalah yang selama ini menjadi solar penggerak lembaga yang pernah dijuluki lokomotif demokrasi ini. Dana dari mereka cukup besar, pernah mencapai Rp 10 miliar untuk program empat tahun. Sebagian dari duit ini bisa dipakai untuk menggerakkan roda kegiatan 14 kantor LBH di bawah YLBHI, yang setiap bulannya membutuhkan dana Rp 600 juta. Karena berhentinya kucuran dana dari donatur, sekarang hampir tiada program besar yang dijalankan YLBHI kecuali pendampingan klien dan pendidikan kepengacaraan.
Kenapa para pendonor menjadi pelit? Menurut Direktur LBH Jakarta, Irianto Subiakto, ini berkaitan dengan konflik yang pernah terjadi di YLBHI. Selain itu juga lantaran sejumlah pendiri dan alumninya—Adnan Buyung Nasution dan M. Assegaf—menjadi pembela kasus pelanggaran hak asasi di Timor Timur. Hanya, kemungkinan ini ditepis oleh mereka. Bagi Assegaf, mendampingi terdakwa pelanggar hak asasi merupakan tuntutan profesi sebagai advokat. Dan, "Ngambeknya pendonor tidak ada kaitannya dengan hal ini," katanya.
Menurut Assegaf, para donatur menyetop bantuan buat YLBHI lebih disebabkan adanya perubahan kebijakan. Kini mereka lebih menyukai lembaga swadaya masyarakat yang lebih spesifik kegiatannya, seperti mengurusi lingkungan. YLBHI sendiri dinilai terlalu luas programnya dan tidak hanya bergerak dalam urusan bantuan hukum.
Perubahan kebijakan itu semakin kentara sejak peristiwa 11 September dua tahun silam. Gara-gara kejadian ini, kata Todung Mulya Lubis (anggota Dewan Penyantun YLBHI), mayoritas lembaga donor mengalirkan dananya untuk membiayai kegiatan antiterorisme. "Pendeknya, program bantuan hukum yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat dinilai tidak seksi lagi," ujarnya.
Mau tak mau, kantor-kantor LBH di bawah YLBHI sekarang mesti jungkir-balik mencari dana agar roda kegiatan mereka tetap berputar. Pengurus LBH Jakarta, misalnya, telah menyodorkan proposal kepada Asia Foundation, Yayasan TIFA, dan Friederich Ebert Stiftung. Tapi sampai sekarang, kata Direktur LBH Jakarta, Irianto Subiakto, belum ada jawaban dari mereka.
Dalam sejarahnya, LBH Jakarta pernah mendapat bantuan dari Pemda DKI Jakarta pada era Gubernur Ali Sadikin dan Tjokropranolo. Dana yang didapat Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per bulan. Dari gubernur, lembaga ini juga pernah mendapat mobil operasional VW Combi yang masih terawat sampai sekarang. Tapi, setelah era Tjokropranolo berakhir, bantuan ini terhenti.
Mungkinkah uluran tangan semacam itu diberikan lagi? Amat bergantung pada kemurahan hari petinggi Pemda DKI. Pengurus LBH Jakarta pun tak menolak jika datang kucuran dana. "Itu kan bisa dianggap sebagai bantuan masyarakat lewat pajak," kata Riswan Lapagu, Kepala Bidang Internal YLBHI.
Ketidakjelasan sumber dana itu membuat YLBHI dan kantor-kantor LBH di bawahnya kini benar-benar sekarat. Maka, Suyono tak punya pilihan lain, mesti menerima tawaran pensiun dini. Meski masih bisa menjadi sukarelawan, ia harus segera melupakan dering telepon yang biasa didengar dan ditanggapinya setiap hari.
Endri Kurniawati, Arif Ardiansyah (Palembang), Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini