DIKEPUNG belasan wartawan dan juru foto, Selasa pekan lalu, Probosutedjo melangkah terseret-seret di lorong Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meski bibirnya memamerkan seulas senyum, wajah adik tiri bekas presiden Soeharto ini terlihat letih. Majelis hakim yang diketuai Muhammad Saleh baru saja memutus Probo bersalah melakukan tindak pidana korupsi Rp 100,9 miliar. Hukumannya, penjara 4 tahun ditambah denda Rp 30 juta atau 6 bulan penjara.
Sebagai bekas Direktur Utama PT Menara Hutan Buana, lelaki 73 tahun ini dinyatakan terbukti menggelapkan dana reboisasi. Ia mendepositokan dana yang sedianya dipakai untuk menghijaukan kembali kawasan hutan tanaman industri (HTI) seluas 71 ribu hektare ke sejumlah bank, lalu menikmati bunganya.
Probo juga dinilai bersalah oleh hakim karena selaku Direktur Utama PT Wonogung Jinawi tak mengembalikan dana reboisasi ke pemerintah. Dia malah memakai uang tersebut untuk membeli saham Menara Hutan Buana sebesar Rp 43,4 miliar, yang kemudian dijualnya ke perusahaan asing.
Seperti sejumlah terdakwa korupsi lainnya, Probo tak langsung masuk bui. Alasannya? Menurut hakim, ia tak dikhawatirkan bakal melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana, apalagi menghindari eksekusi saat datang putusan hukum yang berkekuatan tetap. Meski begitu, Probo tak puas atas putusan hakim dan menyatakan akan mengajukan banding.
Probo adalah pengusaha hutan pertama yang diseret ke meja hijau dalam kasus dana reboisasi. Raja hutan nomor satu, Bob Hasan, dijebloskan ke penjara Nusakambangan dalam perkara berbeda, korupsi dan manipulasi pemetaan hutan.
Putusan tersebut juga mengingatkan orang pada perkara sejenis yang belum ada kemajuannya sampai sekarang: kasus Prajogo Pangestu. Padahal baron kayu dari Grup Barito Pacific ini sudah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus penyelewengan dana reboisasi sejak Juni 2001. Ia pun sempat diperiksa di Gedung Bundar.
Kejaksaan melakukan pemeriksaan setelah mendapat laporan dari Suripto, bekas Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan. Diduga terjadi penggelembungan luas lahan hutan tanaman industri yang dikelola perusahaan kayu milik Prajogo, PT Musi Hutan Persada. Ia mengklaim telah melakukan reboisasi 193 ribu hektare. Setelah dicek cuma 118 ribu hektare. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp 331 miliar—atau tiga kali lipat angka korupsi Probosutedjo!
Dalam laporannya, Suripto menyebutkan, setidaknya ada lima penyelewengan lain yang dilakukan oleh Prajogo dalam proyek hutan tanaman industri, yakni mark-up dana reboisasi, memanipulasi pembayaran dana reboisasi, pembakaran areal hutan tanaman industri secara sengaja, manipulasi dalam proses land clearing, serta manipulasi pajak (lihat TEMPO Edisi 17 Juni 2001).
Mengapa Prajogo tak segera dibawa ke pengadilan? Sebab, ”Tidak ada kasus, sebenarnya. Tak ada bukti (penyelewengan),” kata Denny Kailimang, pengacaranya. Di mata dia, negara belum dirugikan karena kliennya tak mengemplang dana reboisasi itu. Dulu dana itu merupakan utang yang belum jatuh tempo, tapi sekarang sudah lunas dibayar. Denny juga menyanggah tuduhan bahwa perusahaan Prajogo melakukan pembakaran sewaktu membuka lahan.
Sejauh ini, menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Antasari Azhar, tim penyidik telah meminta bantuan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) untuk memotret ulang lokasi HTI yang dikelola PT Musi Hutan Persada—sebuah perusahaan patungan antara PT Inhutani II dan PT Enim Musi Lestari milik Prajogo. Ini diperlukan untuk membuktikan adanya dugaan penggelembungan luas lahan.
Hasilnya? Kepada Wahyu Dhyatmika dari TEMPO, Antasari menjelaskan, pengecekan ini sudah sampai di tangan tim penyidik. Mereka sekarang tengah menyusun resume kasus tersebut secara lengkap. Kejaksaan akan segera mempelajari resume kasus ini. ”Kami mau yang tegas-tegas saja. Kalau memang salah, kita proses. Tapi, kalau tak ada bukti, mau bagaimana lagi?” kata Antasari.
Jadi, Prajogo bakal bebas?
Wicaksono, Endri Kurniawati, dan Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini