HARI Raya Idulfitri, pekan ini, merupakan hari-hari terakhir dalam kehidupan Basri Masse, 37 tahun. Riwayat warga negara Indonesia kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, ini telah ditetapkan akan berakhir setelah Lebaran. Ia akan menjalani hukuman mati di Kinabalu, Sabah, Malaysia, karena tertangkap basah membawa ganja sekitar 1 kilogram, sekitar enam tahun lalu. Lewat sidang selama enam hari di Pengadilan Tinggi Kota Kinabalu, Malaysia negeri yang amat garang memperlakukan para penjahat narkotik -- pada 29 Januari 1986 Basri dijatuhi hukuman gantung. Lelaki itu tercatat sebagai WNI kedua yang dijatuhi ganjaran hukuman tertinggi karena narkotik di negeri jiran itu. Sebelumnya, Agustus 1986, pemerintah Malaysia telah mengeksekusi Ramli Kechik asal Langkat, Sumatera Utara, yang kedapatan membawa candu mentah 15,6 kg. Pada 16 Februari 1983, seorang polisi Malaysia, Kopral Pol. Selvan Palaniappan, mendapat informasi bahwa malam itu seorang pria Bugis akan menjual ganja di Jalan Terawi, Putatan, Kinabalu. Bersama sejawatnya, Selvan menuju sasaran. Dan benar. Menurut Selvan, sekitar pukul 19.30, ia melihat ada taksi, dengan pelat nomor seperti disebutkan informan tadi, berhenti di lokasi sasaran. Di dalam taksi itu, kata Selvan, ada tiga orang -- salah satunya duduk di jok belakang. Selvan segera menyerbu taksi itu. Ia melihat seorang penumpang yang duduk di belakang memegangi kantung kertas di antara kedua kakinya. Penumpang itu, yang tak lain Basri Masse, sempat mempertahankan harta miliknya itu ketika Selvan hendak memeriksanya. Baru setelah revolver diacungkan, barang itu diserahkan Basri. Ternyata, kantung itu berisi daun ganja kering yang dibagi dalam 34 ikatan. Di kantung lelaki itu juga ditemukan Surat Keterangan Laksana Paspor (SKLP), yang dikeluarkan Konsulat RI di Kota Kinabalu, 2 Februari 1982, dan berlaku dua tahun. Pada kedua terdakwa lainnya, yang duduk di depan, menurut Selvan, tak ditemukan bukti apa-apa. Di Pengadilan Negara Bagian Sabah Basri mengaku bahwa barang itu sebenarnya milik Abdul Patta Lubing, temannya yang bersamanya di dalam taksi. Bapak dua anak itu, yang baru dua kali ke Kota Kinabalu, mengaku baru kenal Patta pada sore hari itu di depan gedung bioskop Cathay. Setelah ngobrol-ngobrol, menurut Basri, yang konon pelaut itu, Patta mengajaknya ke Putatan untuk menemui seorang kawannya di sana. Ketika itu, masih menurut Basri, dilihatnya Patta membawa kantung kertas -- serupa dengan kantung yang dijadikan baram bukti. "Tapi saya tidak tahu apa isinya," kata Basri pada penyidik. Mereka berangkat dengan taksi yang dicarter Patta. "Saya tidak membawa apa pun pada waktu itu," tutur Basri lagi. Basri mengaku, mereka berdua duduk di kursi belakang. "Saya dari pintu belakang kiri, sementara Patta dari pintu belakang kanan," ujarnya. Sedangkan kantung kertas itu berada di antara kaki kanannya dan kaki kiri Patta. Dan letak kantung itu, menurut Basri, masih seperti semula, saat polisi menyerbunya. Namun, apa hendak dikata, dengan bukti 935 gram ganja, sudah cukup alasan bagi Pengadilan Tinggi Kota Kinabalu, 29 Januari 1986, untuk menjatuhkan hukuman maksimal pada Basri. Vonis mati itu sesuai dengan Pasal 39 B Akta Dadah 1952, Undang-Undang Dadah Malaysia. Bagaimana dengan Patta? Menurut pejabat Penjara Kepayan, Kota Kinabalu, G.S. David, terdakwa itu menghilang setelah Hakim Pengadilan Rendah (Magistrate) Idrus Arun membebaskannya pada Oktober 1984, dengan dua penjamin dan uang jaminan M$ 12.000. Sebab itu, Patta tak pernah dijadikan saksi dalam perkara Basri. Perwakilan Indonesia di Sabah, anehnya, baru dua tahun kemudian mengetahui nasib Basri. Itu pun setelah Basri, pada 21 Juni 1988, mengirim surat dari penjara ke Konsulat Jenderal (Konjen) RI Kota Kinabalu. Dalam suratnya, Basri mengabarkan ia WNI yang menjelang dihukum mati. Sehari setelah surat itu sampai, Konjen langsung mengunjungi Basri di penjara. Kepada Konjen, Basri menyatakan kekecewaannya terhadap peradilan Malaysia. Dalam permohonan kasasinya ke Mahkamah Agung, Basri telah mencoba mendapat keringanan hukuman. Ia, katanya, ditangkap 16 Februari 1983, sementara Akta Dadah Berbahaya yang menetapkan hukuman mati terhadap pelanggarnya baru direvisi dan mulai berlaku 15 April 1983. Tapi alasan Basri itu ditolak pengadilan tertinggi di situ. Empat hakim Mahkamah Agung malah menguatkan putusan peradilan bawahannya. Menurut Jaksa Agung Malaysia, Tan Sri Abu Talib, sebelum ada pembaruan akta itu, alternatif hukuman bagi pengedar adalah penjara seumur hidup atau hukuman mati. "Jadi, pengadilan berkuasa menjatuhkan satu di antara dua hukuman itu," katanya. Baru setelah 15 April 1983, alternatif hanya satu: hukuman mati. Namun, berbagai cara tetap dilakukan Konjen untuk memperingan hukuman Basri. Pada September 1988, Konjen menghadap Tuan Yang Terutama Negeri Sabah, Tan Sri H. Mohd Said Keruak. Selain itu, juga pihak Konjen telah mengontak Menlu RI dan Menteri Kehakiman RI di Jakarta. Pihak Jakarta pernah mempertanyakan kewajiban pemerintah Malaysia, sesuai dengan Konvensi Wina 1963, untuk memberi tahu pemerintah RI tentang warga negaranya yang diadili di negara itu. Ternyata, menurut pejabat di Malaysia, negara mereka tidak wajib memberi tahu, karena mereka tidak meratifikasi perjanjian Wina tersebut (lihat Eksekusi agar . . .). Usaha Konjen hampir saja tak ada gunanya, ketika 13 Februari lalu didapat informasi bahwa Basri akan dieksekusi pada 1 Maret 1989. Pihak Konjen, ketika itu, hanya memohon eksekusi itu ditunda. Syukurlah, 13 hari kemudian permintaan itu dikabulkan pemerintah Malaysia. Kendati begitu, nasib Basri tak mungkin diubah lagi. Badan Pengampunan Negeri Sabah (Pardon's Board), yang bersidang sekali lagi 31 Maret, tetap berkesimpulan bahwa keputusan mahkamah itu sudah tepat. Bahkan badan itu telah menetapkan hari eksekusi, yaitu setelah Hari Raya Idulfitri pekan ini. Pihak Indonesia, menurut sumber TEMPO, telah berupaya semaksimal mungkin untuk Basri Masse. Buktinya, eksekusinya sempat ditangguhkan. Bahkan Menteri Alatas sendiri, April lalu, pernah melobi Dubes Malaysia untuk kasus ini. "Namun, Dubes menghormati peraturan yang berlaku di Sabah, dan tak ingin campur tangan," ujar sumber itu kepada TEMPO. Di Indonesia sendiri sudah tercatat lima warga negara Malaysia yang divonis hukuman mati. "Namun, mereka tidak mengajukan keberatan atas vonis tersebut. Lantaran mereka menghormati undang-undang kita," tutur sumber itu.Bunga Surawijaya dan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini