AKHIRNYA, penyelesaian masalah Kamboja secara menyeluruh mendapat perhatian yang sepadan oleh masyarakat internasional. Setelah Afghanistan, Namibia dan Palestina silih berganti meminta perhatian dunia, awal Mei 1989 Pangeran Sihanouk disorot lagi oleh pemerintahan, pers, dan pengkaji masalah internasional. Meskipun Yaser Arafat akan tetap merupakan saingan berat baginya dalam usaha masing-masing memfokuskan masalah regional yang dihadapi, pertemuan Sihanouk dengan Hun Sen di Jakarta awal Mei ini maju lagi selangkah ke arah kompromi "masalah internal" yang tidak sempat dirampungkan dalam pertemuan JIM-II di Jakarta, pertengahan Februari lalu. Usaha mencari rumus diplomatik secara "menyeluruh" tergantung pada tiga arus besar. Arus pertama ialah konsensus yang tercapai antara RRC dan Uni Soviet tentang perlunya penyelesaian Kamboja sebagai bagian dari peredaan ketegangan antara kedua negeri komunis terbesar. Dalam hal ini, jasa terbesar adalah prakarsa pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev, yang sejak bulan Maret 1987, secara perlahan tetapi pasti, mendesak Vietnam untuk menunjukkan iktikad baik serta tanda-tanda yang lebih jelas ke arah kompromi. Hasil akhir dari rangkaian bujukan Soviet terhadap Vietnam adalah pengumuman dari Hanoi bahwa pasukan Vietnam akan ditarik keluar dari Kamboja, paling lambat tanggal 30 September nanti. Arus kedua ialah hubungan Vietnam-RRC, yang berangsur-angsur membaik akibat reda ketegangan Soviet-RRC secara umum, tetapi juga karena para pemimpin RRC maupun Vietnam menyadari bahwa berkutat terus sekitar Kamboja dan Indo-Cina hanyalah menguras pembiayaan negara secara boros. Puncak rujukan RRC-Vietnam terjadi ketika kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri Vietnam Ngo Dien Linh ke Beijing pertengahan Januari 1989. Baik RRC maupun Vietnam menunjukkan keinginan berkompromi. Vietnam bersedia "mempercepat penarikan pasukan dari Kamboja", sedangkan Beijing setuju agar "Khmer Merah tidak mengungguli pemerintahan baru" di Phnom Penh. Pertemuan Sihanouk-Hun Sen awal Mei 1989 ini adalah bahagian dari usaha untuk mempertemukan dua arus "luar" tadi dengan "arus ketiga": masalah internal. Sebenarnya, pembagian "eksternal" dan "internal" kurang tepat. Sebab, seperti kata Menteri Luar Negeri Vietnam Nguyen Co Thach, kedua hal itu saling berkaitan. Tetapi bagaimanapun juga, pertemuan Jakarta awal Mei ini penting, karena seluruh mata-rantai "eksternal" dan "internal" perlu dirumuskan dalam satu ungkapan diplomatik yang bisa membuktikan bahwa kedua belah pihak bersedia memberi konsesi yang memadai. Esensi masalah dari arus ketiga ialah bahwa pemerintahan yang sekarang dipimpin Hun Sen tidak berubah isi, meski boleh berubah nama, bendera, dan konstitusi. Di sini kedudukan Hun Sen agaknya jauh lebih kuat daripada Sihanouk. Selama 10 tahun lebih, pemerintahnya tetap bertahan dan menguasai aparatur pemerintahan dalam negeri, meski tidak seluruh wilayah Kamboja didaulatnya secara mutlak. Prinsip Hun Sen ialah, kelanggengan berkuasa adalah cara terbaik meraih keabsahan. Dilema Sihanouk (dan negara-negara ASEAN selama ini) ialah bahwa meskipun pemerintahan koalisi Kampuchea Demokratik adalah pemerintahan yang sah dan diakui masyarakat internasional (termasuk PBB), pemerintahan itu berkedudukan di luar Kamboja (kadang-kadang di Bangkok secara tetap, kadang-kadang di mana Sihanouk kebetulan berkelana: Beijing, Pyongyang, Paris). Alhasil, kompromi sekitar masalah intern dipecahkan melalui rumus meleburkan pemerintahan Hun Sen dan pemerintahan Sihanouk ke dalam satu pemerintahan Kamboja baru yang mengandung kedua unsur lama, tanpa harus membubarkan sama sekali semua unsur yang telah ada. Jadinya ialah "pemerintahan Kamboja yang diperluas" dengan perangkat-perangkat konstitusional yang baru, serta yang memberi jalan bagi Sihanouk untuk menjadi kepala negara yang berkedudukan di Phnom Penh. Sekarang tinggal dua persoalan yang peka, yang sebenarnya di luar kemampuan pertemuan Jakarta awal Mei untuk mengatasinya. Hal yang pertama ialah apakah bentuk-bentuk kompromi diplomatik yang dicapai di Jakarta akan memuaskan Beijing? Artinya, maukah pemerintahan di Beijing menerima penyelesaian "perkaitan intern" seperti yang telah tercapai di Jakarta, sebagai bagian dari penyelesaian persaingannya dengan Vietnam sekitar Indo-Cina? Masalah peka yang kedua ialah kedudukan Khmer Merah. Kalau Beijing sudah setuju bahwa Khmer Merah tidak akan kembali mengungguli pemerintahan baru di Kamboja, berapa bagian dan unsur Khmer Merah apa sajakah yang boleh disertakan dalam unsur pemerintah Kamboja yang baru itu? Pertemuan Jakarta awal Mei ini mengabaikan untuk sementara peran bagi Khmer Merah. Karena itu pertemuan Sihanouk dan Hun Sen di Jakarta diselenggarakan atas dasar asumsi bahwa Khmer Merah lama (Pol Pot dkk) tidak akan disertakan. Tetapi pernyataan-pernyataan dari Beijing belakangan ini menunjukkan bahwa pihak RRC tetap ingin satu unsur Khmer Merah tetap merupakan bagian dari penyelesaian menyeluruh. Lagi pula, belum ada satu pihak pun yang mengetahui apa dan bagaimana sikap Khmer Merah lama, yakni klik Pol Pot, apabila jelas bagi mereka bahwa RRC mencampakkan mereka keluar dari penyelesaian menyeluruh itu. Besar kemungkinan gerilyawan Khmer Merah -- yang setia pada Pol Pot karena alasan-alasan nasionalisme (tak mau disuruh-suruh RRC) -- bertahan terus di rimba dan pegunungan Kamboja. Tragedi terbesar Kamboja bukanlah bahwa dunia sulit mencari penyelesaian diplomatik. Sebab, bagaimanapun juga dirumuskan di meja perundingan, perimbangan kekuatan nyata di medan lagalah yang akhirnya memberi kata putus. Tragedi Kamboja selama ini ialah bahwa dunia sesungguhnya tah amat sedikit tentang keadaan nyata di medan laga. Oleh karena itu, Kamboja akan tetap berada di ujung tanduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini