PADA sidang kasasi pertama yang terbuka untuk umum" - seperti kata Hakim Agung Karlinah Palmini - Majelis Hakim Agung menghukum bekas direktur Bank Bumi Daya, Raden Sonson Natalegawa, selama 2 tahun 6 bulan penjara. Bekas pejabat bank yang mengurus kredit itu dinyatakan terbukti korupsi. Keputusan akhlr tahun itu, 29 Desember lalu, menarik perhatian. Sebab, Natalegawa sebelumnya dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dari tuduhan dan tuntutan hukum - alias bebas murni. Menurut majelis yang diketuai Hakim Soedijono ketika membacakan vonis pada 1982, direktur BBD itu tidak terbukti korupsi seperti dituduhkan Jaksa Baio Supardi, yan sebelumnya menuntut Natalegawa dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 15 juta karena korupsi dan menerima suap. Menurut Jaksa, Natalegawa memberikan kemudahan kepada Endang Wijaya, direktur PT Jawa Building yang membangun Pluit, untuk mendapatkan kredit sampai Rp 14 miIyar dengan jaminan-jaminan tidak benar. Untuk itu, menurut Jaksa, Natalegawa menerima imbalan berupa, antara lain, empat buah rumah dan pertokoan di kompleks Pluit. Namun, hakim tidak menerima tuntutan itu. Natalegawa, menurut Hakim, tidak terbukti disuap. Tentang rumah dan pertokoan yang dituduhkan hadiah dari Endang, menurut Hakim, sebenarnya akan dibeli direktur BBD itu. Padahal, sebelumnya, pengadilan yang sama menghukum Endang 10 tahun penjara, karena Endang dianggap terbukti memberi suap - di antaranya untuk pejabat BBD. Jaksa Agung Ismail Saleh secara terbuka mengumumkan kekecewaannya atas putusan itu (TEMPO, 27 Februari 1982). Walau hakim memutuskan bebas murni, Jaksa Bagio Supardi naik banding. Dan pada 7 Oktober 1982, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang diketuai Soerjono membatalkan putusan pengadllan tingkat pertama, menghukum Natalegawa 2 tahun 6 bulan penjara. Putusan ini mengundang protes ahli-ahli hukum. Sebab, menurut pasal 67 KUHAP, terhadap putusan bebas murni, jaksa tidak bisa naik banding (TEMPO, 13 November 1982). Mahkamah Agung pun sependapat dengan para ahli hukum. Menurut Majelis yang diketuai Adi Andojo Sutjipto, pengadilan banding salah menerapkan hukum. Namun, di sini menariknya, menurut Majelis: Mahkamah Agung dapat mengatur hukum acara sendiri. "Mahkamah menganggap adil, bila keberatan jaksa atas putusan bebas diartikan sebagai permohonan kasasi," kata Majelis. Tapi, anehpya, dengan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, bukan berarti Mahkamah menerima vonis bebas pengadilan tingkat pertama. "Keputusan pengadilan tingkat pertama itu bertentangan dengan putusan terhadap Endang Wijaya," kata Majelis. Endang Wijaya terbukti menyuap pejabat BBD, tapi Natalegawa kok tidak terbukti menerimanya. Mahkamah menganggap Natalegawa terbukti menerima fasilitas dari Endang Wijaya. "Menurut kepatutan dalam masyarakat, bila pegawai negeri menerima fasilitas dari swasta, berarti dimaksudkan agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang," kata Majelis. Keputusan Mahkamah Agung itu dianggap Azwar Karim, pengacara Natalegawa, memang aneh. Terutama anggapan bahwa pernyataan "banding" Jaksa atas putusan bebas berarti sebagai permohonan "kasasi". Keanehan lain, menurut Azwar, adalah tentang pengdgunaan wewenang peradilan kasasi - yang mestinya hanya boleh memeriksa apakah peradilan bawahan melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum atau tidak. Pembela lain, Gunawan Suryoputro, juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung tidak berhak mengutik-utik putusan hukuman. "Kasasi itu hanya untuk kepentingan hukum," ujar Gunawan. Pengacara itu juga menyesalkan Mahkamah Agung mengait-ngaitkan putusan terhadap Endang Wijaya dengan Natalegawa. "Seharusnya putusan peradilan itu berdiri sendiri-sendiri," ujar rekannya, Azwar Karim, menyambung. Kedua pembela itu sekarang memikirkan untuk meminta peninjauan kembali (herziening) atas putusan itu. Ketua Majelis Hakim Agung, Adi Andojo Sutjipto, tidak begitu risau dengan keluhan pengacara-pengacara itu. Menurut Adi Andojo, tindakan Pengadilan Tinggi menerima banding jaksa, dalam kasus Natalegawa yang diputuskan bebas murni itu, salah - seharusnya langsung kasasi. Tapi "kalau banding itu dibatalkan saja, jaksa kehilangan hak kasasinya," ujar Adi Andojo. Sebab itu, menurut Adi Andojo, ia melihat ada kekosonan hukum acara dalam hal itu. Dan, "Mahkamah Agung mesti menciptakan hukum acara bila terjadi kekosongan demikian," katanya. Tindakan Mahkamah Agung yang tidak hanya melihat segi hukum dari suatu perkara kasasi, tetapi juga fakta-fakta, dianggap Adi Andojo sebagai perkembangan baru dari peradilan tertinggi itu. Karena itu, majelis yang dipimpmnya membuat putusan sendin, dengan membandingkan perkara Endang Wijaya dan Natalegawa. "Perkara itu tetap berkaitan - Endang yang memberi suap dan Natalegawa yang menerima," ujar Adi Andojo lagi. Sejak beberapa bulan lalu, Mahkamah Agung memang mengumumkan perluasan wewenannya, denan memeriksa juga materi perkara. Berbeda dengan pengacara, kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, menyatakan puas atas putusan Mahkamah Agung itu. Kejaksaan, menurut Bob, memang tidak langsung naik kasasi karena hakim memberi hak untuk naik banding, walau putusannya vrijspraak atau bebas murni. "Kalau benar kejaksaan tidak boleh banding, seharusnya permohonan banding kejaksaan ditolak panitera pengadilan, dan kami bisa langsung kasasi," ujar Bob Nasution. Bob merasa puas bahwa niat kejaksaan untuk banding itu diartikan Mahkamah Agung sebagai kasasi juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini