ISTIRAHAT beberapa hari untuk natal dan tahun baru, Naga Budiman alias Oei Swie Liong, 53, harus kembali menghadap hakim di Pengadilan Negeri Bandung. Sudah sejak Oktober 1982, paling kurang tiga hari dalam seminggu, lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu wajib hadir di ruang bermeja hijau itu. Tangannya selalu mengepit map. Sampai akhir Desember lalu, Naga sudah menghadapi 13 gugatan perdata dan tujuh tuntutan pidana. Dari jumlah itu, baru delapan perkara perdata yan selesai divonis hakim: dua gugatan ditolak karena soal bukti dan domisili penggugat, dan enam lainnya dikabulkan. Untuk itu, Naga, pemilik PT Ganatex, pabrik pencelupan tekstil di Bandung, harus membayar lebih dari Rp 187 juta. Dalam perkara pidana, Naga sudah dituntut jaksa tiga tahun dan enam bulan penjara. Itu baru untuk tiga perkara. Jaksa menuntutnya hukuman enam bulan penjara untuk tuduhan memfitnah Chandra Setiaji, bekas pegawainya di PT Ganatex, kemudian jaksa yang lain menuntutnya hukuman dua tahun karena mengedarkan 26 giro bilyet tanpa dana senilai Rp 64 juta lebih. Ada lagi jaksa yang menuntut satu tahun penjara untuk tuduhan menipu dua bekas rekanannya yang lain. Sampai sekarang, memang, Naga belum sampai harus masuk rumah tahanan. Tapi dia pasti akan cukup lelah menghadapi sejumlah hakim dan jaksa karena, seperti diperkirakan Atjun Setijono, penasihat hukum yang mewakili seluruh penggugat, "semua perkara ini akan memakan waktu paling sedikit lima tahun." Selain perkara yang sudah disebut, Atjun memang sedang menyiapkan 18 gugatan perdata yang lain. Desember tahun lalu, 11 pengaduan pidana terhadap Naga diterima lagi oleh polisi Bandung. Tampaknya, semua perkara itu muncul dari bisnis pabrik tekstil. Pabrik itu didirikan pada 1972 dengan kredit PMDN. Tapi, dua tahun kemudian. karena setorannYa tak beres, nama Naga masuk dalam daftar hitam. Untuk menyelamatkan pabriknya, Naga meminjam modal dari beberapa rekanannya di Bandung dan Jakarta dengan rente 3% sampai 5% per bulan Tentu saja bisnis Naga tak lagi sehat. Sampai 1979, misalnya utang modal itu sudah membesar menjadi Rp 300 juta, selain tunggakan Rp 500 juta dan pembelian bahan baku pabriknya, seperti kain rajut, benang filamen, obat kimia, dan minyak solar. Untuk menghadapi tagihan para pemberi kredit, mulailah Naga membuka giro bilyet bertanggal mundur, yang tentu saja kosong karena rekeningnya di bank sudah masuk daftar hitam. Nyonya Lanny Lestari, seorang pengusaha di Bandung, misalnya, menjual barang kimia kepada Naga seharga Rp 93 juta lebih dengan pembayaran enam bulan di belakang. Ketika sampai waktunya, dan berkali-kali ditagih, Naga selalu punya alasan menunda pembayaran. Belakangan, utang itu dibayarnya dengan cek bertanggal mundur, yang ternyata kosong. Dengan cara yang mirip, Naga menghadapi puluhan rekanannya. Anehnya, entah bagaimana, Naga bisa membuat percaya 31 kreditornya - dengan nilai utang sekitar Rp 800 juta - dengan cuma mengiming-imingi 200-an lembar giro bilyet. Baru belakangan mereka tak percaya lagi, dan ramai-ramai menyerahkan giro tanpa dana itu ke pengadilan. Naga tak membantah. "Soalnya, sejak 1974, rekening saya di bank ditutup, saya tak bisa dapat kredit bank pemerintah, dan pabrik jadi macet," katanya. Tapi, tampaknya, Naga tak begitu cemas dengan tuntutan dan usatan yang berjubel itu, "sebab, nilai pabrik tekstil Naga masih lebih kalau dibanding dengan semua utang-utangnya," kata Djoni Widjaja, penasihat hukum Naga. Pabrik itu memang pernah ditawar seorang pengusaha dari Jakarta Rp 1,2 milyar, tapi belakangan jual-beli batal, setelah pengusaha itu tahu bahwa Ganatex belum berbadan hukum. Sekarang, pabrik itu disita pengadilan untuk jaminan berbagai tuntutan perdata tadi. Namun, dengan terbatuk-batuk, pabrik yang terletak di atas areal 2.000 meter persegi di Jalan Mohamad Toha, Bandung, masih terus berjalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini