FLASHDANCE Sutradara: Andrian Lyne Pemeran utama: Jennifer Beals SUATU pagi di Pittsburgh, ketika jalanan masih sunyi dan berkabut, seorang gadis berjaket hijau tentara, bercelana jean, dengan tas di punggung, mengayuh sepeda dengan giat. Ada kegembiraan dalam gerak kakinya. Terdengar musik dan lagu yang cerah bagaikan suasana pagi: Aduh betapa rasanya/Menjadi yakin/aku dapat memperoleh semuanya/Kini aku menari untuk hidupku .... Itulah awal film Flashdance, yang selama dua minggu pemutaran pertamanya di Amerika, tahun lalu, mengumpulkan US$ 11,3 juta - sementara ongkos produksi film itu sendiri cuma US$ 8,5 juta. Dan piringan hitam yang merekam 10 lagu pop rock dalam film itu, dalam tempo yang sama, terjual 700.000 kopi. Flashdance memang dibuat dengan apik. Gambar demi gambar, menampilkan si manis Jennifer Beals, yang disajikan dengan indah. Gadis bermata bulat-hitam, berwajah lonjong, dan senyumnya memperlihatkan giginya yang putih bersih, memerankan Alexandra Owen, si pengayuh sepeda itu. Alex, demikian panggilannya, datang dari sebuah desa di Pennsyivania, berjuang sendirian di Pittsburgh untuk mewujudkan cita-citanya. Film ini memang berkisah tentang remaja, Alexandra. Ia seorang gadis yang riang dan tak mudah patah semangat. Ia bisa bergumul dengan panasnya api las, bekerja di bengkel untuk mengumpulkan uang. Merasa cukup tenteram tinggal di sebuah ruang bekas garasi bersama Grunt, seekor anjing, yang selalu awas. Tapi cita-citanya tetap tinggi: menjadi primadona sebuah grup balet. Dan betapa impian itu selalu membayanginya. Alex, yang bersepeda ke mana pergi itu, selalu menemukan gerak-gerak tari pada gerak orang-orang di sekelilingnya. Maka, ia pun menirukan Pak Polisi yang sedang mengatur lalu lintas. Ia pun menggabungkan diri dengan dua orang yang sedang berpantomim di pinggir jalan, yang mungkin sedang ngamen. Dan ketika berpacaran, gadis manis ini sering kali dalam kegembiraannya berdiri pada satu kaki, lalu berpusing. Apakah ini sebuah komedi? Setidaknya begitu. Kegagalan hanya ditampilkan lewat teman Alex. Setelah dua tahun berlatih, sang teman ternyata tergelincir ketika melakukan gerakan berpusing dalam tes akhir. Rasa sedih membawa cewek itu menjadi penari erotis meski akhirnya ia diseret keluar oleh Alex. Sementara itu, sang tokoh, Alex, berhasi melewati tantangan dengan sukses, meski tak sepenuhnya berkat kekuatan sendiri seperti yang dimauinya. Ketika tahu bahwa ia dipanggil untuk diuji oleh sebuah grup balet lantaran pacarnya - yang juga majikannya, pemilik bengkel las - ia marah. Dalam perjalanan pulang sehabis kencan, ia diiturunkan di tengah jalan. Lalu Alex di antara kilasan lampu mobil, membawa kekecewaan hatinya. Sungguh sebuah adegan yang mengesankan. Setelah Alex melihat kenyataan bahwa tak mudah untuk diterima sebuah grup balet, sekalipun hanya melakukan tes, ia lalu muncul di hadapan dewan penguji untuk memperlihatkan kebolehannya. Dengan tekad, dengan optimisme, ia melakukan gerakan-gerakan yang memesonakan. Jennifer Beals, yang betubuh atletis memang cocok untuk peran ini. Cuma dalam gerak berpusing, ia digantikan seorang penari balet asal Prancis. Film ini memamg tidak memunculkan keharuan, setidaknya bagi penonton yang tidak menghayati kebudayaan Amerika. Disana, konon tak mudah bergabung dengan sebuah grup kesenian. Perjuangan Alex tak begitu tampil dilayar putih. Susah payahnya berlatih tak begitu disuguhkan. Juga, Jerih payahnya bergumul dengan api las, tak banyak ditunjukan. Bagaimanapun, film dengan gambar-gambar apik dengan pemeran utama yang ceria dan manisdengan musik pop-rock yang mendesiskan lirik yang menyentuh, dibumbui secercah roman yang asyik dan segar, bak sekaleng minuman ringan Coca Cola - yang memang sama-sama datang dari Amerika. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini