Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Nila tiba, ganja hangus

Operasi nila-i/1989 berhasil memberantas perladangan ganja terbesar di aceh dan membekuk 28 orang petani ganja. ditemukan 67,6 ha ladang ganja, terdiri dari 1.171.127 pohon, pada 88 lokasi.

8 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAK suasana perang, enam pesawat heli milik Mabes Polri, sejak dua pekan lalu, menderu-deru di angkasa Aceh. Sejumlah pasukan bersenjata pun diterjunkan. Mereka dengan merayap di bukit-bukit terpencil itu menuju titik sasaran. Hasilnya luar biasa, Operasi Nila-I/1989 (ON) berhasil menyapu ladang ganja terbesar di daerah itu dan membekuk 28 orang petani "daun haram" itu. Operasi Nila yang berlangsung sejak 20 Februari lalu -- dengan biaya Rp 145 juta lebih -- memang merupakan salah satu upaya Polri memerangi narkotik. Di bawah komando Direktorat Reserse Mabes Polri, tim ON, bekerja sama dengan Direktorat Samapta Polri, tim bertugas memberantas perdagangan narkotik di 9 wilayah Polda. Hasilnya ternyata tak mengecewakan. Di sembilan daerah itu, dalam catatan Mabes Polri, terungkap 91 kasus perdagangan narkotik. Polisi menangkap pula 129 tersangka -- 125 orang WNI, empat orang lainnya berkewarganegaraan Filpina, Swiss, dan Austrtalia. Selain menyita ganja kering, pihak polisi juga menyita 94,45 heroin, 43,06 gram hasis, 155 gram kokain. Prestasi fantastis memang diraih tim ON bekerja sama dengan Satuan Tugas Alap-Alap dipimpin Brigjen. Pol. Hadiman di Serambi Mekah, yang terkenal sebagai "lumbung ganja". Tim Satgasda Aceh, misalnya, berhasil menemukan 67,6 hektar ladang ganja, terdiri dari 1.171.127 pohon, pada 88 lokasi. Dari seluruh ladang itu diperkirakan akan dipanen 390,4 ton ganja kering -- dengan logika setiap 3 pohon menghasilkan 1 kg daun ganja kering. Selain membumihanguskan ladang ganja di Aceh, tim ON berhasil meringkus 28 orang anggota komplotan petani ganja itu. Toh prestasi ini tak terlepas dari andil penduduk setempat yang diam-diam melapor kepada polisi. Berbeda dengan suasana sebelumnya -- penduduk lebih suka tutup mulut karena ancaman mafia ganja -- kini penduduk sudah berani melaporkan kegiatan para petani ganja. Informasi berharga, misalnya, didapat tim dari seorang gadis manis berusia 19 tahun di Desa Payalaman. Ia, konon, jatuh cinta pada seorang petugas ON. Karena itu, perawan dusun tersebut membongkar cerita kepada "sang arjuna" dan menunjukkan lokasi ladang ganja itu. Ganja memang sudah lama tumbuh subur di Aceh. Bahkan sejak dulu daunnya dikenal orang sebagai salah satu spesies bumbu penyedap masakan. Perdagangan ganja meningkat setelah daun itu mempunyai nilai ekonomis tinggi -- sebagai bahan baku industri obat-obatan -- dengan harga Rp 90 ribu dalam bentuk mentah dan Rp 400 ribu yang sudah ditumbuk. "Penanaman ganja itu pun dieksploitasi besar-besaran," kata Komandan Tim ON, Direktur Reserse Mabes Polri, Brigjen. Pol. Drs. Koesparmono Irsan. Polisi memperkirakan penduduk diperalat "orang luar" (sindikat narotik) yang menampung hasil produksi mereka dengan harga mahal. Sebab, di banyak ladang yang digerebek itu, ditemukan makanan dan minuman kalen. "Itu tak jamak bagi penduduk setempat," kata Kapolda Aceh, Kolonel Seno Sukarto. Seorang petani ganja yang pernah dijatuhi hukuman, Jafar, memang mengakui ganja itu dibeli "orang luar" lewat jalur Medan dan Jakarta, sebelum dikirim ke Singapura, Jerman, dan Australia. Tapi para peladang tak mengetahui mata rantai sindikat hingga ke luar negeri itu. Hanya saja, dari penggerebekan ini, pihak Mabes Polri bisa mengetahui modus petani-petani itu bertanam ganja. Setelah menebar bibit di hutan, menurut Koesnarmono, mereka membawa pulang 1-2 bibit berikut tanahnya dan memasukkannya ke dalam pot. Nah, tanaman dalam pot ini dijadikan alat untuk memonitor perkembangan ladangnya di hutan, hingga tahu persis kapan masa panen tiba. "Jadi, mereka tak perlu repot-repot setiap saat mengecek ke ladang itu," kata Koesparmono.Bersihar Lubis, Makmun Al Mujahid, Irwan E. Siregar, (Medan) Moebanoe Moera (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum