Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sadistis model remaja

Dua remaja masing-masing bernama amin, 15 & edi, 17, membunuh dan merampok anak sebayanya: abduh khalik ansari, 14, hanya karena hendak memiliki sepeda bmx korban. polisi medan berhasil meringkus pelakunya.

8 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REMAJA kita semakin sadistis saja. Contohnya kasus yang baru saja terungkap pekan-pekan lalu. Dua orang remaja, sebut saja bernama Amin dan Edi, masing-masing 15 dan 17 tahun, sanggup membunuh anak sebayanya, Abduh Khalik Ansari, 14 tahun, hanya karena hendak memiliki sepeda BMX korban. Yang paling mengerikan adalah cara mereka membunuh korbannya -- mengalahkan sadistisnya perampok dewasa. Ia mula-mula, dalam pengakuannya ke polisi, menyumpal mulut dan mengikat tangan korban. Setelah korban tak berdaya, kedua anak itu menjerat leher Abduh dengan tali plastik. Dan -- ini yang tak terbayangkan kedua ujung tali itu kemudian mereka tarik ke arah yang berlawanan. Akibatnya, kata mereka, wajah Abduh memerah. Matanya melotot. Kakinya meronta-ronta. Lama-kelamaan Abduh lemas, di padang ilalang di belakang gedung SD Inpres Titi Bobrok, di Kelurahan Sei Sikambing B, Jalan Setia Budi, Medan. Usai menutup tubuh Abduh dengan daun dan rumput, Amin dan Edi mengambil sepeda BMX milik korban. Sepeda itu mereka jual kepada Hendro, penduduk di dekat sekolah itu, dengan harga Rp 9 ribu. Dua hari kemudian, masih kata Amin dan Edi kepada polisi, mereka datang lagi ke tempat pembantaian itu. Ternyata Abduh masih menggeliat-geliat. Segera mereka mengambil kayu beroti, lalu menghantamkannya ke kepala Abduh. Korban pun tak bergerak lagi. Hilangnya Abduh pada 25 Februari lalu itu tentu saja membuat ayah korban, Lettu. Rusman Effendy, anggota Satlantas Polda Sum-Ut, kebingungan. Seluruh Polsekta di Kota Medan dihubunginya untuk mencari anak laki satu-satunya itu. Dukun-dukun pun diminta bantuannya. Surat-surat kabar dan TVRI Stasiun Medan memberitakan Abduh dicari orangtuanya. Di tengah kesibukan Rustam Effendy mencari Abduh, Polsekta Sunggal menerima laporan seorang penelepon yang menyatakan Abduh dibunuh Amin. Sayangnya, informasi itu tidak dicek. "Kami biasa menerima telepon yang biasanya tak benar," kata sumber TEMPO di Polsekta Sunggal. Ternyata informasi kali ini tak bohong. Seorang gadis kecil, Rini, 7 tahun, pelajar kelas I SD Inpres Titi Bobrok, mengaku empat kali bertemu "orang" yang mirip Abduh di belakang sekolahnya justru ketika almarhum dicari ayahnya. Rini memang biasa pergi ke sungai yang mengalir di ladang ilalang di belakang sekolahnya itu, untuk buang air. "Orang" itu memanggil dan mengajak Rini menemaninya ke rumah Rusman Effendy, 1 kilometer dari SD tersebut. Karena Rini menolak, "orang" itu marah, "Kau tak mau menolongku." Sampai akhirnya, pada 29 Maret pagi lalu, Rini beol ke sungai itu. Dia melihat belasan ekor burung murai berkicau turun naik ke dahan pohon jarak di ladang itu. Selesai jongkok di tepi sungai itu, Rini menguber burung tersebut. Matanya kepergok di kepala yang terpenggal, terpisah dari tubuh lainnya yang dikerubungi belatung. Kaki kanan dan kaki kiri mayat itu sudah hilang. Di dekat mayat itu terletak kayu balok berpaku. Rini kontan bergidik, mengingat di tempat mayat itulah "orang" yang selalu memanggilnya itu berdiri. Dia kabur ke kelasnya. Dengan wajah pucat, Rini melaporkan kejadian itu kepada gurunya. Selanjutnya, polisi mengidentifikasikan mayat itu, yang tak lain dari Abduh. Begitu mengenal mayat tersebut, Kapolsek Sunggal Lettu. Anwar Sitorus teringat laporan penelepon yang menyinggung nama Amin. Hari itu juga Amin, yang tak lulus SD itu, diringkus, Hendro, penadah sepeda itu, pun ditangkap. Dua hari kemudian, Edi ditangkap di Lhokseumawe, Aceh. Menurut Amin, sebelum membunuh, dia dan Edi membujuk Abduh, pelajar kelas I SMP Negeri I Medan itu, pergi ke ladang ilalang tersebut. "Ada yang mau kita bicarakan di sana," kata Amin kepada Abduh. Korban yang dikenal penurut dan santun itu mengikutinya. Tapi di situlah Abduh disudahi. "Kami cuma mau merampoknya," kata Amin kepada TEMPO. Hanya saja, rupanya mereka tak memperhatikan cincin emas, jam tangan, dan 3 lembar uang pecahan Rp 1.000 milik almarhum. Keduanya tak menjawab, mengapa Abduh mesti dibunuh. "Masihkah ada jalan tobat bagi saya?" Amin balik bertanya. Ayah Amin, Dalimin, membenarkan anaknya itu bengal setelah tidak lulus SD. "Saya bingung melihat anak itu," kata Dalimin, yang sehari-hari menarik becak. Akan halnya Rini, dua hari setelah mayat Abduh ditemukan, ia bermimpi didatangi "orang" tadi. "Orang" itu berterima kasih dan mengajaknya shopping ke supermarket .Monaris Simangunson & Sarluhut Napitupulu (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum