Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEGI Setiawan alias Perong kukuh memberontak serta membantah sebagai pelaku pembunuhan Muhammad Rizky alias Eky dan Vina di Cirebon pada 2016. Dalam konferensi pers di kantor Kepolisian Daerah Jawa Barat di Bandung pada 26 Mei 2024, ia mengaku sebagai korban fitnah. "Saya bukan pembunuh. Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu. Ini fitnah, saya rela mati," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua polisi yang memegangi Pegi sontak membawa pria 27 tahun itu meninggalkan kerumunan media. Pada Ahad pagi itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Komisaris Besar Surawan mengumumkan Pegi sebagai otak pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu. Polisi menangkap Pegi di Jalan Kopo, Kota Bandung, pada Selasa malam, 21 Mei lalu. Pegi ditangkap setelah kasus ini menjadi perbincangan publik dan viral lantaran peristiwa pembunuhan itu diangkat ke layar lebar berjudul Vina: Sebelum 7 Hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain memeriksa saksi, Surawan menyatakan telah mengumpulkan alat bukti lain, seperti kartu keluarga, ijazah, dan surat tanda nomor kendaraan. "STNK kendaraan yang digunakan saat kejadian," katanya.
Kuasa hukum Pegi, Sugiyanti Iriani, menyayangkan sikap kepolisian yang tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah terhadap kliennya. Menurut Sugiyanti, Pegi tidak ada di lokasi pada malam saat kejadian. "Kok, polisi segampang itu menetapkan Pegi menjadi tersangka? Buktinya apa? Kan sudah jelas malam itu Pegi tidak ada di tempat (tempat kejadian perkara)," ujarnya saat diminta konfirmasi Tempo.
Polisi membawa PS alias Perong tersangka kasus pembunuhan Vina dan Eky Cirebon saat konferensi pers di Polda Jawa Barat di Bandung, 26 Mei 2024. TEMPO/Prima Mulia
Saat peristiwa pembunuhan Vina dan Eki pada 27 Agustus 2016, Sugiyanti menjelaskan bahwa Pegi sedang bekerja di Bandung sebagai buruh bangunan. Pegi berangkat ke Bandung pada 13 Juli 2016 untuk menjadi kuli bangunan dan mengerjakan rumah pria bernama Aceng hingga Desember 2016. Pegi, kata Sugiyanti, tak sendiri. Ayah dan adik Pegi serta beberapa teman dari Cirebon juga bekerja di tempat yang sama. "Ada bukti catatan gaji dari majikannya. Ya, walaupun catatannya berupa tulisan tangan, kan bisa membuktikan bahwa saat itu dia bekerja dan masih menerima bayaran," ucapnya.
Pada 29 Agustus 2016 atau dua hari setelah pembunuhan Vina dan Eki, Sugiyanti mengaku kediaman Pegi di Cirebon digeledah polisi. Ibu Pegi, yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Sugiyanti sejak 2014, pun ketakutan.
Sugiyanti pun mempertanyakan soal sepeda motor Smash merah muda yang disebut polisi sebagai kendaraan yang digunakan Pegi saat pembunuhan. Sebab, ketika itu Pegi berada di Bandung. Sedangkan sepeda motor tersebut ada di rumah Pegi di Cirebon dalam kondisi rusak sehingga tidak bisa digunakan. "Makanya dia kerja di Bandung supaya punya uang," ucapnya. Ketika proyek pembangunan rumah Aceng selesai, Sugiyanti mengatakan, Pegi pulang ke Cirebon. Di Kota Udang itu, Pegi kerap bekerja serabutan. "Kalau tidak ada pekerjaan, dia bilang ke saya. Saya suruh dia mengecat atau mencabuti rumput juga mau," tuturnya.
Dia juga menegaskan bahwa Pegi bukan anggota geng motor. Sedangkan pembunuh Eki dan Vina yang disebut Pegi itu merupakan pentolan geng motor. Ihwal Pegi yang dituding polisi mengganti nama menjadi Robi untuk menutupi identitasnya, Sugiyanti punya alasan sendiri. Menurut dia, Robi merupakan adik Pegi. "Mungkin saat itu orang salah manggil, kan enggak tahu," ujarnya.
Penangkapan Pegi oleh polisi ini juga menjadi sorotan publik. Sebab, banyak narasi yang menyatakan Pegi yang ditangkap berbeda dengan foto yang pernah beredar dengan nama yang sama. Belum reda stigma negatif itu, kepolisian mengubah pernyataannya. Sebelumnya polisi menyatakan ada tiga orang dalam daftar pencarian orang, tapi kini menjadi hanya satu orang.
Koordinator Subkomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan pihaknya akan turun tangan atas dugaan salah tangkap tersangka pembunuhan Eki dan Vina. "Komnas HAM pada 2017 sudah memulai penyelidikan, tapi memang belum sampai pada rekomendasi," ucapnya.
Sejak 2017, upaya Komnas HAM menyelidiki kasus itu hanya berakhir pada upaya klarifikasi terhadap Inspektorat Pengawasan Daerah Polda Jawa Barat ihwal aduan kuasa hukum Hadi Saputra, Suprianto, Eko Ramadani, dan Saka Tatal. Aduan itu mengenai dugaan penghalangan bertemu dengan keluarga dan kuasa hukum, pemaksaan pengakuan sebagai pelaku, serta dugaan penyiksaan. "Kami mesti cek (kenapa proses terhenti). Karena itu terjadi pada periode jauh sebelum kami, biasanya memang ada tantangan dalam penyelidikan suatu perkara," katanya.
Saat kasus ini kembali ramai, Saka bersama kuasa hukumnya mencari keadilan dengan bertandang ke Komnas HAM, Dewan Perwakilan Rakyat, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan lainnya. Saka divonis 8 tahun penjara atas perkara pembunuhan Vina dan Eky. Namun dia bebas pada April 2020 karena mendapat remisi. Saat divonis bersalah pada 2016, Saka masih berusia 15 tahun atau merupakan terdakwa termuda dalam kasus itu.
Meski mendapat pengurangan masa tahanan yang signifikan, Saka tetap tak terima karena merasa bukan sebagai pembunuh. Saka mengaku tidak mengenal Vina, Eky, dan pelaku lainnya. Ia juga mengklaim bukan bagian dari geng motor, apalagi ikut memperkosa Vina. Saka mengklaim sebagai korban salah tangkap polisi. Saat malam kejadian, Saka mengatakan sedang berada di rumah pamannya. Akibat disiksa oleh polisi saat interogasi, Saka terpaksa mengaku sebagai salah satu pelaku.
Melebarnya kasus pembunuhan Eky dan Vina ke dugaan salah tangkap ini juga mengindikasikan kelalaian kepolisian dalam menuntaskan kasus itu pada 2016. Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso mengatakan tidak terlihat upaya serius kepolisian dalam mengejar para buron yang melarikan diri setelah peristiwa itu. "Memang pada 2016 IPW menduga polisi sudah merasa cukup mengungkap delapan orang. Kemudian tiga orang lainnya, karena datanya minim, jadi tidak diurus," katanya.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform, Iftitah Sari, mengatakan tidak maksimalnya kepolisian dalam menyelidiki kasus pembunuhan Vina dan Eky ditengarai karena terjadi pemisahan kewenangan pada setiap tahap penanganan kasus pidana. "Saat tahap penyidikan oleh polisi, kalau sudah masuk penuntutan oleh jaksa. Ini kami sebut diferensiasi fungsional," ujarnya.
Tita mengatakan pemisahan itu membuat kepolisian selama ini bekerja terlalu otonom, khususnya pada tahap penyidikan, sehingga tidak ada kontrol dari pihak lain. Selain itu, pelapor tak diberi mekanisme untuk bisa menguji kerja penyidik jika tidak ada progres. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menghilangkan diferensiasi fungsional tersebut serta meniadakan pemisahan tahapan dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Advist Khoirunikmah dan Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini