PENGADILAN tidak akan terganggu. Walaupun, "jaksa diganti
sehari dua kali," seperti kata Hakim Nyonya Supraptini yang
memimpin peradilan perkara penyelewengan kredit Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Yogya kepada TEMPO minggu lalu hanya saja,
lanjutnya, "dalam kasus besar seperti ini sebaiknya jaksa tidak
diganti."
Apalagi pergantian penuntut umum dari Jaksa Nyonya Sustiwi (55
tahun) kepada Suwarsono, 2 Februari lalu, justru pada saat-saat
yang runcing: mulai disebut-sebut keterlibatan Wakil Gubernur
DIY, Paku Alam VIII, dalam perkara yang menyangkut manipulasi
hampir 300 juta tersebut.
Hakim Supraptini, katanya, baru mengetahui penggantian jaksa 11
Februari lalu. Yaitu ketika Jaksa Sustiwi, dengan alasan cuti,
"pamitan" sekaligus menerima perkenalan Jaksa Suwarsono sebagai
penggantinya. Pada sidang 18 Februari Ketua Majelis Hakim ini
berkata: "Secara formal memang saya menerima surat dan
pemberitahuan penggantian itu. Tapi apakah Jaksa Sustiwi dipaksa
atau tidak secara hukum, saya tidak tahu." Sebab ketika itu Muh.
Assegaf dari Kantor Adnan Buyung Nasution, pembela Terdakwa
Soerjono Tirtodiprodjo (bekas Dirut BPD DIY), mempersoalkan
penggantian jaksa tersebut.
Sidang berikutnya 25 Februari, Adnan Buyung Nasution sendiri
dengan keras mempertanyakan: "Apakah benar penggantian jaksa itu
karena paksaan kejaksaan -- sehingga Nyonya Sustiwi
menandatangani permohonan cuti besar?" Sebab Harian Kompas
sebelumnya memberitakan permohonan cuti ditandatangani di ruang
kerja Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi Yogya, 2 Februari, bukan
atas kehendak Nyonya Sustiwi senliri. Nyonya Sustiwi, demikian
suratkabar tadi, tidak pernah membuat surat permohonan atau
merencanakan cuti pada saat harus menyelesaikan kasus RPD. Juga
tidak ada hubungannya dengan pensiunnya Agustus mendatang.
Itulah sebabnya Buyung Nasution mendesak pengadilan: "Demi
tegaknya keadilan, Nyonya Sustiwi harus menjelaskan di tengah
persidangan ini, apa alasannya mohon cuti tatkala sedang
mengurus perkara besar ini. Saya tidak melihat alasan yang masuk
akal -- saya tak melihat dia tidak jujur . . ." Hakim Supraptini
mempersilakan Jaksa Suwarsono menjawab. Dan jawabnya tetap
seperti ini: "Ia diganti karena cuti besar untuk persiapan
pensiun."
Hadirin sidang gemuruh menertawakan pernyataan jaksa. Sebab
ketika Jaksa Suwarsono berkata demikian tiba-tiba Jaksa Sustiwi
yang digantikannya muncul di ruang sidang. Jaksa wanita yang
menjelang pensiun ini, setelah aktif selama 34 tahun, dengan
pakaian preman dan rambut disanggul rapi duduk tenang di
belakang di tengah penonton. Setelah menyaksikan sendiri, betapa
sidang memperdebatkan pengunduran dirinya dari perkara BPD. Sore
harinya Nyonya Sustiwi terbang ke Jakarta, tanpa meninggalkan
komentar.
Liem Hartono
Tinggallah Kepala Kejaksaan Tinggi DIY, Soepardi, berikhtiar
menjernihkan keadaan. Katanya: tak benar Jaksa Sustiwi dipaksa
menandatangani surat permohonan cuti. Bahkan, lanjutnya, tak
benar pula Nyonya Sustiwi pernah menyatakan dipaksa segala.
"Orang cuti kok dipersoalkan," ujar Soepardi, "kalau dasarnya
curiga, ya saya mau bilang apa?" (Belakangan, kepada TEMPO
Nyonya Sustiwi hati-hati menyatakan secara formal memang saya
yang mengajukan cuti -- tapi saya tidak akan mempersoalkan hal
itu.")
Jaksa yang berdiri di muka pengadilan. Menurut Soepardi,
bukanlah "otonom" seperti halnya hakim. "Kejaksaan merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang maju ke
pengadilan bukan oknum tapi kejaksaan sebagai instansi,"
katanya. Jadi boleh diganti jaksa siapa saja. Dan lagi
Suwarsono, pengganti Sustiwi, menurut Soepardi bukanlah orang
baru yang mungkin akan mengganggu jalannya peradilan karena
harus mempelajari perkara dari awal. Suwarsono sebelumnya memang
jaksa yang biasa mendampingi Sustiwi sejak pertama mengurus
kasus BPD.
Barangkali demikian. Hanya saja, dalam kasus yang melibatkan
tokoh Yogya yang selama ini dianggap "kebal" hukum, Liem Hartono
(sedang diadili secara terpisah) juga Moeljono Moeliadi (bekas
Sekwilda DIY), Jaksa Suwarsono diharapkan seperti jaksa yang
digantikannya yang berani bilang: akan menyelesaikan perkara
sampai tuntas -- siapa pun yang terlibat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini