Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HINGGA kini, inilah perkara kejahatan narkotik terbesar di sini: Lim Teng Pheow, warga negara Singapura, dituntut ke pengadilan karena tertangkap basah menjual, setidaknya menjadi perantara penjual 1.920 gram heroin. Itulah sebabnya Jaksa Anton Suyata, setelah memutarkan sebuah film dokumenter tentang penderitaan dan kematian seorang gadis (22 tahun) korban narkotik, menuntut agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempidana Teng Pheow dengan hukuman mati.
Bisnis Teng Pheow (47 tahun) di sini sebelumnya tidak begitu jelas. Ia tinggal di Mulberry Avenue 126 (Singapura), hanya mengaku sering ke Jakarta saja. Pernah, katanya kepada hakim, hanya mencari muatan untuk kapal seorang teman. Pernah juga, sekitar akhir 1978, datang bersama Seree Siripakorn, orang Thailand, menginap di Hotel City (Glodok) sebagai turis. Tapi karena tujuannya memang bukan untuk plesir, kedua orang turis itu tak pernah pesiar. Ternyata mereka menghubungi beberapa orang di sini untuk mencari pembeli heroin (mereka sebut pehun) yang akan diselundupkan ke mari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teng Pheow memperkenalkan Seree kepada Tjai So Yin, Li Ek Kia, dan Siauw Ming sebagai Mr Ang. Tapi, begitu diungkapkan kenalan baru Seree tersebut di kursi saksi, mereka menolak diajak kerja sama urusan pehun. Alasannya, katanya, bisnis barang semacam itu berbahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai akhirnya, pada kedatangan berikutnya 11 Mei 1979, Teng Phe berhubungan dengan seseorang yang apa dan siapanya terselubung. Jaksa hanya menyebutnya "orang putih" begitu saja. Mereka bertemu di kedai kopi Hotel Sari Pacific Jakarta. Teng Pheow membuka penawaran US$ 27.000 per 750 gram. Dan "orang putih" menawarnya 17.000 dollar. Harga belum cocok.
Pertemuan berikutnya dengan "orang putih" dihadiri oleh Seree sendiri--masih di kedai kopi Sari Pacific. Di situ Seree menawarkan pehun-nya dengan harga 30.000 dollar/kg. Belum ada kesepakatan karena "orang putih" hanya berani menawar 20.000 dollar. Di lobby Hotel Borobudur, dalam pertemuan selanjutnya, Seree menjanjikan akan menjual cuma setengah kg. Itupun ditolak calon pembelinya yang menginginkan jumlah lebih banyak.
Tawar-menawar selanjutnya tak begitu jelas. Yang pasti, setelah pulang ke Thailand dan muncul kembali di Jakarta 27 Mei, Sree dan Teng Pheow selalu melakukan kontak dengan "orang putih" yang menginap di Sari Pacific. Buntutnya, 1 Juni, mufakat tercapai juga agaknya. Di Sari Pacific, di kamar 841, transaksi terjadi: "Orang putih" memperlihatkan uangnya, katanya 27.000 dollar, dan Seree membuka tasnya yang berisi heroin. Ketika itulah, entah dari mana, polisi muncul menangkap basah jual-beli barang terlarang tersebut lengkap dengan barang buktinya.
Bersembunyi di Tanjung Priok
Begitu mendadak dan jitu? Sebuah cerita tidak resmi dapat diikuti demikian: Seree sebenarnya buronan Interpol yang sudah lama diincar karena kegiatannya mengantar-negarakan narkotik. Polisi Indonesia, menurut sumber TEMPO, tidak hanya memperoleh informasi tentang apa dan siapa Seree serta kontaknya di Jakarta. Tapi juga memperoleh seorang "agen rahasia", disebutkan dari Amerika, untuk membereskannya.
Segala sesuatunya diatur dengan baik. Dan jebakan agen asing itupun mengena. Siapakah agen itu? Menurut keterangan dia adalah si "orang putih" yang disebut jaksa sebagai pembeli yang dikontak Seree dan Teng Pheow di Sari Pacific. Itulah sebabnya jaksa tak mendudukkannya sebagai saksi apalagi terdakwa. Dan pembela pun, Subarkati SH, rupanya mengetahui gelagat tersebut sehingga tidak merasa perlu mengungkit-ungkitnya. "Menurut undang-undang anti narkotik," kata pembela, "orang itu memang tidak boleh diungkapkan kalau saya minta 'kan salah."
Hanya sayangnya, hasil jerih payah agen asing itu "dikurangi" nilainya oleh kelalaian dan kecerobohan petugas di Indonesia. Baru sebulan dalam tahanan, setelah berhasil "merumahsakitkan" dirinya, Seree kabur 9 Juli lalu. Mulanya tak jauh-jauh: hanya bersembunyi di Tanjung Priok, di rumah Tjai So Yin, yang sebelumnya memang sudah diincar sebagai salah seorang relasi Teng Pheow.
Bagaimana Seree kemudian bisa lolos ke luar negeri itu tidak jelas. Hanya, menurut keterangan, Interpol memang sudah mencium usaha kawanan penyelundup narkotik di Muangthai mengumpulkan dana, konon 100.000 Bath, untuk membebaskan Seree. Juga kepergian adik perempuan Seree ke Singapura untuk menjemput kakaknya diketahui pula. Tapi apa yang bisa dilakukan lagi setelah Seree, sekitar 27 Juli, tampak bebas di negerinya dan sudah pula mulai mengumpulkan pehun lagi?
Selalu Menunduk
Tinggallah Teng Pheow sendiri yang dibawa jaksa ke pengadilan. Jaksa Suyata menghitung-hitung kesalahannya. Heroin, menurut jaksa, adalah jenis narkotik yang paling berbahaya. Di pasaran gelap, seperti di Tanahtinggi, Tanahabang atau di Jalan Sabang (semuanya di Jakarta), barang terlarang tersebut dijual dalam amplop. Setiap amplop, berisi 4 mg (dicampur dengan berbagai serbuk lain seperti tepung gula, tapioka atau bahkan sabun diterjen)--harganya Rp 3 ribu. Dari 1.920 gram--jika itu jatuh ke tangan pedagang narkotik yang sebenarnya di sini, akan diedarkan menjadi 480 ribu amplop kepada pecandu yang entah berapa pula jumlahnya. Harganya pun dihitung oleh jaksa Rp 1.440 juta!
Untuk semuanya itulah jaksa minta agar majelis hakim yang dipimpin H.M. Soemadiono menghukum Teng Pheow dengan pidana mati. Yaitu hukuman terberat yang diancamkan undang-undang narkotik (UU No. 9/1976). Teng Pheow yang selalu menunduk sejak pemutaran film derita seorang pecandu narkotik, hanya mengangguk pelan ketika hakim memintanya membela diri minggu depan ini.
Sebelumnya, perkara narkotik yang juga besar menyangkut 18 kg candu dan 1 kg heroin yang diselundupkan ke Indonesia dari Thailand melalui Singapura. Penyelundupnya, Tya Ah Moi, dua tahun lalu dijatuhi hukuman penjara 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Seree Lari, Teng Diancam Mati"