Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pakar ITB Sebut Kualitas Pertamax Sudah Diuji di Lemigas dan Lembaganya, Masyarakat Tak Perlu Khawatir?

Pakar ITB menyatakan kualitas Pertamax sudah diuji di lembaganya dan Lemigas, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.

3 Maret 2025 | 11.03 WIB

Pertamax. (Dok Pertamina)
Perbesar
Pertamax. (Dok Pertamina)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Kejaksaan Agung bahwa tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak Pertamina mengoplos Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92) membuat resah masyarakat pengguna bahan bakar non-subsidi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepekan terakhir jagad media sosial dan media mainstream diramaikan berita tentang Pertamax 'oplosan' ini. Pihak Pertamina menyatakan bahwa Pertamax yang dijual ke masyarakat sudah sesuai standar yang ditetapkan pemerintah dan sudah melalui uji kualitas lembaga di bawah Kementerian ESDM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

PT Pertamina Patra Niaga menyatakan yang terjadi pada Pertamax bukan pengoplosan tapi blending penambahan zat aditif untuk meningkatkan kualitas produk dan memberikan manfaat bagi kendaraan, bukan untuk mengubah nilai oktan.

Sementara Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar menyatakan pernyataan itu berbeda dengan temuan penyidik. Qohar mengatakan, penyidik menemukan adanya upaya pengoplosan research octane number (RON) untuk memproduksi BBM jenis Pertamax. Bahkan dalam penyidikan lebih lanjut, Kejagung mengklaim menemukan dugaan penggunaan bensin RON 88.

Menanggapi kegaduhan ini, pakar konversi energi Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir dan meragukan kualitas bahan bakar minyak (BBM) produksi Pertamina, terutama Pertamax.

"Pertamina selalu menguji kualitas BBM-nya, baik melalui Lemigas maupun ITB. Jadi, tak perlu khawatir. Pertamina selalu menjaga kualitas sesuai standar Ditjen Migas,” katanya kepada Antara, Minggu, 2 Maret 2025.

Pengujian yang dilakukan, katanya, salah satunya pada Pertamax melalui standar ASTM D6201 untuk mengetahui apakah deposit yang akan ditimbulkan BBM tersebut banyak atau sedikit, sehingga mampu mencegah kerak mesin.

Menurutnya pula, pengujian oleh ITB tidak dilakukan di kampus, tetapi di Laboratorium Surveyor Indonesia.

Di situ juga diatur kadar aditif yang harus dilarutkan, karena ada spesifikasi internasional yang membatasi jumlah kerak dalam mesin tidak boleh lebih dari 50 miligram per katup mesin.

Menurut dia, aditif yang ditambahkan ke dalam BBM tidak bisa mengubah angka research octane number (RON) dan volume BBM, sebab sifatnya hanya untuk memperbaiki BBM itu dan tidak mengubah massa jenis, RON, viscositas dari BBM, dan sebagainya

"Penambahan aditif justru untuk mencegah timbulnya kerak, korosi, dan asam di dalam mesin, sehingga performa mesin sangat baik. Aditif Pertatec yang ditambahkan itu fungsinya adalah sebagai deterjen,” kata Tri.

Deterjen tersebut, katanya pula, bukan sabun yang dimasukkan ke dalam bahan bakar, tetapi zat yang berfungsi menjaga kebersihan mesin yang dilewati bahan bakar.

Sedangkan fungsi kedua, adalah dispersan yaitu memecah kontaminan yang terbawa bahan bakar ke dalam mesin untuk mencegah proses korosi.

Ketiga, adalah fungsi demulsifier. Artinya mencegah terbentuknya emulsi, yaitu reaksi antara bahan bakar dengan air.

Fungsi lain, sebagai antioksidan agar bahan bakar itu tidak mudah teroksidasi dan berubah menjadi kontaminan di dalam bahan bakarnya.

"Sebab, zat hidrokarbon seperti BBM kalau teroksidasi akan berubah sifat menjadi asam. Hal itu bisa merusak mesin yang terbuat dari logam," katanya.

Oleh karena itu, menurut Tri, masyarakat termasuk pemakai Pertamax, tidak perlu khawatir.

Pengguna kendaraan yang terbiasa memakai Pertamax, tentu merasakan jika BBM yang digunakan ternyata RON 90. maka tarikan menjadi berat dan lebih boros akibat banyaknya kerak di dalam mesin.

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, blending dalam BBM adalah proses wajar.

Oleh karena itu, masyarakat diminta tidak meragukan kualitas BBM Pertamina, sebab BUMN migas tersebut tidak mungkin mencampur BBM dengan spek berbeda.

"Itu kan ada RON 90, 92, 95, 98. Yang bagus-bagus ini nggak mungkin dicampur, itu (harus sesuai) speknya kok. Jadi jangan khawatir,” " ujarnya.

Reaksi Masyarakat: dari Kecam Pertamina sampai Lapor LBH

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Center of Economic and Law Studies (Celios) membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang merasa menjadi korban Pertamax oplosan. Sejak dibuka pada 26 Februari lalu, posko pengaduan secara luring dan daring itu telah menerima sebanyak 506 laporan masyarakat.

“Per hari ini sudah 506, saya belum dapat informasi apakah ada yang datang langsung atau enggak, tapi yang masuk kebanyakan daring hari ini,” kata Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan saat dihubungi, pada Sabtu, 1 Maret 2025.

Laporan masyarakat itu akan menjadi rujukan bagi mereka untuk mendalami kasus dugaan pengoplosan BBM. Dugaan Pertamax oplosan itu terungkap ketika Kejaksaan Agung mendalami kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) periode 2018-2023.

Peneliti Celios, Muhammad Saleh, meminta agar pemerintah tidak sekadar menjadikan uang hasil korupsi dugaan tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023 sebagai pemasukan negara.

“Setiap kerugian akibat korupsi BBM harus dikembalikan kepada rakyat, bukan hanya menjadi pemasukan negara yang tidak berdampak langsung pada pemulihan masyarakat,” ujar Saleh dalam keterangan tertulis, pada Jumat, 28 Februari 2025.

Masyarakat pengguna media sosial pun menyerbu akun resmi Pertamina usai skandal tersebut dibongkar oleh Kejaksaan Agung, mulai Senin malam, 24 Februari 2025.

Melalui kolom komentar unggahan Instagram terbaru Pertamina, puluhan ribuan warganet mengungkapkan kekesalan dan kekecewaan mereka terhadap skandal BBM oplosan ini. Beberapa netizen mengatakan bahwa mereka membeli BBM jenis Pertamax karena merasa tidak berhak mengambil BBM jenis Pertalite, yang disubsidi pemerintah. Oleh karena itu, kabar dugaan pengoplosan Pertalite untuk diubah menjadi Pertamax membuat mereka kecewa.

Sultan Abdurrahman, Alfitria Nefi P, Raden Putri Alpadillah Ginanjar berkontribusi dalam penulisan artikel ini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus