GROSSE AKTE, yang dikenal sebagai surat perjanjian di depan notaris dengan judul "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan diakui berkekuatan sama dengan vonis hakim, ternyata bisa dimanfaatkan buat kejahatan. Contohnya, Janda Kwok A Lin hampir saja kehilangan rumah tinggalnya, yang diperintahkan pengadilan untuk dilelang, karena grosse akte utang dari mendiang suaminya. Untunglah, Mahkamah Agung, yang menerima laporan bahwa tanda tangan di akta itu palsu, buru-buru menunda eksekusi awal bulan ini, sehingga rumah Kwok A Lin di Jalan Bogor, Medan, selamat. Suami A Lin, Ah Tjai, sebenarnya sudah lama meninggal, yaitu sekitar Maret 1982. Sampai tiga tahun kemudian jandanya tenteram di rumah peninggalannya itu. Barulah, sekitar Mei tahun lalu, Leong Tjhun Seng, melalui Pengacara Kasmin Harahap, memperingatkan A Lin agar membayar utang suaminya Rp 44 juta. Rupanya, Tjhun Seng memegang grosse akte, tanda utang mendiang suami A Lin, dengan jaminan rumah tinggalnya. Dengan akta itu, berarti, Tjhun Seng bisa meminta lelang langsung rumah A Lin tanpa harus melalui gugatan perdata yang berbelit-belit. A Lin, yang merasa suaminya tidak pernah berutang semasa hidupnya, tentu saja mencurigai akta itu. Bersama pengacaranya, Kitab Sembiring, janda itu menemukan berbagai keganjilan pada akta yang dibuat di depan Notaris Nyonya E.T. Panggabean Sitanggang. Misalnya, akta itu bertanggal 11 November 1982, padahal suaminya meninggal delapan bulan sebelumnya. Selain itu, tempat tanggal lahir Ah Tjai dan nomor KTP-nya berbeda dengan yang tertera di dalam akta itu. Setelah A Lin menyelidiki lebih jauh, ternyata, KTP yang dimanfaatkan pada akta palsu itu adalah milik Liong Pai Ching, tetangganya yang sama-sama tinggal di Jalan Bogor. Rupanya, grosse akte itu dibuat Liong Pai Ching, yang mengatasnamakan Ah Tjai dengan Tjhun Seng sebagai orang yang berpiutang, di depan notaris. Berdasarkan itu, Juni 1985, A Lin melaporkan semua yang terlibat dalam pembuatan grosse akte palsu ke polisi. Tetapi, ketika perkara itu diusut polisi Tjhun Seng ternyata telah mengalihkan pula "hak"-nya atas rumah A Lin kepada Juli Kristanto, dengan akta Notaris Rd. Ibnu Anton, 20 Desember 1985. Berdasarkan bukti-bukti pemindahan hak itu kuasa Juli M. Abduh dan M. Yahya Siregar memohon lelang eksekusi ke Pengadilan Negeri Medan. Rupanya, tanpa memeriksa lebih jauh, Pengadilan Negeri Medan, Mei lalu, mengabulkan permohonan itu. Kitab Sembiring, kuasa A Lin, berniat membongkar kasus pemalsuan akta itu hingga tuntas. Pihak Polri sendiri, yang menerima laporan pemalsuan itu, dikabarkan kehilangan jejak karena dua tersangka utama Tjhun Seng dan Liong Pai Ching, tidak diketahui lagi alamatnya. "Saya ingin notarisnya diperiksa sampai tuntas," kata Kitab. Nyonya E.T. Panggabean, notaris yang membuat grosse akte palsu itu, membantah terlibat. "Saya berani membuat grosse akte itu karena saya lihat ada KTP dan surat-surat lainnya lengkap," katanya, tanpa ingin menjelaskan lebih lanjut soal itu. Ketua Pengadilan Negeri Medan, Hasan Shahab, mengaku mengabulkan permohonan lelang eksekusi atas rumah A Lin semata-mata melihat status hukum akta yang sama kekuatannya dengan putusan pengadilan. Sebab itu, Shahab bingung mendapat surat penundaan eksekusi dari Mahkamah Agung. "Sekarang saya belum menemukan perumusan tentang grosse akte yang mempunyai kekuatan pasti. Karena itu, saya mengumpulkan notaris agar formulasi surat perjanjian utang-piutang bisa diseragamkan dan ditegaskan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini