Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hainan Menggugat

Wali kota samarinda dan dpd ampi kal-tim, digugat hendy wongso. hendy menuduh mereka menduduki tanah miliknya seluas 350 m2. pengadilan tinggi memerintahkan pemda dan ampi membayar ganti rugi. (hk)

19 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROSES peradilan yang belum selesai hingga kini ini unik juga: Soal status dan kewarganegaraan lebih mewarnai sidang sengketa tanah Kantor Sekretariat DPD AMPI Samarinda di Kalimantan Timur. Perkara tanah seluas hampir 350 m2 itu, di Jalan Pang Batur, memang cukup menarik perhatian: Wali Kota Madya Samarinda dan DPD AMPI tingkat I Kalimantan Timur tampil di muka sidang digugat Hendy Wongso alias Ong Siau Hin. Hendy menuduh Wali Kota Madya Samarinda dan DPD AMPI menduduki tanah miliknya. Si bungsu dari lima bersaudara ini memang hanya meneruskan tuntutan ayahnya, Ong Kok Teng, yang meninggal dunia pertengahan 1981 di Samarinda. Semasa hidupnya, Ong tua mengaku sebagai pewaris tunggal Tjie Tek Bo, yang wafat di Hainan, Cina, tahun 1949. Berdasarkan selembar akta Notaris Laden Mering, yang dikeluarkan Oktober 1974, itulah keluarga Ong berani menggugat pemerintah. Menurut riwayat, tanah itu milik keluarga Tjie sejak 1919, dengan status eigendom (hak milik). Tanah itu ditempati, dimanfaatkan sebagai warung kopi, dan tempat sembahyang orang-orang Cina Hainan. Di tahun 1940-an, Tjie meninggalkan Indonesia, lantas rumah itu didiami keluarga Ong dan tetap dijadikan tempat pertemuan keluarga Hainan. Ketika status tanah-tanah eigendom berakhir, 1974, Direktorat Agraria menerbitkan keputusan yang mengubah status hak guna bangunan menjadi hak pakai atas tanah negara. Pemiliknya tetap keluarga Tjie. Sebelumnya, rumah itu sendiri sudah diambil alih pemerintah, sesudah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Gedung itu lantas menjadi kantor sekretariat dan mess APDN Samarinda. Kemudian menjadi kantor Golkar. Dan terakhir jadi kantor sekreariat AMPI, hingga sekarang, berdasarkan keputusan Maret 1984. Di tingkat awal, Ketua Majelis Pengadilan Negeri Samarinda, Soenoto, menolak gugatan Hendy. Alasannya, sejak berlakunya UU Agraria No. 5 1960, yang bisa punya hak guna bangunan hanyalah WNI. Sedangkan Tjie bukan WNI dan tak lagi tinggal di Indonesia -- jadi, dengan sendirinya, haknya hapus demi hukum. Ong sendiri juga WNA. Keputusan Agraria atas nama Tjie itu, menurut majelis, tidak benar: sebab bukan bukti hak atas tanah. Hendy lantas banding. Hakim tunggal di pengadilan tinggi, S.O. Nainggolan, mengabulkannya. Ia menilai, surat keputusan atas nama Tjie tetap sah, karena tak pernah dicabut. Dan Ong tua, kemudian Hendy, juga sah sebagai pewaris tanah Tjie itu. Karena itulah ia memerintahkan Pemda dan AMPI membayar ganti rugi sebesar Rp 10 juta secara tanggung renteng. Pertimbangan lain Nainggolan menarik juga: pemberian hak atas tanah itu kepada AMPI tidak bijaksana karena letaknya di pusat pertokoan, sehingga ada kemungkinan tanah yang harganya bisa mencapai Rp 400 juta itu, nantinya, dialihkan lagi kepada pihak lain. AMPI menilai, putusan itu banyak mengandung kekurangan hukum, dan banyak alasan yang dicari-cari. "Sebelumnya Nainggolan memberi jaminan, tapi kok tiba-tiba putusannya menyimpang," kata Ketua DPD AMPI Kal-Tim, H. Achmad Amins. Ia mencurigai ada apa-apa di balik putusan itu. "Tidak benar kami ada main dengan Pak Nainggolan. Kenal saja tidak. Itu omong kosong," bantah Roby Wongso, abang Hendy. Hingga kini, ada 14 gedung bekas milik suku Hainan di Samarinda, yang diambil alih, antara lain, untuk sekretariat Golkar, veteran Samarinda, dan pusat pertokoan Pinangga Babaris. Menurut sumber TEMPO di Deplu, dalam hubungan diplomatik, segala milik negara asing yang dibekukan tetap menjadi haknya. Kalau hubungan Indonesia-RRC, yang sudah membeku lebih dari 20 tahun itu kelak cair, konsekuensinya gedung-gedungnya akan kembali ke pemiliknya. Jadi, bagaimana nasib bekas gedung-gedung pertemuan suku Hainan di Samarinda dan perkumpulan Cina perantauan di daerah lain, tentu mudah ditebak. Erlina Agus, Laporan Rizal Effendi (Samarinda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus