Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pegiat HAM Sebut Lutfi Alfiandi Seharusnya Bebas

Haris Azhar menyayangkan putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat yang memvonis Lutfi Alfiandi bersalah. Ada 7 alasan Lutfi seharusnya bebas.

5 Februari 2020 | 05.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar menyayangkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan empat bulan pidana penjara kepada Dede Lutfi Alfiandi. Menurut dia, Lutfi yang merupakan salah satu demonstran dalam aksi 30 September 2019 diadili hanya karena menggunakan haknya menyampaikan aspirasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Selama proses persidangan, prinsip fair trial yang seharusnya dijalankan justru jauh dari Lutfi sebagai korban kriminalisasi," ujar Haris Azhar dalam keterangan tertulis, Selasa, 4 Februari 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haris menjelaskan, prinsip fair trial adalah peradilan yang harus memenuhi hak asasi manusia. Yaitu dengan menerapkan asas praduga tak bersalah, asas equality before the law, peradilan yang bebas dan tidak memihak, bebas dari penyiksaan, mendapat bantuan hukum yang memadai, serta jaminan perlindungan lain yang harus dipenuhi Lutfi dari tingkat penyidikan sampai putusan.

"Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi ruang untuk mencari keadilan justru memberikan legitimasi untuk mengkriminalisasi Lutfi secara ugal-ugalan," ujar Haris Azhar.

Menurut Haris, hakim dalam putusannya tidak melihat fakta-fakta persidangan secara objektif. Harusnya, menurut dia, hakim dapat memutus Lutfi bebas dari segala tuntutan. Salah satu fakta yang diabaikan hakim menurut Haris Azhar adalah tindakan kepolisian saat pemeriksaan yang menggunakan cara-cara keji.

Haris mengatakan lembaganya menemukan tujuh fakta dalam "peradilan sesat" terhadap Lutfi. Temuan itu menyeret hakim, jaksa, kepolisian bahkan kuasa hukum.

Pertama, penangkapan tidak sesuai KUHAP karena Lutfi dan kawannya diberhentikan secara tiba-tiba oleh polisi. Penangkapan dilakukan tanpa memberi tahu kesalahan atau dugaan tindak pidana yang dilakukan.

"Bahwa upaya paksa yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada Lutfi tidak didasarkan pada cara penangkapan yang diatur dalam Pasal 18 KUHAP, sehingga tindakan itu merupakan perbuatan abuse of power yang dilakukan oleh kepolisian," kata Haris Azhar.

Temuan kedua, selama penahanan di Kepolisian Resor Jakarta Barat yang berlangsung selama tiga hari, Lutfi mengalami berbagai penyiksaan yang dilakukan oleh polisi untuk mendapatkan keterangan sesuai dengan unsur tindak pidana yang akan didakwakan. Bentuk penyiksaan adalah pemukulan, disetrum listrik di bagian telinga, ditendang, dan kepala ditutupi dengan plastik.

"Keseluruhan tindakan penyiksaan tersebut dilakukan karena Lutfi menjawab tidak sesuai dengan keterangan yang diinginkan oleh polisi," kata Haris.

Ketiga, Lutfi tidak didampingi penasihat hukum saat diperiksa di Polres Jakarta Barat. Sehingga, menurut Lokataru, saat pemeriksaan terdapat tekanan berupa penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap Lutfi.

Keempat, secara tiba-tiba terdapat penasihat hukum tanpa adanya penunjukan dari Lutfi dan langsung menandatangani BAP tanpa seizin tersangka. Padahal, lanjut Haris, sejak awal Lutfi tidak mengakui isi BAP karena dibuat dalam keadaan tertekan. Tindakan tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 55 KUHAP yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa berhak memilih penasihat hukumnya.

Kelima, jaksa penuntut umum menghadirkan saksi yang tidak relevan. Terlihat dari keterangan Hendar Klana, Dani Dwi Susanto, dan Dimas S. dari Polres Jakarta Pusat. Selain itu saksi juga mengakui bahwa mereka tidak mengetahui atas kepentingan apa bersaksi. Saksi disebut Haris Azhar juga mengakui hanya melengkapi bukti supaya terdakwa dapat dibawa ke pengadilan.

Advokat dari Lembaga advokasi hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar, saat melaporkan Ketua Pengadilan Negeri Timika, Papua, Relly D. Behuku ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan kasus gratifikasi, 12 Februari 2018. Dewi Nurita/Tempo

"Hal ini menunjukkan bahwa pemidanaan terhadap terdakwa adalah pemidanaan yang dipaksakan untuk menutupi kegagalan aparat membuktikan bahwa terdakwa adalah massa aksi demonstrasi yang anarkistis melawan aparat keamanan," kata Haris Azhar.

Keenam, penasihat hukum tidak menghadirkan alat bukti baik saksi atau barang bukti untuk membela kepentingan hak terdakwa. Penasihat hukum tidak membuktikan bahwa terdakwa benar-benar mendapat penyiksaan saat proses penyidikan.

"Pledoi yang disampaikan oleh penasihat hukum tidak dipersiapkan secara serius untuk membela terdakwa, karena pledoi yang disampaikan oleh penasihat hukum tidak berkaitan dengan unsur perbuatan pidana yang dituduhkan," ujar Haris Azhar.

Terakhir, hakim dalam putusannya dianggap Lokataru tidak mempertimbangkan penyiksaan yang dialami Lutfi. Hakim tidak berusaha untuk memahami dan mempertimbangkan bahwa pemidanaan terhadap terdakwa adalah pemidanaan yang dipaksakan.

Di akhir sidang majelis hakim memvonis Lutfi Alfiandi bersalah. Hakim ketua, Bintang Al, menyebut Lutfi terbukti melanggar Pasal 218 KUHP karena berada di lokasi unjuk rasa pada 30 September 2019 dan tidak pergi setelah diperingatkan tiga kali oleh kepolisian. 

M YUSUF MANURUNG

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus