Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BESAR kemungkinan Indonesia harus melalui skenario buruk wabah Covid-19. Tambahan kasus baru setiap hari terus melonjak, mencapai rekor demi rekor, belum jelas di mana puncaknya. Krisis besar ini benar-benar belum pernah ada presedennya. Maka sungguh celaka jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah luar biasa untuk menanganinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden memang sudah berpesan: para pejabat negara harus memiliki kepekaan sosial, juga sense of crisis. Tapi jika perasaan sedang dalam situasi gawat itu cuma berarti para pejabat dilarang bepergian ke luar negeri, sebagaimana dimaksud Presiden, pesan tersebut sungguh jauh panggang dari api, terasa sebagai basa-basi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyataannya, pemerintah memang tetap beroperasi sebagaimana biasanya, seolah-olah tak ada sesuatu yang mendesak dan gawat. Perasaan bahwa wabah Covid benar-benar sedang merusak ekonomi ataupun kehidupan masyarakat jika tidak mendapat penanganan serius juga tak terlihat. Tengoklah apa yang terjadi di Senayan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat malah bersepakat menambah suntikan modal Rp 34 triliun bagi beberapa badan usaha milik negara, tahun ini. Pada 2022, nilai suntikan akan lebih dahsyat: Rp 72 triliun. Yang jadi alasan, antara lain, suntikan itu mendesak diberikan agar proyek-proyek mercusuar dapat diselesaikan.
Anggaran merupakan instrumen kebijakan pemerintah paling penting. Pilihan program dan kegiatan apa yang mendapat anggaran mencerminkan dengan benderang baik-buruk tabiat suatu pemerintahan. Misalnya, apakah pemerintah serius mengurus pandemi atau cuma berbasa-basi? Pertanyaan ini bisa terjawab dari alokasi anggaran dan program apa yang diprioritaskan ketika terjadi situasi genting seperti sekarang.
Ada satu hal lagi yang seharusnya memaksa pemerintah sadar bahwa penggunaan anggaran harus ekstra-hati-hati: utang. Tahun ini saja, lebih dari Rp 1.000 triliun anggaran negara berasal dari utang. Entah hingga berapa generasi kelak keturunan kita harus menanggung beban pokok utang dan bunganya. Mereka mungkin masih memaafkan generasi sekarang jika utang itu memang tak terelakkan demi menyelamatkan negara dari ganasnya Covid-19. Tapi apa jawaban generasi ini kelak jika utang itu ternyata hanya dipakai dengan sia-sia untuk menutupi berbagai kebijakan yang salah arah?
Itulah yang terjadi sekarang. Ketika wabah sedang mengamuk begitu dahsyat, rumah sakit tak sanggup menampung pasien, hingga obat-obatan yang paling esensial untuk menyambung nyawa lenyap di mana-mana, pemerintah malah meletakkan prioritas pada upaya meneruskan proyek jalan tol Sumatera, atau kereta cepat Jakarta-Bandung. Bank besar seperti PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk juga mendapat kucuran modal untuk mengembangkan usaha. Duit negara kembali digelontorkan untuk membangun sarana pariwisata di Mandalika, Nusa Tenggara Barat.
Pertanyaannya sederhana saja. Dalam situasi segawat ini, apakah semua itu tak bisa menunggu barang setahun-dua tahun hingga wabah reda? Negeri ini memang memerlukan infrastruktur. Tapi apakah harus sekarang? Apakah masuk akal membangun kawasan khusus pariwisata ketika negeri ini justru sedang terkucil karena tak mampu mengatasi wabah? Apakah sebuah bank sebesar BNI tak bisa menunda rencana bisnisnya? Apa, sih, pengembangan yang begitu urgen itu?
Pemerintah yang kini sepenuhnya mendapat sokongan partai-partai politik, nyaris tanpa oposisi, tentu tak mengalami kesulitan untuk meminta apa saja. Maka ketika pemerintah meminta uang rakyat puluhan triliun rupiah, yang sangat bisa dipersoalkan urgensinya, DPR hanya memberikan paduan suara setuju. Sedih betul, lagu “Surat buat Wakil Rakyat” ciptaan Iwan Fals yang terbit pada 1987 untuk mengolok-olok DPR sebagai tukang stempel rezim Orde Baru malah terasa makin relevan sekarang.
Dalam keadaan sesulit ini, tetap menggenjot proyek-proyek besar sungguh absurd. Toh, efek riil proyek-proyek mercusuar itu belum akan terasa pada ekonomi Indonesia dalam satu-dua tahun mendatang. Pemerintah mungkin merasa perlu berinvestasi untuk jangka panjang. Tapi, sekali lagi, ketika kegawatan wabah Covid-19 sedemikian mengancam daya hidup ekonomi negara ini, apakah tak sebaiknya pemerintah merunduk, memeriksa hati nurani, berhenti sejenak mengerem ambisi? Entahlah kalau nurani itu memang sudah tak ada lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo