Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DITOHOK tatapan mata pengunjung sidang, Ifa Sudewi bagai menjelma menjadi seorang agamawan, lalu penyair. Mula-mula perempuan berjubah hitam ini mengutip ayat-ayat Al-Quran dan Tat Twan Asi dalam kitab Weda yang mengajarkan kemanusiaan dan kebersamaan. Sesaat kemudian, Ifa membacakan sepenggal puisi karya Taufiq Ismail bertajuk Imbauan Perdamaian. "Dan, dihimpit kekerasan dan ancaman di berbagai negara. Betapa dalam makna kerinduan. Pada manusia yang luruh dalam keikhlasan. Dan bersedia berjabat tangan...," ujarnya penuh penghayatan.
Mendengar puisi yang dibacakan salah seorang anggota majelis hakim pada Rabu pekan lalu itu, terdakwa Imam Samudra tak bereaksi. Berkemeja koko putih lengan panjang dan berpeci, lelaki 33 tahun ini tetap duduk tenang mengikuti sidang yang digelar di Gedung Nari Graha oleh Pengadilan Denpasar. Sesekali terdakwa kasus bom Bali yang menewaskan sekitar 200 orang ini mengelus jenggotnya yang kian panjang.
Di mata majelis hakim, aksi pengeboman yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawan pada 12 Oktober tahun lalu itu bukan tindakan jihad dalam agama Islam. Ini justru bertentangan dengan agama, yang mengajarkan perdamaian. "Jihad fisabilillah telah ditafsirkan secara salah sesuai dengan selera sendiri," ujar Hakim Ifa Sudewi.
Ujungnya, palu pun diayunkan I Wayan Sugawa, ketua majelis hakim. Imam, yang dijerat dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Terorisme, divonis hukuman mati. Reaksi terdakwa? Orang Serang, Banten, ini langsung meneriakkan takbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbar...!"
Imam Samudra, yang memiliki tatapan mata tajam, dinyatakan bersalah melakukan serangkaian aksi kejahatan. Yang terpenting, si Mata Elang disebut majelis hakim sebagai aktor intelektual pengeboman Bali. ''Sebagai koordinator lapangan, Imam Samudra tak melakukan sendiri kejahatan teror. Dia berada di belakang layar," kata majelis hakim.
Menurut hakim, Imam mengatur perencanaan, pembagian tugas, dan pelaksanaannya. Tamatan madrasah aliyah negeri di Serang ini menyiapkan dana bersama teman-temannya seperti Abdul Rauf alias Sam, Junaedi alias Amin, Andi Hidayat alias Agus, serta Andri Oktavia. Disebutkan pula, kelompok Serang ini pernah melakukan perampokan toko emas Elita di Banten. Hasilnya, setelah diuangkan, antara lain diberikan kepada Amrozi, yang sudah divonis hukuman mati, buat membeli bahan kimia untuk pembuatan bom.
Selain itu, Imam dinilai terlibat dalam aksi bom empat gereja di Batam pada malam Natal 2000 lalu. Dalam aksi ini, ia merekrut orang dari Singapura seperti Ja'far bin Mistooki dan Hashim bin Abbas serta sejumlah orang dari Malaysia. Selain merusak gereja, peledakan ini menimbulkan korban manusia.
Segala aksi yang dilakukan Imam dinilai biadab dan tidak berperikemanusiaan. Tak ada alasan pemaaf ataupun alasan yang meringankan bagi terdakwa. Itu sebabnya M. Salim, juru bicara kejaksaan, menyatakan senang lantaran vonis majelis hakim sama dengan tuntutan jaksa. "Majelis hakim punya komitmen yang sama dengan jaksa untuk memerangi terorisme," katanya kepada TEMPO.
Bukan kepalang pula girangnya pengunjung sidang, yang kebanyakan berasal dari Australia. "Saya sangat senang. Meski negara kami tak mengenal hukuman mati, hukuman mati bagi Imam Samudra sangat adil," kata Ian Laczynski. Lelaki 42 tahun asal Melbourne ini adalah korban yang lolos dari maut ketika bom membakar Legian, Bali, tahun lalu. Di halaman Gedung Nari Graha, ia lalu mengibarkan bendera Australia yang berhiaskan foto para korban.
Hanya, menurut pengacara Imam, Qadhar Faisal Iskandar, majelis hakim sama sekali tidak secara adil menilai pembelaan terdakwa. Itu sebabnya Imam pun melakukan banding. Ia tidak menanggapi putusan itu dengan ayat-ayat Al-Quran atau puisi. "Imam Samudra (hanya) bilang tidak akan terima karena ini hukum toghut (setan)," kata Qadhar.
Jalil Hakim, Rofiqi Hasan, Alit Kertaraharja (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo