Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT internal Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi hukum, memanas pada Selasa, 27 Agustus 2024. Saat itu pimpinan Komisi meminta sikap akhir fraksi atas proses uji kepatutan dan kelayakan calon hakim yang diajukan Komisi Yudisial. Ada sembilan calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc hak asasi manusia. Sebagian fraksi menolak 12 kandidat tersebut. Yang bikin ramai, ada fraksi yang menyatakan pandangan berbeda. “Tapi tak banyak,” kata anggota Komisi bidang Hukum dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Nasir Djamil, pada Rabu, 4 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah kecil fraksi mengusulkan DPR meloloskan sebagian calon. Namun mereka kalah suara. Ketika pimpinan meminta semua fraksi menentukan sikap akhir terhadap para calon di hari yang sama, Fraksi PKS, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai NasDem, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan kompak menolak semua calon hakim. “Sebenarnya ada dua calon yang bermasalah, tapi kami bersepakat menolak semuanya,” ucap Nasir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pengujung rapat, semua nama calon hakim itu akhirnya benar-benar disepakati ditolak. Sebelumnya, 12 calon hakim itu mengikuti seleksi yang diselenggarakan Komisi Yudisial sejak Januari 2024. Sesuai dengan Pasal 13a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial, KY berwenang menyeleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc. Seleksi ini bertujuan mengisi kursi hakim agung yang kosong, termasuk menggantikan Ketua Mahkamah Agung saat ini, Muhammad Syafruddin, yang pensiun pada Oktober mendatang.
Pada 28 Februari 2024, ada 20 calon hakim ad hoc dan 133 calon hakim agung yang dinyatakan lolos seleksi administratif. KY kembali menyaring para calon lewat penilaian rekam jejak, kompetensi akademik, serta pemahaman mereka terhadap praktik yudisial. Seleksi kemudian menghasilkan 12 nama. Sembilan calon hakim agung direncanakan mengisi masing-masing tiga kursi di kamar pidana, kamar tata usaha negara khusus pajak, serta hakim agung kamar perdata, agama, dan tata usaha negara. Sementara itu, tiga lainnya rencananya diangkat menjadi hakim ad hoc HAM.
Para kandidat tersebut antara lain Abdul Azis, Annas Mustaqim, dan Aviantara yang diusulkan mengisi kursi hakim agung kamar pidana. Sebagai kandidat hakim ad hoc HAM, ada Agus Budianto, Bonifasius Nadya Arybowo, dan Mochammad Agus Salim. Calon pengisi tiga kursi di kamar perdata, agama, dan tata usaha negara adalah Ennid Hasanuddin, Muhayah, dan Mustamar. Sementara itu, kandidat hakim agung kamar tata usaha negara khusus pajak adalah Diana Malemita Ginting, Hari Sih Advianto, dan Tri Hidayat Wahyudi.
Komisi bidang Hukum mempersoalkan pencalonan Hari Sih Advianto dan Tri Hidayat Wahyudi menjadi hakim khusus pajak. Mereka dianggap tak memenuhi syarat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dalam aturan itu, calon hakim agung jalur karier harus memiliki pengalaman 20 tahun sebagai hakim, termasuk sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai hakim tinggi. Sementara itu, masa dinas Hari dan Tri sebagai hakim pajak masih 15 tahun.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, menilai Komisi Yudisial semestinya menerapkan Undang-Undang MA sejak awal seleksi. Ia mengklaim DPR tak ingin meloloskan kandidat yang melanggar prosedur. Dia menambahkan, urusan pengalaman tak bisa dianggap sepele karena dapat memantik protes masyarakat. Ia menyitir aksi demonstrasi besar-besaran seputar polemik putusan batas usia calon kepala daerah pada akhir Agustus 2024. “Karena syarat usia saja bisa demo, tapi ini kok jadi permisif?” katanya.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Adies Kadir, menguatkan pendapat Hinca. Namun, dalam rapat internal Komisi bidang Hukum yang mengagendakan keputusan menolak atau menerima calon hakim agung, Adies sempat meralat penilaian para koleganya lantaran syarat minimal tiga tahun sebagai hakim tinggi tak lagi berlaku selepas adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016. Tapi ia tetap mempersoalkan syarat pengalaman hakim selama 20 tahun.
Anggota Komisi III DPR RI Heru Widodo (kanan) dan Hinca Pandjaitan (tengah) berbincang dengan Calon Hakim Agung Diana Malemita Ginting usai penundaan uji kelayakan dan kepatutan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 22 Agustus 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Anggota Komisi bidang Hukum dari Fraksi Partai Demokrat lain, Benny Kabur Harman, juga menolak semua kandidat. Ia bahkan menyarankan KY mengulang proses seleksi. “Ada prosedur yang tak ditaati,” ucapnya.
Pimpinan Komisi Yudisial lantas ikut bereaksi. Mereka mengkaji argumen penolakan Komisi bidang Hukum, lalu mengirim surat kepada pimpinan DPR. Dalam surat tertanggal 4 September 2024, KY mengajukan sejumlah klarifikasi yang menyatakan seluruh rangkaian proses seleksi di KY sudah sesuai dengan ketentuan. “Keputusan melonggarkan syarat administrasi merupakan diskresi pejabat untuk mengisi kekosongan hukum dan melancarkan pemerintahan,” ujar juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata.
Mukti mendalilkan kewenangan itu dengan merujuk pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Menurut dia, syarat pengalaman 20 tahun bagi calon hakim agung pajak tak mungkin terpenuhi. Sebab, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan karier seorang hakim pajak baru dimulai ketika mereka sudah berusia minimal 45 tahun. Sementara itu, usia aturan ini baru 20 tahun. Dengan syarat itu, praktis tak ada hakim yang memenuhi syarat pengalaman selama 20 tahun. “Karena itulah kami menggunakan diskresi itu,” tutur Mukti.
Mukti beralasan diskresi di KY bukan hal baru dalam proses seleksi calon hakim agung. Kewenangan itu pernah digunakan ketika KY menyodorkan Brigadir Jenderal Sugeng Sutrisno sebagai calon hakim agung kamar militer. Sugeng adalah perwira di lingkungan Direktorat Hukum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat sejak 1991. Namun kariernya sebagai hakim baru dimulai saat menjabat Wakil Kepala Pengadilan Militer III-14 Denpasar pada 2011. Ketika namanya disetujui DPR pada 2019, pengalamannya sebagai hakim baru delapan tahun.
Juru Bicara Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, 4 April 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Anggota Komisi Yudisial, Binziad Kadafi, mengatakan jenjang karier hakim pajak memang berbeda dengan hakim karier di lingkungan peradilan umum yang dimulai dari usia minimal 25 tahun. Meski begitu, kedudukan mereka setara dalam sistem peradilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi pada peradilan umum. Ia menyitir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016. “MK juga memberi mandat adanya penyatuan atap pembinaan terhadap hakim pajak oleh MA,” katanya.
Kadafi menjelaskan, penolakan calon hakim agung tata usaha negara khusus pajak berdampak panjang terhadap penanganan tumpukan perkara. Sepanjang 2023, beban perkara di kamar tata usaha negara berjumlah 7.979. Sebanyak 88,65 persen di antaranya merupakan perkara pajak. Sementara itu, dari tujuh hakim kamar tata usaha negara, hanya satu yang memiliki spesialisasi bidang pajak. Dengan komposisi itu, tiap hakim mendapat tugas menyelesaikan 3.420 perkara setiap tahun. “Beban mereka paling tinggi dibanding hakim agung kamar lain,” ujarnya.
Komisi Yudisial juga menyesalkan sikap DPR yang menolak tiga calon hakim ad hoc HAM. Sebab, penolakan tersebut sudah terjadi dua kali dalam dua tahun terakhir. Penolakan itu membuat Mahkamah Agung tak bisa memproses permohonan kasasi atas putusan bebas pengadilan HAM berat pada 2022 yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar terhadap Mayor Infanteri (Purnawirawan) Isak Sattu dalam kasus Paniai di Papua. Berdasarkan ketentuan, permohonan kasasi harus diputus oleh lima hakim agung, yang tiga di antaranya hakim ad hoc.
Guna mengurai benang kusut penanganan perkara, KY meminta DPR memfasilitasi forum audiensi. Anggota Komisi Yudisial lain, Djoko Sasmito, menilai forum itu diperlukan untuk menyelesaikan perbedaan cara pandang. Ketika dimintai konfirmasi apakah penolakan itu dilatari keengganan KY mengakomodasi keterpilihan calon titipan DPR, Djoko mengaku tak tahu dan meminta pertanyaan tersebut diajukan kepada DPR. “Memang ada syarat dua rekomendasi bagi setiap calon. Itu semua sudah kami pertimbangkan,” tuturnya.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Liza Farihah, sangsi akan efektivitas pertemuan itu. Ia menduga keputusan DPR tak sebatas urusan komunikasi antarlembaga. Sebab, gagasan penolakan sudah muncul ketika DPR baru menggelar uji kepatutan dan kelayakan terhadap satu calon pada 27 Agustus 2024. DPR pernah berencana memfasilitasi forum klarifikasi kepada KY sehari setelahnya. Namun, belum terealisasi, rencana itu dibatalkan sepihak oleh DPR.
Penolakan calon hakim agung kerap menjadi isu di DPR setelah Mahkamah Konstitusi mengubah mekanisme uji kepatutan dan kelayakan lewat putusan Nomor 27/PUU-XI/2013. Putusan itu tak lagi memberi ruang kepada DPR untuk memilih satu dari beberapa kandidat. Kewenangan mereka terbatas menyetujui atau menolak nama calon yang disodorkan Komisi Yudisial. Sebelum ini, tercatat ada dua kali penolakan, yakni terhadap empat kandidat saat proses seleksi pada Mei 2019 dan tiga kandidat pada Februari 2014.
Juru Bicara Mahkamah Agung Hakim Agung Suharto di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, 12 Mei 2023. Tempo/Subekti
Dua orang yang ikut mengawal proses seleksi calon hakim agung meyakini Komisi bidang Hukum diduga menolak calon karena tiga kandidat hakim agung jagoan politikus Senayan tak lolos seleksi Komisi Yudisial. Dua di antaranya hakim yang meniti karier di lingkungan Mahkamah Agung. Satu orang lain adalah staf ahli di DPR. Mereka mendapat rekomendasi dari sejumlah anggota Dewan dan hakim agung. Hilangnya ketiga nama tersebut dari tangan panitia seleksi membuat anggota DPR marah. Penolakan itu juga dikaitkan dengan pergantian Ketua Mahkamah Agung pada Oktober mendatang. Ketiga nama yang diusung DPR itu disebut memiliki kedekatan dengan salah seorang kandidat Ketua MA.
Seorang politikus Senayan tak membantah kabar tersebut. Menurut dia, praktik itu lazim dilakukan anggota DPR. Dukungan terhadap calon hakim merupakan modal politik yang bisa mereka gunakan di masa depan jika beperkara. Tapi anggota Komisi bidang Hukum, Muhammad Nasir Djamil, membantah tuduhan tersebut. Dia mengungkapkan, isu transaksional di balik penolakan calon hakim agung tak pernah menjadi sikap DPR. “Jika memang ada buktinya, laporkan saja kepada Mahkamah Kehormatan Dewan, biar tidak menjadi fitnah,” ujarnya.
Sementara itu, juru bicara MA, Suharto, memilih irit bicara ketika diminta menanggapi ihwal penolakan calon hakim agung. “Silakan tanya KY dan DPR,” ucapnya. Tapi Suharto membenarkan kabar bahwa proses suksesi pimpinan di MA memunculkan sejumlah nama, termasuk dia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mohammad Khory Alfarizi dan Lani Diana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Adu Diskresi Calon Hakim Agung"