Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 30 dari 52 pelapor LaporTempo mengatakan laporan kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak ditangani dengan baik.
Komisioner Komnas Perempuan mengatakan sanksi administratif bukan penyelesaikan kasus kekerasan seksual.
Banyak kampus diduga menutupi kasus kekerasan seksual karena takut mempengaruhi akreditasi dan reputasi.
KASUS kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Dari banyak kasus yang dilaporkan kepada kampus, penyelesaiannya tak semua mengakomodasi kebutuhan para korban. Dalam data yang dihimpun melalui saluran aduan "LaporTempo", sejak 1 September hingga 18 November 2024, 30 dari 52 pelapor mengatakan laporan kekerasan seksual yang terjadi di kampus tidak ditangani dengan baik.
Misalnya peristiwa kekerasan seksual yang dialami oleh alumnus Universitas Islam Riau (UIR) berinisial W. Dia adalah korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan dekan kampusnya. W mengaku telah berupaya melaporkan apa yang dialaminya itu ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
W merasa Satgas PPKS UIR justru malah menambah beban kepada dirinya. “Saya memang ditanya-tanyai, Satgas melakukan investigasi. Tapi hasil dari investigasi itu sama sekali saya tidak tahu,” kata W kepada Tempo, Selasa, 19 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia merasa tidak puas karena sanksi yang dikeluarkan pihak kampus terhadap pelaku pelecehan seksual itu hanya mencabut jabatan dekan. “Sedangkan dia masih tetap mengajar, menjadi dosen di UIR. Terakhir saya lihat masih bisa jalan-jalan,” ujar W.
Selain melaporkan peristiwa yang dialaminya pada Februari 2024 itu ke Satgas PPKS, W juga telah melaporkan pelecehan itu ke polisi, namun Kepolisian Resor Kota Pekanbaru menghentikan penyelidikan dugaan kekerasan seksual itu.
Kecewa dengan penghentian penyelidikan kasusnya tanpa alasan yang jelas di kepolisian, perempuan itu mendatangi Bareskrim Polri untuk mengadukan Polresta Pekanbaru dan Kepolisian Daerah Riau. “Saya enggak mau menyerah,” kata W pada 19 November lalu.
Selain kasus W, kasus dugaan kekerasan seksual oleh Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno juga hingga kini masih ditangani kepolisian, meski telah dilaporkan sejak Januari 2024.
Kasus terbaru adalah dugaan pelecehan seksual yang dialami mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, oleh dosen pianonya. Pihak kampus hanya menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku.
Beberapa alumni UPH juga bercerita kepada Tempo pernah menjadi korban pelecehan seksual dari dosen musiknya sendiri. Namun pihak kampus tak mau melanjutkan kasus tersebut secara pidana.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021, perguruan tinggi wajib menangani kasus kekerasan seksual dengan mengedepankan kepentingan korban. Dalam aturan terbaru, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024, makin mempertegas bahwa perguruan tinggi (rektor dan satgas) harus memfasilitasi korban untuk membawa kasus ke ranah hukum.
Komisioner Komnas Perempuan Mariah Ulfah mengatakan tidak ada tawar-menawar dalam menangani kasus kekerasan seksual. Apalagi setelah berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Semua bentuk kekerasan seksual, baik fisik maupun verbal, masuk kategori tindak pidana.
“Kalau namanya saja sudah TPKS, tindak pidana kekerasan seksual, berarti harus diproses secara pidana,” ucap Ulfah kepada Tempo, Ahad, 24 November 2024.
Mahasiswa korban kekerasan seksual oleh dekan di Universitas Islam Riau mendatangi Bareskrim Polri, Jakarta, 19 November 2024. Istimewa
Dia berpandangan bahwa kampus yang masih menjatuhkan sanksi administratif dalam kasus kekerasan seksual dianggap belum tuntas dalam menangani kasus tersebut. Menurut dia, tingkat peraturan yang paling tinggi yang harus dipatuhi dan dijalankan adalah Undang-Undang TPKS.
Adanya revisi dari Permendikbud 30/2021 menjadi Permendikbud 55/2024, kata Ulfah, untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang TPKS. “Karena UU TPKS sudah berlaku, permendikbud itu sudah disesuaikan. Ketika kampus sudah mengeluarkan sanksi administratifnya, oke itu baik, tapi ingat dari sisi pidananya, yang namanya TPKS, ya berarti tindakan pidana kan? Itu harusnya dibawa juga ke ranah hukum pidana,” ucap Ulfah.
Dia juga menekankan bahwa hadirnya Undang-Undang TPKS bertujuan untuk memberi rasa aman dan keadilan bagi korban. “Paling penting juga, Undang-Undang TPKS itu untuk mencegah keberulangan. Karena itu, harus ada efek jera. Dan efek jera bisa dilakukan dengan memprosesnya ke ranah hukum.”
Hal paling fundamental yang juga menjadi penyebab penanganan kasus kekerasan seksual di kampus tak pernah memuaskan, kata Ulfah, adalah pola pikir rektor, dosen, dan seluruh warga kampus yang masih patriarki. Dengan demikian, ketika sudah banyak kampus yang membentuk satgas, fungsi satgas itu menjadi tidak maksimal.
“Tapi menurut saya yang paling penting juga pola pikir rektornya. Kalau rektor punya komitmen bagus, perspektif bagus seperti yang diharapkan UU TPKS, barangkali bisa terselesaikan,” katanya.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan selama ini banyak kampus yang sekadar membentuk Satgas PPKS tanpa tahu peran dan tugasnya apa. Hal itu juga menjadi salah satu sebab mengapa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi kerap menguap begitu saja atau tak pernah tuntas.
“Selama ini pemilihan anggota Satgas itu juga suka-sukanya kampus saja. Asalkan mereka laporan ke Kementerian bahwa sudah ada satgas, lalu ada tugas dari rektor, sudah begitu saja,” ucap Doni.
Selain itu, banyak Satgas PPKS di berbagai perguruan tinggi tidak mendapat pelatihan tentang cara menangani kasus kekerasan seksual. Sehingga, kata Doni, wajar ada banyak korban yang melapor ke Satgas justru mengalami reviktimisasi atau menjadi korban berulang.
Tak bisa dimungkiri, banyak kampus yang berupaya menutupi kasus kekerasan seksual karena takut mempengaruhi akreditasi dan reputasi kampusnya. “Karena itu akan menyangkut juga ke petingginya, lho. Rektornya juga yang kena,” kata Doni.
Dia menyarankan kepada korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan penanganan dari kampus untuk segera melaporkan apa yang dialaminya itu ke Kementerian Pendidikan Tinggi secara langsung. Apabila Kementerian juga tak memberi perlindungan kepada korban, sebaiknya memang perlu ada laporan yang sifatnya publik. “Saya rasa media juga bisa ikut membantu.”
Sementara itu, Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Agung Budi Santoso, mengatakan perguruan tinggi yang tidak menjalankan amanat Permendikbud 55/2024 patut dipertanyakan tanggung jawabnya. Kementerian Pendidikan Tinggi harus berani menindak kampus yang tidak memproses laporan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya.
Apabila terdapat kendala atau kampus tak memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk menangani laporan kekerasan seksual, dia menyarankan agar kampus dapat bermitra dengan unit pelaksana teknis daerah perlindungan perempuan dan anak setempat.
“Sehingga kebutuhan layanan yang diperlukan apa saja bisa dipenuhi, bukan hanya layanan hukum. Karena layanan hukum itu salah satu dari bentuk layanan yang memang ketika diperlukan oleh korban,” kata Agung.
Selain itu, ia berharap perspektif dan sistem yang dibangun oleh perguruan tinggi dapat terus lebih baik. Tanggung jawab kampus tidak hanya sebatas membentuk Satgas PPKS semata, tapi juga menjalankan peran serta fungsinya untuk memberi keamanan dan perlindungan bagi korban.
“Makanya kemarin kami dorong untuk mereka tidak hanya terbentuk, tapi juga berfungsi. Itu yang kami lihat. Sistem kan bukan hanya kelembagaan, tapi juga berfungsinya sampai nanti,” kata Agung.
Rendahnya laporan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang ditangani kepolisian, menurut Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), terjadi karena mayoritas anggota kepolisian memang belum paham bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual. Anggota Kompolnas, Choirul Anam, mengatakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih tergolong aturan baru. Dengan demikian, menurut dia, wajar bila masih banyak polisi yang belum memahami cara menangani kasus kekerasan seksual sesuai dengan pedoman UU TPKS. “Kami memberikan perhatian terhadap persoalan ini,” ucapnya kepada Tempo, Ahad, 24 November 2024.
Meski begitu, ia menyebutkan pasti ada polisi yang sudah bekerja cukup baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh UU TPKS. Choirul juga menambahkan, dengan dibentuknya Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak, yang masuk salah satu unit di Bareskrim Polri, menjadi pertanda bahwa kepolisian memiliki atensi terhadap perlindungan perempuan.
“Itu merupakan salah satu komitmen Pak Kapolri untuk memberikan perlindungan dan kerja-kerja sensitivitas terhadap perempuan dan anak,” tuturnya.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah mengatakan sumber daya manusia di kepolisian harus terus ditingkatkan soal penanaman perspektif tentang perlindungan korban kekerasan seksual. Sebab, menurut Ulfah, selama ini kepolisian dan masyarakat pada umumnya masih memandang bahwa akar persoalan kekerasan seksual ada pada perempuan.
Menurut Ulfah, kekerasan seksual terjadi karena adanya relasi kuasa dan perspektif yang menganggap perempuan bukan manusia yang setara—hanya obyek seksual semata. “Selama ini kan sudah mengakar begitu, kemudian distigma perempuannya yang salah atau dianggap bahwa ini tabu kalau dia omongin keluar atau ya semacam itulah. Ketika dilaporkan ke polisi, balik lagi kan si korban yang dikriminalkan,” kata Ulfah.
Karena itu, dia berharap ada semacam pembaruan dalam pola pikir dan cara pandang terhadap perempuan. Itu semua harus dimiliki oleh Satgas PPKS maupun aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian. “Jadi, perspektif patriarkis itu belum selesai. Karena memang ini kan sudah turun-temurun ya cara pandang menstigma korban itu. Jadi, ini yang saya kira bagian dari tantangan terberat dari penghentian kekerasan seksual di lembaga pendidikan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support