PARA pengetua adat hari itu berkumpul di kantor kepala desa Pangaribuan, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Mereka tengah menyidangkan sebuah perkara penting. Seorang lelaki yang duduk di depan mereka, Asman Marbun, dituduh melanggar adat: menzinai seorang anak di bawah umur, Dewi (bukan nama sebenarnya), 14, murid kelas VI SD di desa itu. Urusan berjalan lebih lancar daripada sidang pidana yang biasa terjadi di pengadilan. Asman mengakui perbuatannya dengan terus terang. Duda yang ditinggal mati istrinya itu mengaku telah tujuh bulan menggauli Dewi. Bahkan Asman mengaku bahwa anak yang lagi dikandung Dewi sebagai anaknya. Sebab itu, majelis hakim adat yang diketuai kepala desa, M. Manullang, bisa cepat mengambil keputusan. Hari itu juga vonis majelis jatuh: Asman, 26, dihukum ... membayar denda Rp 175 ribu dan uang sidang Rp 25 ribu. Sidang pidana adat belum lama itu diprakarsai Kepala Desa. "Sebagai orang Batak, saya tahu: separah apa pun persoalan, jika dirembukkan akan bisa diselesaikan," ujar Manullang. Vonis yang dijatuhkan majelisnya, menurut Manullang, adalah yang terbaik bagi Terhukum dan orangtua korban. "Jika perkara itu dibawa ke pengadilan, Asman akan dihukum. Ia dan keluarganya akan repot, padahal keluarga si gadis tetap saja mendapat malu," tambah Manullang, menguraikan pertimbangan vonisnya. Untuk mengadili perkara itu, Manullang mengundang pengetua adat dari kedua pihak yang beperkara--yang terdiri dari alur hula-hula (semarga dengan ibu), boru (orang yang mengambll Istri dari marga yang berperkara), dan dongan sabutuha (teman semarga). Gabungan ketiga unsur itu dalam adat Batak disebut lembaga Dalihan na Tolu. Selain itu, persidangan dihadiri pula oleh pengetua-pengetua adat dari desa tetangga. Hanya, berbeda dengan upacara adat Batak yang biasa, dalam sidang itu tidak ada pengetua adat yang memakai pakaian adat, ulos, atau mengucapkan horas. "Sebab, acara yang di lakukan itu mengadili kemesuman," kata seorang pengetua adat yang hadir di sidang itu, Deme Sarumpaet. Menurut Manullang, persidangan yang dipimpinnya itu disebut sebagai upacara ulaon jora-jora, yang berarti sebagai upacara permintaan maaf dan nasihat kepada orang lain agar tidak berbuat serupa. Sebab itu, kata Deme, dalam sidang itu Asman mengakui perbuatannya dan menghaturkan sembah. "Menurut adat, orang yang sudah mengakui kesalahannya pantang dibunuh." Jumlah denda yang harus dibayar pun, walau berat, tidak sampai harus mencelakakan terhukum. Hukuman akan menjadi lebih ringan bila terhukum mengakui perbuatannya. Dan semua vonis majelis adat yang selalu berupa denda, tutur Deme, disesuaikan dengan harta kekayaan atau kemampuan terhukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah vonis dijatuhkan terhadap Asman. Selain itu, Majelis juga membahas nasib janin yang berada di kandungan Dewi. Pengetua adat dari pihak si gadis, selain menolak mengawinkan anaknya dengan terhukum, juga meminta agar anak itu jadi milik keluarga Dewi. "Siapa pun yang menanam pisang di kebun kami, hasilnya adalah hak milik kami," kata Deme menirukan pengetua adat dari pihak si gadis. Ayah Dewi, Baru Sigalingging, menyatakan kepuasannya atas putusan para pengetua adat itu. "Keputusan itu telah mengembalikan martabat kami," ujar Baru. Ia merasa martabatnya kembali karena Asman bersembah mengaku salah dan membayar "utangnya", sesuatu yang tidak mungkin didapatnya melalui peradilan pidana biasa. Baru mengaku menolak Asman menjadi menantunya, walau anaknya Dewi meraung-raung meminta dikawinkan dengan lelaki itu. Ia malah memindahkan anaknya ke Pakanbaru, Riau, seminggu setelah putusan adat itu. "Ini soal masa depan anak saya yang masih muda. Ia ranking tertinggi di sekolahnya, dan mempunyai masa depan baik. Kalau ia kawin dengan Asman, saya khawatir nasibnya di kemudian hari," tutur Baru. Asman, yang sehari-harinya kuli kebun karet dan di kala senggang mengembangkan bakatnya sebagai pemain perkumpulan musik Rian Nauli, juga puas atas putusan adat itu. "Daripada dikurung polisi," ujar Asman. Walaupun untuk itu ia terpaksa menjual setumpak sawahnya. Perkara itu memang sudah selesai - tanpa ada naik banding atau kasasi. Tapi, sahkah putusan pidana adat itu? Apalagi akibat penyelesalan adat itu polisi, yang telah mengusut kasus itu, terpaksa melepaskan Asman, 8 Maret lalu, setelah sepekan lelaki itu menghuni tahanan. Polisi menganggap kasus itu sebagai delik aduan. "Kami mau bilang apa, kalau orang yang mengadu mencabut kembali pengaduannya," ujar kepala Polsek Barus, Lettu E. Siahaan. Humas Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Thamrin Bangsawan, mengatakan bisa memahami tindakan polisi itu, walau sebenarnya perkara itu bukan delik aduan - karena Dewi masih di bawah umur. Bahkan Thamrin mendukung tindakan polisi itu. "Di daerah itu adat masih kuat. Sebab itu polisi harus mempertimbangkan kondisi daerah setempat," ujar hakim tinggi itu. Tapi Hakim Agung Bismar Siregar, yang berasal dari Sumatera Utara, menilai putusan hakim adat itu tidak sah. Dalam kasus Asman dan Dewi, menurut Bismar, si pelaku harus dituntut hukuman pidana karena perbuatannya telah menyangkut ketertiban umum. "Seandainya pun orangtua si anak bersedia menikahkan anaknya, lelaki itu juga harus tetap dituntut. Hanya saja, hukumannya mungkin ringan, misalnya hukuman percobaan saja," tutur Bismar kepada Agus Basri dari TEMPO. Hakim agung itu membenarkan bahwa di provinsi kelahirannya itu masih banyak terjadi penyelesaian kasus pidana melalui peradilan adat, yang sebenarnya tidak diizinkan lagi oleh hukum nasional. Sebab itu, ketika menjabat ketua di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Bismar selalu memberikan penyuluhan kepada kepala-kepala desa dan kepala adat agar menyelesaikan semua sengketa dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Tapi, tidak untuk kasus pidana. "Kalau kasus perkosaan, misalnya, tidak sah bila diselesaikan menurut adat," kata Bismar. Habis, mau 'gimana lagi? Karni Ilyas Laporon Monaris Simangunsong (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini