Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Oe di kaki singgalang

Usman Effendi perintis seni lukis Indonesia meninggal dunia. Ia dikenal sebagai pelukis yang gigih mencari corak indonesia. Meski ia sebagai pelukis realistis tetapi banyak menyuguhkan lukisan abstrak. (sr)

6 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN di pinggir sawah itu, di ujung kaki sebelah barat daya Gunung Singgalang, di Desa Koto Kaciak, Kenagarian Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam - 10C km dari Padang mirip gedung sekolah yang terbengkalai. Sanggar seni lukis ini dibangun hampir 10 tahun lamanya - dan belum sempat rampung ketika ditinggalkan pendirinya, Oesman Effendi. Pelukis yang pernah membuat perbincangan ramai di dunia seni lukis dengan pernyataannya bahwa "seni lukis Indonesia belum ada" itu, 28 Maret pekan lalu, meninggal di Jakarta, pada.usia 66 tahun. Setahun yang lalu, Oesman Effendi berangkat ke Jakarta mengantarkan istrinya yang terserang kelumpuhan - berobat. Oesman tak berani - waktu menitlpkan kunci sanggar itu kepada Ajra, 68 - kapan ia akan kembali. Tapi ia memang masih akan meneruskan cita-citanya, menjadikan gedung di pinggir sawah itu - sebuah bangunan 6 x 20 meter, bertingkat dua, separuhnya dari beton - tempat membina para pelukis Sumatera Barat. Buku-buku sudah disiapkannya bahkan seluruh dinding tingkat atas merupakan rak, agaknya disiapkan untuk menyimpan buku. Beberapa meja pajangan, yang tampak terlampau sedikit untuk ruangan sebesar itu - yang tidak disekat-sekat, mirip balai pertemuan - sudah dicicil dimasukkan. Dan semua itu tercipta atas biaya yang seluruhnya dari Oesman sendiri, yang ditempelkannya berdikit-dikit. Oesman--yang termasuk perintis bangunnya seni lukis di Indonesia, selain tergolong perintis pembuatan uang RI - memang tokoh yang penuh cita-cita. Dan sejak Kamis pekan lalu bangunan itu terasa semakin sepi. Ajra tak akan lagi menunggu tokoh itu, dan gedung yang dijaganya itu--yang lantai pertamanya masih dalam penyempurnaan - akan memasuki masa yang tak Jelas. Ajra tak akan mampu meneruskan cita-cita Oesman: ia, tentu saja, tak sepenuhnya paham apa sebenarnya pikiran-pikiran pelukis itu--bahkan ia menganggap Oesman, haji empat kali itu, aneh dalam menggunakan uang. Memang tak banyak yang bisa memahami pelukis itu. Kawan-kawan terdekatnya sekalipun. Oesman memiliki naluri yang kuat pada hal-hal prinsip, mungkin karena ia sangat jujur, termasuk tentang dirinya sendiri - kejujuran yang sangat terkenal, seperti juga hatinya yang baik, kesalehannya, dan kecenderungannya yang besar pada tasawuf. Memang, ia tak terhitung pandai mengorganisasikan pemikiran mengikuti naluri pada hal-hal prinsip itu, setidak-tidaknya tak pandai membahasakannya. Pada sekitar tahun 1970, diJakarta - tempat ia tinggal sejak 1937 - ia menggegerkan kalangan seni lukis kita dengan mengatakan bahwa seni lukis Indonesia belum ada. Itu membuat ia diserang oleh hampir semua pelukis dan kritikus. Tak seorang pun ketika itu menafsirkan kata-kata Oesman sebagai "identitas seni lukis Indonesia", seperti yang dimaksudkannya. "Mereka tidak punya akar Indonesia," kata Oesman - waktu itu susah betul dipahami maknanya. Baru sepuluh tahun kemudian, hal yang dikatakan Oesman itu disimak ramai-ramai, walaupun tak lagi dengan "cap" OE - Oesman Effendi. Dan walaupun "akar Indonesia" yang diimpikan Oesman tak juga menjadi jelas formulasinya - karena identitas berarti penilaian, bukan resep - pikiran Oesman tentang identitas itu telah menggeser pemikiran yang cuma cenderung mengecam seni lukis Indonesia sebagai "kebarat-baratan" - sikap yang tidak terasa menyarankan jalan keluar. Oesman, sebaliknya, tak mengecam. Ia menjawab pernyataannya sendiri dengan pendapat. "Kebudayaan Indonesia ada di kampung-kampung, di desa-desa. Tapi desa sekarang sedang dalam proses kemusnahan," katanya. Bukankah, dengan begitu, ia merasa melihat sesuatu? Maka, ke desalah ia pergi. Di tengah keributan (memang keributan benar-benar) yang dibuahkannya, akibat pernyataannya di Jakarta, tahun 1973 ia pulang kampung, mencari cita-citanya di tepi sawah, di kaki Gunung Singgalang. Oesman Effendi memang senantiasa mencari, terguncang-guncang, dan jadinya berjarak dari tujuannya. Ia pemuja seni lukis modern yang gigih, tapi juga peneliti yang cermat terhadap ragam hias tradisional kita. Ia pembina yang sangat mendambakan sistem pesantren - yang dalam kesenian, mau tak mau, mengutamakan ketaatan para murid tapi juga pemegang prinsip kebebasan para pelukis muda yang dibinanya. Ia seorang pelukis corak realistis yang terampil, tapi kenyataannya ia lebih banyak melukis abstrak. Lukisan-lukisannya nyata mengekspresikan keterguncangan itu la mencoba mengenal ekspresl garis, tapl senantiasa kembali melukis struktur manusia. Ia mencoba mengenal komposisi bidang-bidang dalam lukisan, tapi seperti tak pernah bisa meninggalkan cerita. Lukisan Oesman, seperti juga seni lukis Indonesia - yang dikatakannya seolah tanda-tanda pencarian yang belum kunjung sampai ke muara. Dan kemudian ia pergi. Oesman Effendi. Jim Supangkat Laporan Fachrul Rasyid (Padang) & Eko Yuswanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus