INILAH perburuan korupsi terbesar yang pernah dilakukan Pemerintah. Selama 13 tahun, Pemerintah memburu deposito almarhum Direktur Keuangan Pertamina di zaman Ibnu Sutowo, Haji Thahir yang kini diperkirakan berjumlah Rp 153 milyar. Soalnya, Pemerintah menduga uang itu komisi dari kontraktor Pertamina, perusahaan Siemens, Ferosthal, dan Klockner. Begitu mencium harta karun itu, Pemerintah segera membentuk tim yang diketuai L.B. Moerdani dengan anggota antara lain, Letnan Kolonel (ketika itu) Teddy Rusdy, Soehadibroto (Kejaksaan Agung), Dicky Turner (Pertamina), dan Albert Hasibuan (pengacara). Tim yang sampai kini masih lengkap itu sejak saat itu sudah mencoba berbagai cara agar uang itu bisa dikembalikan ke negara, dari cara musyawarah sampai harus ke pengadilan. Untuk itu tentu saja telah dikorbankan tenaga, dana, dan waktu yang sangat besar. Ada yang menyebut Pemerintah sudah mengeluarkan uang US$ 4 juta dolar untuk perkara itu. Namun, hampir semua anggota tim membantah angka itu dan hanya menyebut angka US$ 1 sampai US$ 2 juta dolar. Yang pasti, setiap pengacara Indonesia, Michael Sherrad, terbang dari London ke Singapura, Pemerintah harus menyediakan uang saku untuknya sekitar US$ 100.000. Itu belum termasuk biaya untuk penerbangan, tiket, dan akomodasi kelas 1 baginya selama di Singapura. Itu baru untuk Sherrad. Belum untuk pengacara Indonesia di Singapura, Siva Selvadurai (dahulu) dan kini Wong Meng Meng. Selain itu, juga biaya tim Indonesia, yang hampir di setiap persidangan membawa juga wartawan-wartawan. Lalu apa yang dikejar Pemerintah dalam perburuan panjang yang melelahkan ini? Dari sisi uang, jumlah Rp 150 milyar relatif termasuk kecil untuk pemerintah RI. Padahal, risikonya tidak kecil. Kartika tak segan-segan mempermalukan pemerintah In- donesia di sidang pengadilan. Ia, misalnya, pernah menuding pejabat-pejabat Indonesia yang katanya menerima komisi seperti suaminya. "Dengan kasus ini hendak dibuktikan bahwa Pemerintah tak setengah-setengah mengejar korupsi," jawab anggota tim, Albert Hasibuan. Maka, kata Albert, Pemerintah tak hendak berdamai dengan Kartika kalau perdamaian itu berarti Pemerintah harus menyerahkan sebagian uang korupsi itu kepada Kartika. Bagaimana kemungkinan Pertamina memenangkan perkara itu? Itulah yang dipaparkan di bagian I Laporan Utama ini. Laporan itu dilengkapi pula dengan pendapat pakar-pakar hukum di sini termasuk mereka yang mungkin menjadi saksi di Pengadilan Tinggi Singapura (Bagian II). Lalu ada selingan cerita tentang siapa sebenarnya Kartika Thahir dan Haji Thahir. Apa pula kata Ibrahim Thahir tentang almarhum ayahnya itu (boks). Seandainya Pertamina kalah, perang juga belum selesai. Pihak keluarga Thahir telah pasang kuda-kuda melalui hukum waris Islam untuk menghadapi Kartika. Dalam hukum Islam seorang istri yang sah hanya mendapat 1/8 bagian dari warisan jika ada dua istri masing-masing hanya mendapat 1/16 bagian. Apa pun hasilnya nanti, kasus ini akan menjadi pertarungan panjang dan mahal antara ketiga pihak. Khusus bagi Pemerintah, perburuan mahal ini hanya bisa efektif kalau "komisioner- komisioner" yang masih hidup, atau masih aktif, juga benar- benar diburu dengan undang-undang korupsi. Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini