Festival wayang orang di Solo seperti mengawali bangkitnya kembali wayang orang amatir. Ada teknik-teknik baru dari layar sampai tata lampu. TAMAN Sriwedari di Solo ingar-bingar. Suasananya seperti pesta. Di taman itu, selama 10 hari (27 Juli - 5 Agustus), ada festival wayang orang, pementasan cerita wayang yang dimainkan oleh para penari. Ada 16 grup -- dari Solo, Yogya, Semarang, Jakarta, Malang, dan Surabaya -- mengikuti festival kedua yang diselenggarakan WOPA alias Wayang Orang Panggung Amatir. Festival kali ini diselenggarakan di taman hiburan rakyat yang juga dikenal dengan sebutan kebon rojo, yang didirikan Paku Buwono X, Raja Surakarta itu, seabad lampau. Setidaknya ada yang menarik dari festival ini, tentang perihal kriteria penilaian. Ada dua jenis pementasan yang dinilai, yaitu garap klasik dan garap pengembangan. Ternyata, kebanyakan -- 10 grup -- memilih tampil dengan garap pengembangan. Yang disebut garap klasik ialah gaya pementasan yang tetap mempertahankan pakem yang tradisional, sedangkan garap pengembangan adalah pementasan yang boleh dikatakan lebih kreatif dalam mengembangkan garap struktur cerita, tari, dialog, kostum, tata pentas, dan karawitan. Pada grup dengan garap klasik, misalnya, tampak dengan sangat hati-hati menjaga kerapian gerak dan tata pentas yang lazim, dengan penampilan tari yang lebih cenderung mirip sebagai pantomim. Bahkan, dialognya pun sering tak terdengar oleh penonton di baris belakang karena mereka kurang menggarap vokal. Pada grup dengan garap pengembangan, tampak usaha lebih memikat penonton dengan penyajian yang tidak lazim. Dekor, misalnya, tidak lagi berupa kain bergambar istana atau hutan, melainkan kain berwarna hitam saja. Ketegangan dan klimaks dalam struktur cerita juga tampak sengaja digarap baik. Yang agak mencolok ialah tata lampu yang tidak lagi statis seperti dalam pementasan wayang orang yang lazim, tapi dipermainkan sedemikian rupa dengan maksud membantu adegan- adegan tertentu. Pencak silat, yang tidak pernah ada dalam pewayangan, diselipkan dalam adegan-adegan perang. Bahkan, adegan sanggama pun ditampilkan dengan berani. Tentu saja tidak secara terang-terangan seperti halnya adegan ranjang dalam film, melainkan secara simbolis ditampilkan bayang-bayang siluet dua insan, dengan permainan lampu di balik layar putih yang taram-temaram. Biaya festival ini jutaan. Namun, menurut Nyonya Willy Santoso, bendahara panitia, jumlah persisnya belum dihitung. "Tapi kayaknya kami kok rugi," ujar Ketua PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta) ini. Yang jelas, tiket seharga Rp 500 setiap malam selalu ludes. PMS berdiri di Solo pada 1932, sedangkan grup wayang orangnya sendiri baru dibentuk pada 1958. Grup yang tekun dan memang kuat dalam hal dana inilah yang akhirnya tampil sebagai juara umum dengan lakon Anoman Duta. Dengan garap klasik, PMS mendapat nilai tinggi untuk kekompakan, karawitan, tata busana, dialog, dan kerapian memelihara pakem. PMS (organisasi ini dahulunya bernama Chuan Min Kung Hui), yang kebanyakan anggotanya WNI keturunan Cina, dan sejak dahulu mendalami seni wayang orang sebagai sarana pembauran, juga menggondol beberapa piala. S. Witoyo, sutradara yang memainkan Rahwana, terpilih sebagai pemeran terbaik putra, sedang Darmasti yang menokohkan Dewi Trijoto tampil sebagai pemain terbaik putri. "PMS memang bagus, layak tampil sebagai juara," kata Bambang Murtijoso, pengajar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo yang juga salah seorang anggota juri itu. Pemenang untuk jajaran garap klasik lainnya ialah Sasono Langen Budoyo Surabaya (juara II), Grup Wayang Orang Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (juara III). Sedang untuk jajaran garap pengembangan: Gabungan Seniman Surakarta (juara I), Metta Budaya Solo (juara II), Grup Wayang Orang Uni- versitas Gadjah Mada Yogya (juara III). Ada yang mengatakan, festival wayang orang amatir ini merupakan "tanda-tanda zaman" bangkitnya grup wayang orang amatir, dan lesunya kelompok wayang orang profesional. Bambang Murtiyoso setuju. "Yang amatir lebih kreatif dan bersemangat," katanya. Menurut Bambang lagi, mereka terbuka menerima gagasan-gagasan baru dari berbagai pihak termasuk dengan perguruan tinggi seni. Barangkali Bambang hanya melihat kelesuan grup wayang orang Sriwedari, grup profesional, dalam arti selalu naik pentas setiap malam. Ia mungkin belum melihat grup profesional yang lain. Pendapat Bambang Murtiyoso yang juga dalang wayang kulit itu dibantah Benny Mudjijanto. "Sepanjang sejarahnya sejak berdiri pada tanggal 5 Juli 1972, wayang orang Bharata tidak pernah surut," kata Benny, pemimpin grup wayang orang Bharata Jakarta. Sejarah wayang orang itu sendiri memang sudah teramat panjang. Dalam disertasi Dr. Sudarsono, Wayang Wong in the Kraton Yogyakarta (1983) disebutkan bahwa seni pentas ini lahir di tengah konflik di Kerajaan Mataram menjelang lahirnya Per- janjian Giyanti (1755) yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, Yogyakarta dan Surakarta. Namun, pementasan pertamanya diadakan di Keraton Yogyakarta pada 1758 dengan lakon Gondo Wardoyo, yang dimainkan oleh para prajurit keraton. Ceritanya, secara simbolis, menggambarkan konflik antara Hamengku Buwono I (Yogyakarta) dan Paku Buwono I (Surakarta). Budiman S. Hartoyo, Leila S. Chudori, Kastoyo Ramelan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini