Kasus simpanan Kartika-Thahir senilai Rp 153 milyar, yang sudah dibalut sengketa 14 tahun, kini memasuki babak penting. Mungkinkah Pertamina meraih kembali uang itu? SENGKETA rekening Haji Achmad Thahir di Bank Sumitomo, Singapura, minggu-minggu ini memasuki babak menentukan. Hakim Pengadilan Tinggi Singapura, Lai Kew Chai, akan membedah habis kasus uang simpanan sebesar US$ 35 juta -- kini berikut bunga berjumlah US$ 78 juta atau sekitar Rp 153 milyar) -- bekas pejabat Pertamina itu. Pada persidangan maraton yang dijadwalkan sampai Oktober depan ini, pemerintah Indonesia (Pertamina) akan diberi kesempatan membuktikan dalilnya bahwa simpanan bersama almarhum dan istri keempatnya, Kartika, itu merupakan hasil korupsi almarhum. Sebaliknya, Kartika, ibu dua anak, yang asli Ngan- juk, Jawa Timur, dan sekarang dikabarkan tinggal di Swiss, juga berkesempatan membuktikan komisi semacam yang diterima Haji Thahir itu sesuatu yang lumrah di Indonesia. "Tampaknya, kedua pihak akan menggunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan ini," kata sebuah sumber TEMPO di Singapura. Sejak pekan lalu, tim Indonesia yang diketuai L.B. Moerdani, sudah memasukkan beratus-ratus dokumen ke Pengadilan Tinggi Singapura untuk membuktikan bahwa simpanan Haji Thahir itu adalah hasil komisi dari tiga perusahaan kontraktor Pertamina Jerman Siemens, Klockner, dan Ferrosthal. Tak hanya itu, Pertamina juga sudah menyiapkan saksi-saksi penting, termasuk bekas pejabat Pertamina, Nur Usman, untuk membuktikan bahwa uang simpanan itu benar-benar uang haram. Di pihak lain, Kartika, kini 57 tahun, yang pernah menyebut 17 nama pejabat dan tokoh Indonesia juga menerima korupsi serupa, kini dikabarkan juga menyiapkan jurus-jurus rahasia. Bahkan, surat-surat pribadi ketua tim, L.B. Moerdani, kepadanya (dalam rangka membujuk Kartika mengembalikan uang itu kepada negara), kabarnya, juga disiapkan Kartika untuk memukul balik pihak Indonesia. "Di situlah tidak etisnya Kartika. Masa surat- surat pribadi orang akan ia buka di pengadilan," kata anggota tim, Dicky Turner, ketika kemungkinan ini dikonfirmasikan TEMPO kepadanya. Heboh kasus kontroversial dan menyangkut prestise pemerintah Indonesia muncul hanya empat hari setelah Haji Thahir, bekas Asisten Umum Direktur Utama Pertamina (di masa Ibnu Sutowo) itu meninggal, 23 Juli 1976. Ketika itu, Kartika yang terbang langsung dari Swiss ke Singapura hendak mengambil simpanan bersamanya dengan almarhum yang ketika itu bernilai US$ 35 juta. Sebelumnya, pada 25 Juli 1976, ia sudah berhasil menarik simpanan serupa, bernilai US$ 45 juta, di cabang The Chase Manhattan Bank of New York dan The Hongkong & Shanghai Banking Corporation of Hongkong. Permintaannya itu ditolak manajer Bank Sumitomo Singapura, Akira Fujimene, kendati rekening itu tercatat sebagai rekening bersama Kartika (andlor) dengan Thahir. Sebab, sebelum Kartika datang, lima anak almarhum Thahir dari istri pertama sudah lebih dahulu meminta uang itu diblokir. "Kami tak sempat memblokir uang yang di bank lainnya itu karena kami tak tahu ada simpanan Bapak di situ," kata putra almarhum dari istri pertama, Ibrahim Thahir. Tentu tak hanya itu alasan Akira Fujimene. Sejak November 1987, ia sudah pensiun dari bank ini, memblokir rekening bersama Kartika-Thahir. Menurut sebuah sumber yang terlibat langsung kasus itu, pihak Bank Sumitomo rupanya sampai saat itu tak bisa memastikan apakah simpanan itu sah sebagai joint account Haji Thahir bersama Kartika, atau hanya milik almarhum pribadi. Sebab, sampai meninggalnya Haji Thahir tak pernah membalas surat Sumitomo yang meminta rekonfirmasi tentang kebenaran perubahan status rekening Haji Thahir yang semula milik sendiri menjadi milik bersama. Dalam pernyataan resmi (affidavit), yang disampaikan Akira ke pengadilan, dijelaskan pada 6 November 1975 -- lebih dari setahun setelah Thahir membuka rekening di bank itu -- Thahir meminta Bank Sumitomo mentransfer semua rekeningnya di situ ke dalam rekening bersama (and/or) Thahir-Kartika. Pada 11 November 1975, Sumitomo meminta rekonfirmasi tentang pentransferan itu. Tapi, demikian affidait Akira, sampai Thahir meninggal pada 23 Juli 1976, almarhum tak kunjung menjawab rekonfirmasi Bank Sumitomo tersebut. Sebab itu, usaha Kartika di Bank Sumitomo, pada 27 Juli 1976 itu antara pukul 12.00 siang dan 16.00 (waktu setempat) -- untuk menarik uang itu sia-sia. Ia malah bertengkar dengan Ibrahim Thahir yang juga muncul di bank itu sekitar pukul 14.00. Ibrahim waktu itu meminta pihak bank untuk tidak memberikan sepeserpun uang dari rekening itu kepada Kartika. Karena itu, pada 30 Juli 1976, Bank Sumitomo melimpahkan masalah rekening tersebut ke Pengadilan Tinggi Singapura. Sumitomo meminta pengadilan menentukan kepada siapa ia akan memberikan uang itu: kepada Kartika atau kepada anak-anak tirinya. Pertengkaran antara Kartika dan anak-anak tirinya -- belakangan tiga anak dari istri kedua almarhum ikut bergabung dengan Ibrahim bersaudara -- itu sempat mereda. Pada 13 Agustus 1976, kedua pihak sepakat membagi dua uang simpanan tersebut. Ternyata, tanpa setahu anak-anak tirinya itu, Kartika diam- diam mengklaim simpanan itu langsung ke kantor pusat Bank Sumitomo di Tokyo, Jepang. Bahkan, ia juga membawa perkara itu ke meja hijau di Negeri Sakura itu. Ia, serakahnya meminta agar semua uang itu diserahkan Sumitomo kepadanya. Di sinilah kelirunya Kartika. Pengadilan Tokyo terpaksa memanggil anak- anak almarhum melalui KBRI Tokyo. Akibatnya fatal. Perebutan harta karun itu tercium oleh pemerintah Indonesia. Diam-diam pemerintah memasang kuda-kuda untuk merebut uang yang diduga hasil komisi itu. Bahkan, belakangan Presiden mengeluarkan keputusan (Keppres 9/ 1977), membentuk tim dengan ketua Mayor Jenderal, ketika itu, L.B. Moerdani dan anggota Letnan Kolonel Teddy Rusdy, Dicky Turner (Pertamina), Soehadibroto (Kejaksaan Agung), dan Albert Hasibuan (pengacara). Tugas tim tegas harus mengembalikan uang itu ke negara. Sementara itu, Kartika yang gagal di Tokyo kembali mencari jalan damai dengan keluarga Thahir. Pada 21 April 1977, di Hotel Summit Singapura, Kartika dan anak-anak almarhum kembali berdamai. Tanpa mengetahui persiapan Pemerintah, mereka kembali sepakat membagi dua harta peninggalan tersebut. "Semua anak- anak Haji Thahir ikut menandatangani perdamaian itu karena Kartika tidak mau surat itu hanya ditandatangani ahli waris," kata pengacara keluarga Thahir, Rudy Lontoh. Perdamaian itu, pada 2 Mei 1977, dirayakan kedua pihak. Paginya, menurut rencana, akta perdamaian itu akan disahkan di Pengadilan Tinggi Singapura. Tak dinyana, pagi dini hari itu, Atase Pertahanan Indonesia di Singapura, Emir Mangaweang, muncul dan meminta semua yang ada tak keluar hotel itu pada hari itu. Pembagian harta karun itu pun bubar. Putra-putra almarhum kembali ke Tanah Air. Kartika, yang sempat telanjur ke pengadilan, hari itu juga kabur ke Swiss, kabarnya dengan membawa surat perjanjian perdamaian tadi. Pada 6 Mei 1977, pemerintah Indonesia secara resmi menuntut agar pengadilan mengembalikan uang itu ke pemerintah Indonesia. Alasannya, menurut hasil penyidikan tim yang waktu itu diketuai Jaksa Agung Ali Said, Asisten I Hankam/Kopkamtib Mayor Jenderal L.B. Moerdani, dan Wasekab Ismail Saleh, uang simpanan itu berasal dari korupsi almarhum selama 1973-1974. Menurut tim pengusut kasus itu -- dipimpin L.B. Moerdani, uang tersebut merupakan komisi sebesar 5%, yang diterima almarhum dari beberapa perusahaan Jerman kontraktor Pertamina, seperti Siemens, Ferrosthal, dan Klockner, dalam proyek Krakatau Steel. Diduga komisi itu diberikan pihak kontraktor setelah nilai proyek tersebut dibengkakkan menjadi dua kali lipat atau sekitar US$ 2 milyar. Sebuah kontrak yang dibayar Pertamina kepada Siemens pada 9 Mei 1974, sebesar DM 57,37 juta, misalnya, menurut gugatan pihak Indonesia, pada bulan berikutnya telah masuk ke rekening Kartika-Thahir sebanyak DM 2.868.000 atau 5%. Begitu juga pembayaran Pertamina pada 16 Juli 1974, sebesar DM 31.899.000, dua bulan kemudian komisinya dibukukan di rekening pejabat itu sebesar DM 1.595.000. "Besar komisi itu tergantung skala proyek dan tingkat jabatan pejabat yang ikut menandatangani kontraknya," tutur bekas pejabat tadi. Di pengadilan, kendati perkara itu belum disidangkan secara resmi, Kartika sempat melancarkan serangan keras pertamanya. Lewat affidavit tertanggal 6 Maret 1980, ia menyatakan bahwa masalah komisi almarhum itu diketahui atasannya langsung Ibnu Sutowo. Dalih ini digunakannya tak lain untuk menangkis tuduhan korupsi, sekaligus meminta pengadilan membuka juga rekening Ibnu di Bank Sumitomo. Ibnu Sutowo membantah tuduhan itu. "Seandainya sewaktu menjabat dirut Pertamina saya tahu adanya deposito-deposito itu, pasti akan saya pecat Thahir dan mengklaim uang itu untuk Pertamina," kata Ibnu (TEMPO, 24 Mei 1980). Serangan Kartika semakin keras setelah perkara itu secara resmi disidangkan Pengadilan Tinggi Singapura, pada 11 Maret 1980. Melalui pembelaannya, yang diajukan pengacara Ross Monro Q.C., ia menyebut 17 nama pejabat penting dan pengusaha besar di Indonesia yang juga menerima komisi semacam itu. Beberapa dari nama yang disebut-sebut Kartika itu tak lain para pejabat -- baik yang masih aktif maupun non-aktif -- di Pertamina. Ibnu Sutowo, misalnya, sebagai orang pertama yang berdiri di belakang dan sangat dekat dengan almarhum, juga dituduhnya menerima komisi. Sebagian dari komisi ini, kata Kartika, antara lain ditempatkan dalam deposito Ibnu sebesar US$ 8 juta, nomor rekeningnya berurutan dengan rekening Thahir -- di Bank Sumitomo. Kartika juga membawa-bawa nama pengusaha besar Liem Sioe Liong dan Hasjim Ning. Lebih hebat lagi, ia pun menuduh Presiden Soeharto menerima komisi dari pembelian senjata untuk ABRI pada 1978, masing-masing 7% dan 5% dari Israel dan Jerman Barat. Nyonya Tien Soeharto, oleh Kartika, dituduh telah menerima hadiah dua cincin berlian seharga Rp 435 juta dari almarhum Thahir (TEMPO, 26 Juli 1980). Tudingan Kartika itu, yang sempat diramaikan media massa dalam dan luar negeri dan menggemparkan masyarakat Indonesia, dibantah keras oleh Pemerintah. Jaksa Agung Ali Said, ketika itu, seusai bertemu dan menanyakan sendiri kepada Presiden tegas menyatakan bahwa pernyataan itu sebagai fitnah dan penghinaan terhadap Kepala Negara. Di persidangan, tim pengacara Indonesia -- Michael Sherrad Q.C., Siva Selvadurai, dan Allbert Hasibuan -- juga memprotes pembelaan Kartika itu dan meminta hakim mengeluarkan dalil Kartika itu dari pokok perkara (strike out). Menurut tim pengacara Indonesia, pembelaan itu tak relevan, dan hanya isu skandal belaka. Tim pengacara Indonesia juga mematahkan dalih Kartika bahwa komisi itu lumrah saja di Indonesia. Tim Indonesia tegas berpendapat bahwa komisi itu melanggar undang-undang antikorupsi di Indonesia. Menurut tim Indonesia, komisi itu diperoleh almarhum dengan cara melawan hukum. Itu semua, kata tim, bisa terjadi karena almarhum memang berlimpah jabatan dan kekuasaan semasa menjabat di Pertamina. Ia juga sekaligus menjadi semacam asisten pribadi Ibnu Sutowo (lihat Seringgit Emas untuk Kartika). Selain itu, tim menyambung, almarhum yang hanya bergaji terakhir US$ 9.000 per tahun tak masuk akal bisa punya rekening di tiga bank tadi sampai berjumlah US$ 80 juta, hampir 9.000 kali gajinya. Sebetulnya, menurut sebuah sumber penting, semua jurus Kartika itu tak lebih dari upaya menekan (blackmail) pemerintah Indonesia agar bersedia berdamai. Pada pertengahan 1977, di Jenewa, Kartika pernah meminta separuh dari uang simpanan itu bila perkara diselesaikan di luar pengadilan. Pemerintah Indonesia menolak. Pada 4 Juli 1980, sebelum pembelaan Kartika disampaikan, ia masih juga mencoba diberi "uang damai". Toh Pemerintah, atas instruksi Presiden, tak mau mundur. "Pilihan kita hanya dua mengembalikan uang itu seluruhnya untuk negara atau hilang sama sekali," kata Albert Hasibuan. Namun, menurut sebuah sumber, Pemerintah merelakan Kartika menerima bunganya, waktu itu diperkirakan Rp 1,6 milyar. Kartika menolak. Maka, ia berang dan menyampaikan pembelaan keras tadi (TEMPO, 14 Februai 1981). Sejauh itu pula, kendati akhirnya proses perkara sampai berlarut-larut, pemerintah Indonesia selalu di atas angin. Hampir semua jurus Kartika bisa dipatahkan, termasuk dalil Kartika bahwa komisi itu halal. Menurut Kartika, yang selama perkara itu berjalan sudah berganti pengacara sampai lima kali, hukum Indonesia tak mengenal aturan komisi milik perusahaan, seperti halnya hukum Inggris. Ia juga tak lupa mencantumkan yurisprudensi kasus Lister & Co. lawan Stuts di Inggris, yang menyatakan bahwa komisi yang diterima seorang pegawai bukan hak majikannya. Atas dalil itu, pihak Indonesia menangkisnya dengan argumentasi bahwa yurisprudensi itu sudah terlalu lama (100 tahun). Lagi pula, di Australia baru-baru ini, yurisprudensi itu sudah dijungkirbalikkan lembaga peradilan. Dengan kata lain, paham yang dianut pengadilan kini adalah komisi tidak sah yang diterima pegawai adalah milik majikan. Mungkinkah tim Pertamina berhasil mengembalikan uang itu kepada negara? Tidak gampang. Persoalan pertama yang harus dihadapi Pertamina adalah membuktikan bahwa rekening Thahir itu memang berasal dari komisi kontraktor Pertamina. Satu-satunya bukti penting Pertamina adalah urutan-urutan masuknya uang ke rekening Thahir tadi, yang berbarengan dengan setiap pembayaran Pertamina kepada perusahaan-perusahaan asing itu. Hanya saja, kabarnya, Pertamina tak memiliki bukti transfer yang orisinil dan hanya fotokopi dari kontraktor itu ke rekening almarhum -- sebagian bukti-bukti yang dimasukkan Pertamina ke pengadilan, kabarnya, memang tak didukung bukti orisinil. Sementara itu, pengadilan tak menganggap fotokopi sebagai bukti. Di luar itu, Pertamina punya bukti petunjuk-petunjuk. Con- tohnya, perjanjian antara Kartika dan anak-anak Thahir di depan Notaris Dr. Peter F. Kuoler di Basel, Swiss, 29 Agustus 1977. Dalam perjanjian itu, mereka sepakat membagi dua simpanan Haji Thahir DM 15.000.000 di sebuah bank di Jerman, yang juga berasal dari komisi para kontraktor. Petunjuk lainnya adalah rekening Ibnu Sutowo. Kendati pernah membantah, Ibnu ternyata memang mempunyai rekening US$ 8 juta di Bank Sumitomo Singapura. Karena uang itu berasal dari komisi, kata seorang anggota tim Pertamina, atas permintaan Pemerintah, Ibnu mengembalikan uang itu kepada negara. Kecuali itu, belum pernah terdengar adanya pernyataan dari pihak kontraktor, entah membantah atau membenarkan soal komisi itu. Padahal, "Kalau saja nanti pihak Siemens dipanggil menjadi saksi, semua data transfer itu kan pasti ada catatannya," kata sebuah sumber di Jakarta. Memang, jika semakin tipis peluang Pertamina (pemerintah Indonesia), bisa saja Ibnu Sutowo sebagai orang yang dianggap banyak tahu kasus itu dimintakan kesaksiannya. "Kami akan memikirkan dulu untung-ruginya. Kecuali kalau pihak Kartika yang memintanya, dan dikabulkan hakim, kami tak keberatan," ujar Albert Hasibuan. Namun, menurut dugaan seorang bekas pejabat KBRI di Singapura, faktor semakin membaiknya hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dan Singapura sangat mendukung posisi pihak Indonesia. Apalagi, selama ini, Indonesia sudah terbukti tiga kali -- setelah upaya banding -- memenangkan babak pemanasan perkara itu. Sebab itulah, tak heran jika pihak Indonesia tetap optimistis akan memenangkan sengketa itu. Jalan damai sudah diharamkan pihak Indonesia. "Uang itu jelas-jelas milik negara. Jadi, harus dikembalikan kepada negara," kata Dirut Pertamina Faisal Abda'oe kepada Iwan Q. Himawan dari TEMPO. Karni Ilyas, Happy Sulistyadi, Seiichi Okawa (Tokyo), Ivan Haris, Nunik Iswardhani (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini