Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Seorang anak dianiaya ibunya hingga mengalami trauma.
Ibu yang menjadi pelaku kekerasan itu diduga depresi akibat menjadi korban KDRT.
Pelindungan terhadap perempuan dan anak harus menjadi fokus utama dalam penyelesaian kasus KDRT.
HALO Klinik Hukum Perempuan. Perkenalkan, saya Lula. Sebelum Lebaran lalu beredar di media sosial video seorang anak dengan tubuh penuh luka. Anak tersebut mengaku ketakutan karena dianiaya ibunya. Diduga, ibunya mengalami tekanan mental berat setelah ditinggal pergi oleh sang suami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Warga sudah berusaha menegur dan menasihati ibu anak itu. Namun yang terjadi justru pertengkaran. Bahkan perempuan itu memarahi warga yang dianggap mencampuri urusan keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Saya agak bingung menyikapi peristiwa ini. Di satu sisi ada anak yang tidak bersalah menjadi korban penganiayaan. Di sisi lain, ada seorang ibu yang mengalami gangguan psikis akibat permasalahan dalam keluarga. Dalam menyikapi persoalan ini, apakah lingkungan bisa mengambil peran untuk membantu keluarga itu? Paling tidak agar anak tidak terus-menerus menjadi korban penganiayaan oleh orang tuanya sendiri.
Jawaban Tutut Tarida, kolektif advokat untuk Keadilan Gender:
Halo Lula. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Pertanyaan Lula menunjukkan kepedulian terhadap kelompok rentan, yaitu perempuan dan anak. Situasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memang sering membingungkan. Bukan hanya bagi masyarakat di sekitar, tapi juga bagi keluarga yang berada dalam rumah tangga tersebut. Untuk itu, mari kita pahami bersama melalui kasus ini.
Pertama. Sekilas, jika menggunakan kacamata hukum pidana, tentu kita akan menyatakan bahwa telah terjadi KDRT berupa kekerasan fisik yang dilakukan oleh seorang ibu (pelaku) kepada anaknya (korban) yang mengakibatkan luka-luka. Bentuk pidana dalam peristiwa tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Pasal 44 UU PKDRTSetiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah. |
Tapi, sebelum kita memilih opsi pertama ini, sebaiknya kita pahami secara mendalam tentang apa yang terjadi pada ibu tersebut.
Kedua, dilansir dari berbagai sumber berita online, diberitakan bahwa ibu (pelaku) berada dalam kondisi depresi karena ditinggalkan oleh suaminya. Ibu itu juga kehilangan uang yang disiapkan untuk Lebaran. Persoalan yang datang secara beruntun itu membuat kondisi psikisnya tidak stabil. Dalam kondisi itulah dia melakukan KDRT dan yang menjadi korban adalah anaknya.
Sebelum menerapkan opsi pertama tersebut, sebaiknya kita mengingat dasar pembentukan UU PKDRT adalah untuk melindungi perempuan yang kerap menjadi korban KDRT.
Nah, ibu yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anak tersebut sebenarnya bisa dikategorikan juga sebagai korban KDRT. Ia ditinggalkan oleh suami sehingga terjadi penelantaran. Penelantaran ini merupakan salah satu bentuk KDRT. Jadi, ibu itu bisa saja melaporkan sang suami kepada polisi atas dugaan KDRT.
Pasal 9 UU PKDRT(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. |
Mencermati Pasal 9 ayat 1, kata “menelantarkan” itu mengacu pada seseorang yang secara hukum memiliki kewajiban untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan. Berdasarkan Pasal 34 ayat 1 UU Perkawinan, kewajiban itu ada pada suami/ayah.
Penelantaran rumah tangga sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 9 UU PKDRT hanya bisa dikenakan kepada seorang suami, bukan kepada istri. Kecuali jika antara suami dan istri terdapat suatu perjanjian yang menyatakan istri menanggung pembiayaan pemeliharaan terhadap suami dan anak-anaknya. Maka, ketika istri melalaikan kewajibannya, dia dapat dikenai pasal penelantaran keluarga.
Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Perempuan pada 2014, sering terjadi hambatan dalam mengimplementasikan UU PKDRT, khususnya tentang penelantaran. Sebab, terjadi perbedaan dalam memahami makna "penelantaran rumah tangga" secara hukum dan kehidupan sehari-hari. Perbedaan inilah yang menghambat aparat penegak hukum menindaklanjuti laporan penelantaran dari korban KDRT.
Lalu, bagaimana mencari penyelesaian terbaik jika terjadi kasus KDRT seperti di atas?
Berdasarkan opsi pertama adalah dilaporkan dan opsi kedua melaporkan. Penting untuk mengetahui hak masing-masing pihak dalam rumah tangga, khususnya dalam hal ini hak istri dan hak anak.
Dilansir dari berbagai sumber berita online, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Pendudukan, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) setempat telah menindaklanjuti kasus KDRT tersebut. Dinas juga sudah memberikan pendampingan psikologis kepada anak sebagai korban. Pendampingan ini penting untuk mengatasi trauma anak.
Selain itu, DP3APPKB memberikan edukasi kepada ibu agar tidak mengulangi tindakan kekerasan terhadap anak. Ibu itu juga diperiksa secara psikologis untuk mengatasi persoalan mental yang dipicu oleh tekanan dalam rumah tangga.
Dalam penyelesaian masalah, DP3APPKB menggunakan pendekatan humanis demi membangun kembali keberlanjutan relasi ibu dan anak. Upaya pemberdayaan kepada ibu juga menjadi fokus utama dengan memberikan bantuan usaha. Pemberdayaan ini penting untuk menyelesaikan masalah karena tindakan ibu kepada anak dipicu oleh tekanan ekonomi akibat adanya penelantaran.
Bagaimana peran lingkungan untuk mencegah kasus KDRT?
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
- Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
- Melindungi korban;
- Memberikan pertolongan darurat;
- Membantu proses pengajuan permohonan penetapan pelindungan.
Selanjutnya, dari setiap opsi penyelesaian yang dipilih, fokus utamanya adalah membuat korban berpikir jernih agar dapat memilih opsi yang terbaik untuk dirinya sendiri. ●