Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Perjalanan terakhir si pembunuh

Ted bundy dieksekusi di kursi listrik di florida, AS. selama 10 tahun ted mengaku membunuh lebih dari 23 wanita setelah terlebih dulu diperkosa. kasus mirip terjadi pada jack the ripper dan sutcliffe.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Perjalanan terakhir si pembunuh
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MENJELANG ajalnya di Negara Bagian Florida, melalui telepon Ted Bundy mengontak ibunya, Louise, di Washington. "Selamat tinggal, Ibu," ujarnya. Sang ibu, yang mengaku mendengar suara anaknya begitu damai, dengan tenang melepas kepergian putra tunggalnya itu. "Saya akan selalu mengenang engkau sebagai anak manis, Anakku sayang," katanya. Beberapa jam kemudian, Selasa pagi pukul 07.16 pekan lalu, pemuda ganteng bermata biru itu menjalani hukumannya di kursi listrik berkekuatan 2.000 volt. Satu menit kemudian eksekusi itu selesai. Ted, 42 tahun, tercatat sebagai orang kedua puluh yang menjalani hukuman mati di Florida atau yan ke-106 di AS, sejak Mahkamah Agung menghidupkan kembali hukuman mati di Amerika Serikat pada 1976. Di luar penjara, sekitar 200 orang berkaus dengan tulisan "Bakar Bundy, bakar" telah menunggu kematian Ted sejak pagi. Mereka bersorak kesenangan ketika kereta jenazah yang mengangkut mayat Ted dibawa keluar bui. "Bundy api neraka telah menunggumu," teriak mereka. Begitulah kemuakan penduduk Amerika kepada Ted, yang mengaku telah memperkosa dan membunuh puluhan wanita dalam kurun waktu 1969-1979. Di Pengadilan Florida, tempat Ted diadili, ia memang hanya dituduh, pada 1978, telah membinasakan tiga wanita -- dua di antaranya mahasiswi, Margaret Bowman, 21 tahun, dan Janet Lisa Levy, 20 tahun. Keduanya mati setelah dicekik dan dihajar Ted dengan sebuah gada selagi tidur. Selain kedua mahasiswi itu, Ted juga membantai seorang gadis kecil Kimberly Leach, 12 tahun, murid sekolah menengah pertama. Kimberly, korban termuda itu Februari 1978 diculik Ted ketika bermain di halaman sekolahnya. Dua bulan kemudian mayat anak malang itu ditemukan dengan luka bekas cekikan, di bekas kandang babi. Akibat ketiga kejahatan itu, Ted pada 1980 dijatuhi hukuman mati. Pengacara Ted, James Coleman, bertahun-tahun memohon agar Mahkamah Agung membatalkan vonis ini. Tapi 23 Januari lalu, Mahkamah menolak. "Ia kelewat masyhur sebagai pembunuh berantai. Jadi, tiada maaf baginya," kata jaksa penuntut, Jerry Blair. Mungkin untuk memperingan perasaan berdosanya, Ted menjelang hari kematiannya pekan lalu membuat pengakuan mengejutkan. Ia mengaku telah membantai sedikitnya 23 orang wanita muda -- sebagian besar mahasiswa, lainnnya juru rawat atau pekerja bengkel. Untuk itu, ia meminta sipir penjara membawakan peta. Lalu dengan wajah kusut dan suara letih, Ted, yang kehilangan 10 kilogram berat badan selama di penjara, menunjukkan sebuah lokasi tempat ia menyembunyikan salah seorang korban yang dihabisinya 14 tahun berselang. Lalu ia juga menunjuk daerah di Colorado dan Utah, tempat dua korban lainnya disimpannya. Di Utah, Ted masih bisa menunjuk dengan tepat lokasi tempat ia menyimpan mayat mahasiswi yang digarapnya Juni 1975. "Di sini, di jalan jelek arah selatan Sunga Hijau," katanya. Di sebuah air terjun di salah satu gunung di Washington, ia mengaku sedikitnya telah melempar empat tubuh wanita malang yang menjadi korbannya. Ia juga berusaha untuk mengingat-ingat lagi di mana korban-korban lain di-"kubur"-nya. Bahkan 45 menit sebelum maut menjemputnya, Ted, yang biasanya congkak dan suka menantang polisi, dengan cucuran air mata mengaku selama 10 tahun itu telah memhunuh lebih dari 23 wanita. Sejak semula Jaksa Jerry Blair, yang membawanya ke sidang, memang berkeyakinan laki-laki itu paling tidak telah membantai 36 wanita -- meskipun yang bisa dibuktikan hanya tiga. Sebab, kepada seorang anggota FBI, Bill Hagmeir, Ted pernah mengatakan telah menghabisi 50 korban di negara bagian AS: Utah, Colorado, Washington, Idaho, California, Vermont, Pennsylvania, dan Florida. Kebanyakan korban berambut merah tua dan berusia 16 sampai 24 tahun. Untuk menggaet gadis belia itu, Ted punya modal. Ia berwajah tampan dan, seperti kata pengacaranya, James Coleman, "Dia pintar dan berpenampilan memikat," katanya. Jaksa Jerry Blair pun mengaku, penjahat itu selain ganteng, "juga pintar ngomong dan pandai mengemukakan pendapat tentang sistem hukum." Maklum, drop out fakultas hukum. Hampir semua korban mati karena dicekik setelah disetubuhi -- ciri-ciri mayat retak pada tengkorak, rahang, dan tulang serta lengan patah. Mayat korban kemudian dibuang atau disembunyikan di tempat terpencil -- jauh dari tempat pembantaian -- seperti di pegunungan atau di jalan buruk yang jarang dilalui orang. Anehnya, selain meninggalkan luka gigitan, Ted tak berusaha menghapus sidik jari di rumah korban. Bahkan Ted, konon, selalu meninggalkan tanda pembayaran dengan kartu kredit dan bahkan kartu namanya di dekat mayat korban. Kendati begitu, toh polisi baru berhasil menangkap pembunuh itu setelah enam tahun kemudian. Sebab, banyak mayat, karena dibuang di tempat terpencil, tak segera ditemukan petugas. Paling cepat, polisi baru bisa menemukan korban sebulan setelah terbunuh selebihnya beberapa tahun kemudian atau tak pernah ditemukan sampai kini. Terlahir dengan nama Theodore Robert Bundy, di Burlington, Vermont, November 1946. Ketika ia masih dalam kandungan, ibunya, Louise Bundy, pindah dari kotanya, Philadelphia, ke Burlington untuk dirawat "Elizabeth Lund Home", rumah khusus bagi ibu-ibu yang hamil luar nikah. Setelah melahirkan anak, Louise hijrah ke Tacoma Washington, dan membesarkan Ted di sana sampai usia 28 tahun. Ketika remaja Ted bukan anak ugal-ugalan. Ia tercatat giat sebagai pramuka, rajin ke gereja, suka pada anak-anak, dan gemar membaca puisi. Di sekolah nilainya di atas rata-rata. Ia sempat masuk fakultas hukum, tapi kemudian drop out. Pada usia 25 tahun, Ted berminat pada politik dan tampil dengan bendera partai Republik. Lalu ia bekerja sebagai asisten direktur pada Komisi Penasihat Pencegah Kriminalitas. Ia juga menulis pamflet cara mencegah pemerkosaan. Anehnya, justru ketika ia bekerja untuk menanggulangi kejahatan, diam-diam Ted mulai membunuhi korban-korbannya. Kejahatan Ted mengingatkan orang kepada penjahat terkenal dari Inggris, Jack the Ripper. Penjahat legendaris itu, pada 1888, membantai tujuh orang wanita, semuanya pelacur. Para korban mati dengan gorokan di leher, dan tubuh terpotong-potong. Dari cara memotong korbannya, polisi menduga bangsat itu menguasai anatomi manusia. Seabad kemudian, 1975, kasus mirip Jack terulang di Inggris. Tiga belas wanita terbunuh berturut-turut di Yorkshire Barat dan Inggris Utara. Semua korban wanita sebagian besar pelacur -- mati mengerikan, antara lain dengan kemaluan terluka akibat sodokan obeng panjang. Si pembantai misterius juga punya kegemaran mencabik-cabik pakaian korban. Setelah mengumpulkan 5,2 juta keterangan baik lisan maupun tulisan, polisi menangkap Peter William Sutcliffe, pengemudi truk yang berambut tebal dan berjenggot. Sutcliffe mengaku melakukan kejahatan untuk memerangi pengobral seks. Sutcliffe, yang lahir dari keluarga miskin, ketika remaja bekerja sebagai penggali kubur. Waktu itu, katanya, ia menerima wahyu. "Saya diperintahkan Tuhan menghapuskan pelacuran dari muka bumi." Seorang psikiater yang memeriksa Sutcliffe sebelum diajukan ke pengadilan ber- kesimpulan bahwa lelaki itu rada sinting. "Ia mulai sableng sejak berumur 19-20 tahun, tepatnya setelah bekerja sebagai penggali kubur," kata psikiater itu. Tapi tahun 1981 pengadilan Old Bailey, Inggris, menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup baginya. Untuk Ted Bundy yang suka merusak mayat korbannya, psikiater spesialis pembunuhan beruntut (serial), Dr. David Abrahamsen, punya penilaian sendiri. "Perusakan pada tubuh mayat ini menungkapkan kebencian pelaku pada tubuh wanita." "Korban bukan tujuan sebenarnya. Ia hanya sasaran pengganti. Itu sebabnya, pilihan korban tak pandang bulu, siapa saja bisa kena," tambah ahli jiwa itu. Analisa Abrahamsen terlalu ilmiah. Padahal, Ted punya alasan yang sederhana sekali. Menjelang kematiannya, ia mengaku perbuatannya itu akibat dorongan kecabulan yang kuat dari dalam dirinya. "Saya dibesarkan seperti dalam keluarga umumnya, tapi di masa remaja saya kecanduan melihat film dan bacaan porno serta sadistis," kata Ted, yang meminta jenazahnya diperabukan dan debunya disebarkan di berbagai lokasi tempat mayat korbannya ditemukan.Bunga Surawijaya dan Yusril Djalinus (AS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum