Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berhak mendapat perlindungan negara.
UU PKDRT telah mengatur bagaimana negara melindungi para korban KDRT.
Tak hanya perlindungan, korban KDRT juga berhak mendapatkan pemulihan kondisi baik secara fisik maupun psikis.
HALO, pengasuh Klinik Hukum Perempuan. Saya Adel dari Jakarta. Saya mau bertanya tentang maksud perlindungan sementara terhadap para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)? Serta, apa saja bentuk perlindungan sementara itu?
Jawaban Danielle Johanna P. Samsoeri, SH, MSi, advokat probono LBH APIK Jakarta
Halo, Kak Adel. Terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Kami akan mencoba menjawab dua pertanyaan yang ditanyakan di atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pertama, KDRT adalah isu terbanyak yang diterima pelaporannya oleh Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2024. Kekerasan terhadap istri (KTI) merupakan kasus yang paling tinggi dengan 672 kasus atau 83,70 persen dari total data pelaporan di ranah personal. Tingginya data KTI menunjukkan masih besarnya ketimpangan relasi gender antara suami dan istri, yang antara lain diindikasikan oleh posisi subordinat istri dalam perkawinan. Karena itu, perlu penanganan serius terhadap kasus-kasus KDRT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perlindungan sementara adalah salah satu upaya penting dari Undang-Undang Penghapusan KDRT yang harus diimplementasikan oleh aparat penegak hukum. Hal itu tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) UU PKDRT yang berbunyi, “Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.”
Ilustrasi kekerasan. Shutterstock
Ayat kedua pasal tersebut juga menyatakan korban mendapatkan perlindungan sementara paling lama tujuh hari sejak kasusnya ditangani oleh kepolisian. Selain itu, ayat ketiga Pasal 16 UU PKDRT menyatakan kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan dalam waktu 1 x 24 jam sejak mereka memberikan perlindungan terhadap korban.
Upaya perlindungan sementara ini merupakan hak perempuan korban KDRT agar dapat terlindungi secara hukum dan agar kepolisian dapat segera memproses penyelidikan terhadap kasus tersebut. Ketentuan Pasal 16 UU PKDRT itu menjadi jaminan akan adanya perlindungan hukum dari negara kepada korban dalam penanganan kasus KDRT. Ketentuan ini juga bertujuan mencegah terjadinya kekerasan berulang yang dialami oleh korban KDRT, khususnya pihak perempuan. Selain itu, pasal itu menjadi jaminan agar pelaku tak melarikan diri.
Ketentuan hukum lain yang juga mengatur perlindungan sementara terhadap korban KDRT adalah Pasal 17 UU PKDRT yang berbunyi: “Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.”
Inti Pasal 17 UU PKDRT ini adalah kerja sama yang dapat dilakukan oleh kepolisian dengan berbagai pihak, seperti tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani, dalam memberikan perlindungan sementara kepada korban KDRT. Tujuannya agar hak korban KDRT dapat terpenuhi dan terlindungi secara maksimal dalam proses hukum.
Selain kepolisian, pihak lain yang berperan penting dalam menetapkan perlindungan sementara bagi korban KDRT adalah majelis hakim di pengadilan negeri. Majelis hakim di pengadilan negeri yang berwenang mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan sementara seperti ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU PKDRT.
Dalam konteks perlindungan sementara, korban akan mendapatkan akses terhadap rumah aman/shelter sehingga mereka dapat terlindungi dari potensi serangan, intimidasi, atau mengalami kekerasan untuk kesekian kalinya oleh pihak pelaku. Agar korban mendapat akses terhadap rumah aman ini, kepolisian dapat berkoordinasi dengan berbagai pihak, seperti lembaga layanan berbasis masyarakat, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta dinas sosial (dinsos) di setiap provinsi. Pemberian akses rumah aman bagi para perempuan korban KDRT ini dapat dilaksanakan jika sudah ada surat penetapan perintah perlindungan sementara dari pengadilan negeri.
Ilustrasi kekerasan. Shutterstock
Selain rumah aman, perempuan korban KDRT berhak mendapatkan pemulihan, baik dari segi psikologis maupun segi kesehatan fisik. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban KDRT. Pasal tersebut berbunyi: “Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian
b. Tenaga ahli dan profesional
c. Pusat pelayanan dan rumah aman
d. Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.”
Sebagai catatan, pemberian akses rumah aman bagi perempuan korban KDRT tidak terikat batas waktu tertentu atau berbeda dengan pemberian perlindungan sementara yang dimandatkan dalam UU PKDRT.
Demikian jawaban kami dari Klinik Hukum Perempuan. Semoga bermanfaat. Semoga perempuan korban KDRT dapat memperoleh perlindungan hukum dari negara, yaitu melalui upaya perlindungan sementara yang dimandatkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. ●