Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

"cahaya" di alas ketonggo

Raden sudjono percaya, sawito kartowibowo, seorang yang dipilih untuk memimpin.ia pernah mengikuti petualangan orang-orang kebatinan, menjelajahi pulau jawa. di alas ketonggo, ia melihat sederet cahaya. (ag)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MR. Raden Sutjono percaya bahwa Sawito adalah orang yang dipilih untuk 'memimpin'. Katanya ada tanda-tandanya. Dalam upacara perkawinan Sawito di Sala, misahya. Ketika itu Sawito menolak memakai keris yang tersedia "Saya ingin keris saya sendiri di Blitar" katanya. Sampai di Blitar utusan dari Sala tercengang. Yang tersimpan di rumah Sawito ternyata Kyai S1amet, keris pusaka Sri Susuhunan Paku Buwono X yang hilang. Di bawah ini beberapa nukilan pengalaman Sudjono, kutipan dari majalah Mawas Diri Mei 1976 þ Pada awal tahun 1972 saya mengikuti perjalanan seorang pemuda (40 tahun bersama Bapaknya (66 tahun) yang katanya telah menerima dawuh-dawuh, perintah atau petunjuk dari dunia gaib untuk melakukan beberapa tindakan demi keselamatan umat manusia yang menghuni kawasan Nusantara. Tempat-tempat yang harus dikunjungi terkenal sebagai daerah-daerah yang angker, mistis magis atau setidak-tidaknya tak mudah dicapai, seperti puncak-puncak dan lereng-lereng gunung, pantai Samudera Laut Kidul, petilasan-petilasan kerajaan, monumen-monumen zaman purba, serta makam beberapa orang besar yang berperan penting dalam sejarah tanah air kita. Waktu itu saya berumur 68 tahun dan sebagai hasil mutakhir dari didikan akademis barat sebelum Perang Dunia II yang biasa berdisiplin pada ratio dan logika, tidak percaya akan dawuh-dawuh demikian itu, tetapi ingin mengetahui apakah hal-hal yang diceritakan oleh orang-orang kebatinan itu betul-betul ada. Saya ingin mengikuti petualangan mereka, asal dibolehkan membawa segala alat-alat modern untuk memotret dan merekam segala apa yang terjadi. Dengan senang hati saya diterima sebagai free lance reporter, bahkan mereka percaya bahwa menurut firasat yang diterimanya, saya pun termasuk dalam team sebagai pelengkap trio mereka itu. Dalam tiga gelombang lelana barata, yang memakan waktu kira-kira dua setengah bulan, kami jelajahi pulau Jawa, dari ujung Timur sekeliling Gunung Mahameru hingga ujung Barat berhadapan dengan Gunung Krakatau. Untuk pertama kali saya menyaksikan fenomena supra-normal yang tidak dapat dijelaskan menurut akal pikiran biasa. Entah apakah karena teman yang waskita, sangat sensitif mediamik itu mempengaruhi diri saya, namun ternyata bahwa selama perjalanan itu saya pun mulai mendengar, melihat dan merasakan hal-hal yang tadinya belum pernah saya alami. þ Alas Ketonggo ini letaknya di kaki Gunung Lawu, tak jauh dari kota Ngawi. Di tengah-tengah hutan jati dekat Kali Ketonggo, anak sungai dari Bengawan Madiun, terdapat linggam batu alam putih yang dikenal sebagai Tugu Manik Keneono atau Tugu Manik Kumala. Juru kuncinya. Pak Atmo Pandan (60 tahun menyambut kami dengan hormat dan khidmat, walaupun kam tidak memberitahu lebih dulu tentang kedatangan kami kepadanya. Ia melaporkan bahwa 3 hari sebelumnya ia telah menerima berita tentang akan datangnya suatu rombongan dari Gunung Muria, maka ia telah membabat dan membersihkan lapangan sekitar Tugu itu agar dapat didirikan tenda. Waktu kami tanyakan dari siapa ia mendapat berita itu, ia jawab: terdengar di dalam kupingnya sendiri. Karena belum pernah ada rombongan yang datang ke sana dengan membawa kemah seperti kami, maka ia pun berkesimpulan bahwa kamilah tamu-tamu yang diperintahkan kepadanya untuk dihormati. þ Apa yang kami dan pengikut-pengikut lainnya saksikan, termasuk kali ini Sita, anak kami yang hadir juga di sini, adalah cukup menakjubkan. Sejak petang hari, berdatanganlah "daru-daru" beraneka warna pating cemlorot dari segala jurusan menuju ke tempat kami duduk dekat Tugu Manik Kumala. Walaupun di tengah-tengah hutan kayu jati, yang amat luas, jauh dari jalan besar maupun kecil, tampak berbagai macam cahaya sliwar-sliwer, hilir mudik di sekitar tempat kami berkemah. Ada yang seperti lampu mobil yang beriring-iring melalui jalan besar, seolah-olah membawa para tamu yang datang menghadiri suatu upacara di tempat itu. Bukan saja nampaknya seperti mobil sedan, tetapi jika ditaksir menurut jarak antara lampu depan dan belakang, bentuknya seperti bus-bus besar yang memuat puluhan penumpang. Frekwensi lalu-lalang tinggi sekali. Sorotan lampu-lampu kadang-kadang membuat kami silau dan membuat hutan jati itu terang-benderang, namun tidak kedengaran suara deru motor. Juga di langit tampak cahaya bergerak kian-kemari, bagaikan bintang-bintang beralihan. Di tengah hutan terlihat pula api unggun dari jauh, padahal di sekitar tempat itu tak ada perkampungan yang dihuni orang biasa. Akhirnya pada jam setengah malam kami menyaksikan sederet cahaya panjang yang amat terang seolah-olah kami memperhatikan siluuet sebuah kota dari jauh yang bermandikan sinar lampu-lampu hias, seperti pada hari-hari perayaan 17 Agustus di Ibukota DKI Jaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus