MR. Raden Sutjono percaya bahwa Sawito adalah orang yang
dipilih untuk 'memimpin'. Katanya ada tanda-tandanya. Dalam
upacara perkawinan Sawito di Sala, misahya. Ketika itu Sawito
menolak memakai keris yang tersedia "Saya ingin keris saya
sendiri di Blitar" katanya. Sampai di Blitar utusan dari Sala
tercengang. Yang tersimpan di rumah Sawito ternyata Kyai
S1amet, keris pusaka Sri Susuhunan Paku Buwono X yang hilang.
Di bawah ini beberapa nukilan pengalaman Sudjono, kutipan dari
majalah Mawas Diri Mei 1976
þ Pada awal tahun 1972 saya mengikuti perjalanan seorang pemuda
(40 tahun bersama Bapaknya (66 tahun) yang katanya telah
menerima dawuh-dawuh, perintah atau petunjuk dari dunia gaib
untuk melakukan beberapa tindakan demi keselamatan umat manusia
yang menghuni kawasan Nusantara. Tempat-tempat yang harus
dikunjungi terkenal sebagai daerah-daerah yang angker,
mistis magis atau setidak-tidaknya tak mudah dicapai, seperti
puncak-puncak dan lereng-lereng gunung, pantai Samudera Laut
Kidul, petilasan-petilasan kerajaan, monumen-monumen zaman
purba, serta makam beberapa orang besar yang berperan
penting dalam sejarah tanah air kita.
Waktu itu saya berumur 68 tahun dan sebagai hasil mutakhir dari
didikan akademis barat sebelum Perang Dunia II yang biasa
berdisiplin pada ratio dan logika, tidak percaya akan
dawuh-dawuh demikian itu, tetapi ingin mengetahui apakah hal-hal
yang diceritakan oleh orang-orang kebatinan itu betul-betul ada.
Saya ingin mengikuti petualangan mereka, asal dibolehkan membawa
segala alat-alat modern untuk memotret dan merekam segala apa
yang terjadi. Dengan senang hati saya diterima sebagai free
lance reporter, bahkan mereka percaya bahwa menurut firasat
yang diterimanya, saya pun termasuk dalam team sebagai pelengkap
trio mereka itu.
Dalam tiga gelombang lelana barata, yang memakan waktu kira-kira
dua setengah bulan, kami jelajahi pulau Jawa, dari ujung Timur
sekeliling Gunung Mahameru hingga ujung Barat berhadapan dengan
Gunung Krakatau.
Untuk pertama kali saya menyaksikan fenomena supra-normal yang
tidak dapat dijelaskan menurut akal pikiran biasa. Entah apakah
karena teman yang waskita, sangat sensitif mediamik itu
mempengaruhi diri saya, namun ternyata bahwa selama perjalanan
itu saya pun mulai mendengar, melihat dan merasakan hal-hal yang
tadinya belum pernah saya alami.
þ Alas Ketonggo ini letaknya di kaki Gunung Lawu, tak jauh dari
kota Ngawi. Di tengah-tengah hutan jati dekat Kali Ketonggo,
anak sungai dari Bengawan Madiun, terdapat linggam batu alam
putih yang dikenal sebagai Tugu Manik Keneono atau Tugu Manik
Kumala. Juru kuncinya. Pak Atmo Pandan (60 tahun menyambut kami
dengan hormat dan khidmat, walaupun kam tidak memberitahu lebih
dulu tentang kedatangan kami kepadanya. Ia melaporkan bahwa 3
hari sebelumnya ia telah menerima berita tentang akan datangnya
suatu rombongan dari Gunung Muria, maka ia telah membabat dan
membersihkan lapangan sekitar Tugu itu agar dapat didirikan
tenda. Waktu kami tanyakan dari siapa ia mendapat berita itu, ia
jawab: terdengar di dalam kupingnya sendiri. Karena belum pernah
ada rombongan yang datang ke sana dengan membawa kemah seperti
kami, maka ia pun berkesimpulan bahwa kamilah tamu-tamu yang
diperintahkan kepadanya untuk dihormati.
þ Apa yang kami dan pengikut-pengikut lainnya saksikan, termasuk
kali ini Sita, anak kami yang hadir juga di sini, adalah cukup
menakjubkan. Sejak petang hari, berdatanganlah "daru-daru"
beraneka warna pating cemlorot dari segala jurusan menuju ke
tempat kami duduk dekat Tugu Manik Kumala. Walaupun di
tengah-tengah hutan kayu jati, yang amat luas, jauh dari jalan
besar maupun kecil, tampak berbagai macam cahaya sliwar-sliwer,
hilir mudik di sekitar tempat kami berkemah. Ada yang seperti
lampu mobil yang beriring-iring melalui jalan besar, seolah-olah
membawa para tamu yang datang menghadiri suatu upacara di tempat
itu. Bukan saja nampaknya seperti mobil sedan, tetapi jika
ditaksir menurut jarak antara lampu depan dan belakang,
bentuknya seperti bus-bus besar yang memuat puluhan penumpang.
Frekwensi lalu-lalang tinggi sekali. Sorotan lampu-lampu
kadang-kadang membuat kami silau dan membuat hutan jati itu
terang-benderang, namun tidak kedengaran suara deru motor.
Juga di langit tampak cahaya bergerak kian-kemari, bagaikan
bintang-bintang beralihan. Di tengah hutan terlihat pula api
unggun dari jauh, padahal di sekitar tempat itu tak ada
perkampungan yang dihuni orang biasa. Akhirnya pada jam setengah
malam kami menyaksikan sederet cahaya panjang yang amat terang
seolah-olah kami memperhatikan siluuet sebuah kota dari jauh
yang bermandikan sinar lampu-lampu hias, seperti pada hari-hari
perayaan 17 Agustus di Ibukota DKI Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini