Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perpu Kepailitan, Kaku dan Galak?

Perusahaan yang divonis bangkrut belum ada. Kalau rupiah menguat, penyelesaian di luar pengadilan tampaknya akan lebih menarik.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENTETAN vonis kepailitan versi baru telah mewarnai lembar sejarah peradilan di Indonesia. Rabu pekan lalu, Pengadilan Niaga, yang berkantor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memutuskan untuk menolak gugatan kepailitan yang diajukan LG Electronic Inc. (Korea Selatan) kepada PT LG Bangunindo Electronic. Alasannya, Bangunindo selaku debitur telah dilikuidasi Agustus silam. Jadi, Electronic mestinya menuntut piutangnya yang senilai US$ 1,48 juta itu ke pihak pelaksana likuidasi Bangunindo. Sebelumnya, Pengadilan Niaga juga telah menolak gugatan pailit yang diajukan Bank American Express (Amex) cabang Singapura terhadap PT Ometraco Corporation. Namun, putusan pailitnya berbau teknis-formalistis. Hal itu disebabkan tak diterimanya gugatan pailit Amex lantaran perusahaan ini juga memerkarakan anak perusahaan Ometraco, yaitu PT Ometraco Multi Artha. Seharusnya, menurut hakim, dua gugatan kepailitan itu tidak disatukan. Pada perkara kepailitan yang diajukan PT Jaya Obayashi dan PT Nusa Raya, sepekan sebelumnya, vonis yang diambil hakim juga agak janggal. Hakim Haryono menunda vonis kepailitan karena si debitur, PT Karabha Digdaya, pemilik lapangan golf Emeralda Golf & Country di Cimanggis, Bogor, bersedia melunasi utang Rp 15,3 miliar. Karena itu, Haryono menetapkan penundaan pembayaran utang. Namun, sang hakim juga menentukan honor pengurus aset debitur sebesar 5 persen dari total nilai aset debitur. Karena aset Karabha senilai Rp 1,3 triliun, berarti honor pengurus mencapai Rp 65 miliar. Padahal, utang Karabha yang dituntut kreditur hanya berjumlah Rp 15,3 miliar. Ironis, memang. Tak aneh bila kuasa hukum Karabha, Yan Apul, serta kuasa hukum kedua kreditur tadi, Hotman Paris Hutapea, menganggap keputusan Haryono tidak adil. "Mestinya, kami selaku debitur diajak berunding untuk menetapkan honor pengurus," kata Yan Apul. Menurut Hutapea, honor pengurus--juga honor kurator bila perkaranya diputus pailit--bukan ditentukan berdasarkan nilai aset debitur, tapi diukur menurut jam kerja pengurus, misalnya Rp 200 ribu sejam. Sementara itu, ahli hukum ekonomi Prof. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa honor itu sebaiknya dihitung dari persentase utang yang ditagih. Adapun Ketua Pengadilan Niaga, I G. Sukarata, menyatakan bahwa honor lima persen tadi masih terbilang rendah dibandingkan dengan ketetapan kepailitan dari tahun 1905, yang mematok bagian 17,5 persen. Tapi, "Kalau dirasakan berat, nanti bisa diturunkan menjadi 0,5 sampai 1 persen," ujarnya. Kedua perkara kepailitan yang vonisnya "menguntungkan" pihak debitur itu tak mustahil bisa mengecutkan hati para kreditur, yang kebanyakan perusahaan asing. Kenyataan menunjukkan, gugatan pailit tidaklah seramai yang diperkirakan orang. Sejak 1 September 1998, saat Pengadilan Niaga mulai beroperasi sampai pekan lalu, baru 10 perkara yang didaftar. Satu perkara malah dicabut karena debiturnya siap membayar utang. Paket peraturan tentang kepailitan versi baru, yang lebih dikenal sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 1998, dipercepat penyusunannya antara lain karena desakan Dana Moneter Internasional (IMF). Bahkan, sejak Perpu itu lahir 22 April lalu, perkara pailit disebut-sebut akan menumpuk sampai 1.600 kasus. Gugatan pailit yang begitu sedikit semula diduga karena para kreditur lebih suka menunggu apakah Perpu Kepailitan itu efektif atau tidak. Sedangkan Prof. Remy Sjahdeini berpendapat, sepinya gugatan pailit karena Perpu Kepailitan agak kaku dan galak, baik terhadap debitur maupun kreditur. Ketentuan batas waktu 30 hari bagi proses kepailitan, contohnya, dianggap terlalu sempit buat debitur yang mau menyelamatkan perusahaannya. Di pihak lain, perlindungan kreditur juga rendah. Apalagi, gugatan pailit yang diajukan kreditur berpiutang sedikit bisa merugikan kreditur berpiutang besar yang tak mengajukan perkara pailit. Itu sebabnya, para pengusaha cenderung memilih upaya di luar peradilan. Dari 15 calon perkara pailit yang ditangani Yan Apul, misalnya, 10 perkara selesai tanpa melalui pengadilan. Selain itu, pemerintah sudah meluncurkan Prakarsa Jakarta. Skenario yang difasilitasi pemerintah ini memungkinkan debitur terhindar dari ancaman bangkrut. Tampaknya, Perpu Kepailitan akan lebih berfungsi sebagai produk hukum yang ada sekadar untuk mengisi kebutuhan pada masa darurat. Selanjutnya akan banyak debitur ataupun kreditur yang mencari penyelesaian di luar pengadilan, apalagi kalau kurs rupiah menguat dan stabil di bawah Rp 8.000 per US$1. Hp.S., Iwan Setiawan, dan Ma?ruf Samudra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus