Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sementara, tapi Minta Undang-Undang

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) lahir lewat keputusan presiden tanggal 26 Januari 1998 dan tanggal 5 Maret 1998. Lembaga yang bertugas menyehatkan bank-bank sakit itu berada di bawah Menteri Keuangan.

Namun, sewaktu BPPN membekukan tujuh bank swasta, pada April silam, fungsi dan eksistensinya sudah diperdebatkan. Wewenangnya dianggap melampaui kekuasaan Bank Indonesia, yang dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral--undang-undang kan lebih tinggi dari keputusan presiden.

Mestinya, bila Bank Indonesia dianggap kurang beres atau kiprahnya sarat kolusi, ya, penyakit itu yang ditanggulangi, bukannya membentuk BPPN sebagai pesaing BI. Padahal, menurut Susiyati B. Hirawan, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan, BPPN bersifat sementara, sampai akhir 1998. Setelah itu, ia akan menjadi asset management unit.

Lagi pula, rentetan penanganan bank-bank sakit oleh BPPN tak mengesankan hasil memuaskan. Hal itu bisa ditilik dengan membengkaknya bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sampai senilai Rp 155 triliun, untuk menolong bank-bank yang dirawat BPPN. Jumlah bank yang sakit pun semakin lebih banyak ketimbang yang sehat.

Ternyata, dalam rancangan undang-undang perbankan, BPPN justru dikukuhkan. Memang, istilah yang digunakan adalah "badan khusus". Bahkan, wewenangnya tidak hanya diberikan sangat luas, tapi juga menabrak berbagai ketentuan--baik Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995, hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun Undang-Undang Agraria Tahun 1960.

Sekadar contoh, BPPN berwenang mengambil alih hak pemegang saham dan mengadakan rapat umum pemegang saham tanpa persetujuan pemegang saham. BPPN juga berhak membatalkan perjanjian antara bank dan pihak ketiga, serta bisa mengosongkan suatu lahan untuk penyitaan aset bank.

Keruan, eksistensi dan wewenang besar BPPN menjadi gunjingan hukum. Ahli hukum perbankan Profesor Sutan Remy Sjahdeini, contohnya, berpendapat bahwa BPPN tak boleh mengambil alih wewenang Bank Indonesia. "Kalau memang wewenang pengaturan dan pengawasan bank benar-benar ada pada bank sentral yang independen, mestinya BPPN dibubarkan dan tugas-tugasnya dikembalikan ke Bank Indonesia," katanya.

Toh, Susiyati menilai bahwa badan khusus--tentu maksudnya BPPN--sangat diperlukan dalam keadaan darurat begini. Besarnya wewenang BPPN tak lain agar badan itu bisa efektif dan cepat mengembalikan BLBI dari bank--kini ada 55 bank yang dirawat BPPN.

Salah seorang Direktur Bank Indonesia, F.X. Subardjo, malah memastikan bahwa BPPN tak bakal menggerogoti wewenang Bank Indonesia. "Yang dikerjakan BBPN tak akan dikerjakan Bank Indonesia," ujarnya.

Tapi, kalau usia BPPN cuma sebentar, kenapa mesti dimuat dalam undang-undang? Kata sebuah sumber di Departemen Keuangan, itu karena BLBI yang diraup bank-bank pasien BPPN berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang notabene juga diatur dengan undang-undang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus